news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dilema Pekerjaan dan Keluarga : Ekonomi Suram, KDRT Mencekam!

Cut Febrina Keumala
Saat ini sedang menjadi mahasiswi Sekolah Pasca sarjana di IPB Univesity, Bogor.
Konten dari Pengguna
3 Desember 2022 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cut Febrina Keumala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kondisi ekonomi yang sulit. Foto: (Erfurt C.) by unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kondisi ekonomi yang sulit. Foto: (Erfurt C.) by unsplash.com
ADVERTISEMENT
Era globalisasi yang semakin meluas sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Perkembangan zaman yang diikuti dengan kecanggihan teknologi menjadi fenomena yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam aspek ekonomi. Bagi individu yang dapat beradaptasi, kondisi ini menjadi sebuah potensi menguntungkan. Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa banyak dari masyarakat kita yang justru tengah berjuang keras di tengah perkembangan zaman yang sangat dinamis.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, perkembangan zaman yang sangat pesat diikuti dengan kasus pandemi Covid-19 yang memberikan dampak pada seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk keluarga sebagai sistem terdekat bagi individu. Pandemi Covid-19 juga mendorong adanya perubahan tatanan dalam masyarakat, baik yang disadari secara langsung maupun tidak. Setiap keluarga menerima dampak yang terjadi, khususnya pada beberapa keluarga yang harus menerima risiko PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan bahwa peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) tercatat sejak Maret 2022 masih berlanjut hingga September 2022. Lonjakan angka PHK yang signifikan terjadi pada puncak pandemi Covid-19 hingga menembus angka 9.000 kasus, namun lajunya ditekan hingga 1.210 kasus pada Maret 2022. Adanya fenomena ini mendorong setiap keluarga untuk memiliki strategi dalam bertahan hidup. Kondisi ini semakin diperkeruh dengan semakin tingginya keinginan individu terhadap kebutuhan hidup. Manusia menjadi bias untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan di tengah keterbukaan akses informasi dan beragam potret kondisi sosial budaya di sekitarnya. Hal ini sejalan dengan fakta yang sering kita temukan adalah banyaknya justifikasi di media sosial yang menganggap keinginan sebagai sebuah kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Beragam fenomena tersebut terjadi secara bersamaan hingga berdampak pada keluarga Indonesia yang akhirnya memutuskan antara suami dan istri perlu untuk bekerja sebagai strategi pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat. Kondisi ini didukung dengan mulai banyaknya jenis pekerjaan yang fleksibel dan dapat dilakukan oleh kaum perempuan. Namun, adanya dorongan bagi suami dan istri untuk bekerja seringkali tidak diimbangi dengan persiapan yang matang secara lahir dan batin. Ketidaksiapan secara internal istri dan suami inilah yang akan membahayakan bagi kehidupan keluarga di masa depan.
Dilihat dari data angkatan kerja formal wanita, angkanya mengalami kenaikan dari tahun 2020 yang mulanya berjumlah 34,65 meningkat menjadi 36,20 pada tahun 2021. Kondisi peningkatan angkatan kerja wanita juga nyatanya didorong oleh program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal ini terbukti bahwa Co-Chair of G20 EMPOWER Indonesia, Rinawati Prihatiningsih mengatakan G20 EMPOWER bertujuan untuk membangun kesadaran yang lebih kuat dan memastikan peningkatan peran perempuan di dunia kerja dan bisnis.
ADVERTISEMENT
“Krisis kesehatan yang dihadapi di tingkat global saat ini merupakan peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya dan menjadi peringatan global yang menunjukkan betapa banyaknya tantangan yang kita hadapi untuk meningkatkan posisi perempuan di angkatan kerja maupun di tempat kerja,”
Di satu sisi, meningkatnya angkatan kerja kaum perempuan tentu mampu membantu keluarga Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Namun, meningkatnya fenomena ini akan menjadi bom waktu bagi keluarga Indonesia jika pada awalnya keluarga tidak membangun kesiapan yang matang dan ketahanan yang kokoh. Hal ini juga dapat berdampak pada berbagai potensi rentan yang akan dihadapi keluarga dalam setiap fase kehidupannya. Keluarga menjadi dilema dalam menentukan skala prioritas antara pekerjaan dan keluarga. Padahal, adanya kesiapan yang matang keluarga seharusnya mampu untuk melakukan balancing work & family.
