Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
The Curse: Kutukan pada Film Horor Indonesia
7 Mei 2017 21:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Cynthia Astari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
![The Curse: Kutukan pada Film Horor Indonesia](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1494166920/cq84rnapzzzmogr3uipj.jpg)
The Curse bercerita tentang Shelina yang menjadi seorang pengacara suatu kasus pembunuhan. Kasus itu ternyata berkaitan dengan sihir kiriman dari negeri seberang. Kira-kira itu yang saya dapatkan usai disuguhkan The Curse selama satu jam lebih tiga puluh menit dalam teater 4 di salah satu jaringan bioskop Semarang. Disclaimer, saya hanya penikmat film, bukan kritikus. Jadi review film dan rasa setelah saya menonton The Curse adalah murni opini pribadi.
ADVERTISEMENT
Film dibuka dengan baik, kamera still dan long shot, ada kesan menunjukkan bahwa shot diambil di Australia--terdapat keterangan tempat pula di bagian pojok kiri bawah. Ketika kamera mulai bergerak (tracking polisi), saya merasa kurang nyaman, ada kesan terburu-buru. Tapi tak masalah, toh hanya pembuka. Namun, kesan terburu-buru ini tak kunjung hilang, entah memang saya yang tidak paham betul atau preferensi saya terhadap film memang lebih condong ke tempo lambat-ke-cepat-jadi-klimaks, pembuat pun terlanjur menampakkan hantu di bagian awal, ketika Shelina (Prisia Nasution) berada di rumah seorang diri. Tidak masalah, mungkin memang caranya seperti itu. Saya masih sabar menanti kehororan yang berhasil divisualisasikan lewat poster film. Dan pemerannya, saya pikir mereka merupakan dua aktris yang dapat dipercaya kemampuannya di bidang keaktoran. Hingga dua puluh menit pertama, saya tidak pula kunjung dikejutkan dengan alur ceritanya; tidak ada yang janggal maupun unik dan tidak tertebak. Dugaan saya ini erat kaitannya dengan terlalu banyak elemen penting guna klimaks konflik yang dipaparkan di bagian awal. Saya mulai menguap.
ADVERTISEMENT
Menit keenam puluh rasa bosan menjalari saya; lebih sering menguap dibanding memperhatikan jalan cerita. Hingga ada firasat; ini bukan film horor, ini hanya film yang berhantu. Seringkali kaget, terima kasih pada penata suara dan editor The Curse, namun bukan takut dan penasaran. Saya mulai gelisah; ingin segera keluar teater. Kursinya terlalu tegak, mungkin, jadi kurang nyaman. Selain pengolahan cerita yang kurang maksimal, sisi teknis pengambilan gambar pun agak mengecewakan. Pasalnya, tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk menonton film ini--meski difasilitasi Kumparan jadi saya bisa menonton secara gratis. Saya sedih ketika melihat adegan film The Curse yang menunjukkan Shelina melihat ke sekeliling namun tiba-tiba belum seluruh ruang diperlihatkan--saya pikir orang panik atau takut akan bolak-balik melihat sekitarnya jadi pasti memakan durasi--sudah dipotong ke shot still. Lalu ada adegan di mana Shareefa Daanish dipukul cangkul dari sisi kiri tetapi darah mengalir dari sisi kanan dahinya. Ada pula shot yang diambil dari angle yang kurang pas, seperti saat hantu muncul atau saat Prisia rebahan sambil menilik smartphonenya. Sayang, sayang sekali. Padahal lokasi dan artistik telah berhasil dan representatif. Temaram; warnanya pun sudah apik.
ADVERTISEMENT
Menit-menit terakhir ada kecewa membumbung di udara, adegan di bagian akhir menggantung tanpa tedeng aling-aling. Pembuat film mungkin berniat membuat kesan misterius dan penasaran. Tapi bagi saya, yang dilakukan justru membuat kesal. Momen ayo-penasaran-kan? yang tidak tepat yang coba dimunculkan memberi penutup tanpa permisi; akhirnya saya paham kegelisahan tadi bukan karena kursi teater, ternyata saya tidak puas dengan The Curse. Bahkan pemain sekelas Prisia Nasution dan Shareefa Daanish tidak banyak membantu. Ini penampilan pertama mereka yang mengecewakan bagi saya. Dialog yang kaku diperkeruh pula dengan--mungkin hanya telinga saya--audio percakapan, sound effect, yang seolah direkam secara terpisah. Seperti di-dubbing. Sehingga ada beberapa adegan yang tidak selaras dengan audio.
Saya menonton dengan 3 orang lainnya, entah apa yang mereka tulis dalam reviewnya, namun mereka setuju ketika ditanya perihal sayang-nonton-film-Indonesia-di-bioskop. The Curse memperpanjang rentetan alasan manusia Indonesia untuk tidak menonton karya anak bangsa. Intinya, saya kecewa. Padahal banyak film horor/thriller Indonesia yang memadai dan menyenangkan. Saya suka Mirror, Lentera Merah, Pocong 2, Modus Anomali, Rumah Dara, Pintu Terlarang, dan masih banyak lagi. Tapi saya senang karena dalam The Curse tidak ada adegan seks maupun manusia telanjang, yang seringkali diselipkan pembuat film nakal nan mesum, meski sebenarnya tidak perlu-perlu amat.
ADVERTISEMENT
Jangan salah kira, ini hanya opini pribadi, saya cinta film Indonesia dan sedang belajar seluk beluknya. Saya harap review ini tidak serta merta menjadi acuan orang lain untuk tidak menonton The Curse, karena tidak ada pengalaman yang lebih nyata dibanding pengalaman yang dialami sendiri. Boleh jadi saya sok paham soal film (horor), boleh jadi pembaca sepakat dengan saya. Dan tidak ada niat lain selain memberi kritik bersifat konstruktif pada pembuat film The Curse. Semoga lebih baik di kemudian hari, amin. Yuk dukung dan nonton film Indonesia di bioskop!
![The Curse: Kutukan pada Film Horor Indonesia (1)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1494166850/by8erxodctmfvyivkpmm.jpg)