Ilustrasi dampak ekonomi terhadap keluarga yaitu memicu adanya perdebatan dengan pasangan. Foto: Shutterstock.com
Ketidaksiapan sebuah keluarga dalam balancing work & family mendorong adanya konflik kerja-keluarga. Konflik kerja-keluarga adalah keinginan yang berbeda atau berlawanan antara pekerjaan dengan keluarga yang mana peran yang satu menuntut lebih peran yang lain sehingga salah satunya terganggu (Netemeyer, McMurrian dan Boles 1996). Konflik kerja-keluarga terdiri atas dua dimensi, yaitu konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan deskripsi konflik kerja keluarga, persentase dimensi konflik kerja mengganggu keluarga lebih besar dibandingkan dengan dimensi konflik keluarga mengganggu kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Sunarti, Rizkillah, dan Muktiyah (2014) bahwa istri yang bekerja cenderung lebih sering mengalami konflik kerja yang mengganggu keluarga daripada konflik keluarga yang mengganggu kerja. Hal ini dapat terjadi bila istri lebih banyak menggunakan waktunya untuk bekerja dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Beberapa dampak terbesar dari adanya konflik kerja-keluarga adalah adanya KDRT, kasus perceraian, dan pengasuhan anak yang tidak optimal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja, yang artinya bahwa data keseluruhan sebetulnya menunjukkan angka yang lebih besar. Selain itu, data dari KemenPPPA menyebutkan bahwa hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, yang angkanya mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama terdapat sejumlah penyebab dari perceraian, yakni faktor perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu, KDRT, mabuk, murtad, dihukum penjara, judi, poligami, zina, kawin paksa, cacat badan, madat, dan lainnya. Jika dilihat dari penyebabnya, maka ketidaksiapan suami dan istri dalam kondisi dual earner (sama-sama bekerja) dapat mendorong keluarga pada keruntuhan rumah tangga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap keluarga pasti memiliki beragam kondisi yang mendorong mereka untuk memutuskan sebuah pilihan yang tentu tidak mudah. Pilihan menjadi dual earner juga pasti menjadi salah satu pilihan yang sudah dipikirkan sebelumnya. Namun, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan atau bahkan bisa menjadi masukan bagi para pembaca sekalian dalam menghadapi kondisi dual earner.
ADVERTISEMENT
Bagi keluarga diharapkan memperbanyak kegiatan bersama pasangan agar komunikasi tetap terjaga, mengurangi kebosanan, dan meregulasi konflik dalam perkawinan yang diakibatkan peran di tempat kerja. Bagi BKKBN, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Pendidikan agar meningkatkan sosialisasi mengenai peningkatan pendidikan dan keterampilan guna meningkatkan penghasilan keluarga, menikah di usia dewasa dan ajakan untuk menggunakan KB bagi keluarga besar (Melani et al. 2014). Selain itu, dalam penelitian Novenia D. dan Ratnaningsih menyatakan bahwa dukungan pasangan akan berdampak positif bagi keluarga yang suami dan istrinya memutuskan untuk bekerja.
Oleh karenanya, antara suami dan istri harus terus saling mendukung, bercerita ketika terdapat masalah atau kendala, serta saling mengingatkan satu sama lain jika pekerjaan justru mengganggu peran dan tugas sebagai suami maupun istri. Semangat untuk seluruh keluarga Indonesia!
ADVERTISEMENT
Keluarga kuat, Indonesia Hebat.
Oleh: Fathimah Zahroo, Harita Julie Zefanya, Cut Febrina Keumala (Mahasiswi Mata Kuliah Pengembangan Sumberdaya Keluarga, IPB University)