Wakil Rakyat Lupa Rakyat

Konten dari Pengguna
1 Maret 2018 2:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dadan Rizwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wakil Rakyat Lupa Rakyat
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jangan bilang ke aku ada yang menghina DPR
Nanti besoknya, orang itu akan berurusan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
Mungkin, itulah kata puitis ‘ala’ Dilan yang ingin disampaikan oleh anggota DPR terhadap publik melalui hasil sidang paripurna kemarin. Kata puitis ini merupakan langkah yang dilakukan oleh anggota dewan untuk melindungi nama baik DPR supaya tidak ada seorang pun yang berani mengkritik ataupun menghina lembaga perwakilan rakyat.
Baru-baru ini, lembaga DPR kembali menjadi sorotan publik. Hasil Pengesahan RUU MD3 dalam sidang paripurna DPR RI pada Senin, 12 Februari 2018, menuai beragam kontroversi dari berbagai pihak. Sebagaimana diketahui ada 8 fraksi yang menyetujui dan dua fraksi yang menolak. Tidak hanya itu, selain pengesahannya yang dianggap terlalu terburu-buru, namun juga karena sejumlah pasal yang juga dianggap telah mencederai garis ketatanegaraan. Hal tersebut mencerminkan garis ideologi partai sudah tidak lagi bekerja secara maksimal dalam perjuangan partai di parlemen dengan ketiadaan permufakatan yang utuh dalam rangka mencapai kemaslahatan umum.
ADVERTISEMENT
Kemudian dengan adanya polemik terkait penambahan jumlah kursi pimpinan parlemen, muncul sejumlah pasal baru yang oleh sejumlah kalangan dianggap bakal menjadikan DPR sebagai lembaga dengan kewenangan super dan kebal hukum. Konsistensi DPR sebagai wakil rakyat pun kembali dipertanyakan, seiring diberlakukannya UU MD3 yang dinilai telah membangun oligarki sebagai lembaga yang memiliki kekuatan penuh. Hak imunitas yang sebelumnya memang sudah dimiliki, semakin diperkuat dengan pengesahan revisi UU MD3.
Membentengi Diri Dengan Hak Imunitas
Kekuatan hak imunitas saat ini sedang menjadi perbincangan hangat dalam percaturan politik Indonesia. Sejumlah pejabat dan lembaga negara merasa perlu adanya kekuatan protektif dari berbagai ancaman, kritik, maupun penghinaan secara publik. Hukum pun seakan menjadi cara yang tepat dalam mengatasi berbagai persoalan etika dalam dunia politik saat ini.
ADVERTISEMENT
Hasil rapat paripurna akan menjadikan DPR sebagai Lembaga super power yang sulit disentuh oleh proses hukum. Anggota DPR tidak dapat diperiksa tanpa adanya izin Presiden dan pertimbangan dari MKD. Hal itu tertuang dalam Pasal 245. Selain itu, kewenangan DPR diperkuat dalam Pasal 74 yang mengatur wewenang memberikan rekomendasi dan berhak melayangkan hak interpelasi, hak angket, serta hak menyatakan pendapat dan mengajukan pertanyaan bila rekomendasi itu tak dilaksanakan.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga bisa mengambil langkah hukum apabila ada yang merendahkan kehormatan Dewan atau anggotanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 122 huruf K yang mengatakan Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat, berupaya berlindung dibalik hak imunitas DPR supaya sulit disentuh hukum. Imunitas itu tercermin dari dua pasal yang bertolak belakang dalam UU MD3, yakni Pasal 73 dan Pasal 245. Pada Pasal 73 yang mengatur tentang fungsi pengawasan DPR, salah satunya berisi tentang DPR bisa memanggil paksa seseorang untuk diperiksa melalui permintaan tertulis kepada Kapolri.
Di sisi lain, anggota DPR tidak bisa begitu saja dipanggil aparat penegak hukum, baik sebagai saksi maupun tersangka, terkait kasus pidana tanpa izin presiden. Pemanggilan anggota dewan kini harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Aturan pemanggilan anggota DPR ini diatur dalam Pasal 245.
Kedua pasal ini mengindikasikan strategi DPR dalam melangkah di masa mendatang. Dengan modal dua pasal itu, ke depannya DPR bisa memainkan strategi defensif ketika berhadapan dengan hukum, tapi begitu ofensif saat memanggil paksa seseorang.
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. yang menjamin hak rakyat untuk menyampaikan pendapat dimuka umum. Harus dipahami bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang bersumber dari respon publik, dan salah satu respon publik dapat tersampaikan melalui kritik baik itu secara lisan ataupun tulisan.
Langkah Mundur Demokrasi
Gagasan anggota dewan yang ingin memperkosa (memaksa) menerapkan UU MD3 adalah langkah mundur bagi demokrasi di republik ini. Amanat besar reformasi untuk terbukanya kran kebebasan dalam berpendapat dan menyampaiakn aspirasi, telah diciderai dengan aturan Wakil Rakyat yang dipilih oleh rakyat dapat dipidanakan dengan alasan merendahkan kehormatan dewan. Padahal, rakyat merupakan konstitusional tertinggi dalam demokrasi.
Sejarah bangsa ini telah mencatat, negara Indonesia telah mengalami masa kelam mengenai sistem Dewan Perwakilan pada zaman Orba yang sangat jauh dari filosofi demokrasi perwakilan. Dimana pada saat itu, DPR selalu abai terhadap aspirasi rakyat, DPR hanya selalu dijadikan boneka dan alat stempel untuk kebijakan penguasa Orba. Sehingga ahirnya DPR pun ikut digulingkan bersama penguasa Orba melalui amendemen konstitusi.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, DPR mampu mengambil pengalaman dan pelajaran dari peristiwa tersebut, sehingga DPR tidak terjatuh terhadap kesalahan yang sama. Namun faktanya hari ini, Amendemen konstitusi tidak cukup ampuh mengubah watak DPR yang masih mewarisi mental feodal. DPR yang masih mewarisi sifat korupsi. DPR yang masih berlaku acuh dan angkuh terhadap aspirasi rakyat.
Sikap angkuh DPR terhadap aspirasi rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus kontroversi, seperti Pansus Angket KPK, revisi UU KPK, dan RUU KUHAP-KUHP, pengangkatan kembali SN sebagai Ketua DPR, persetujuan BG sebagai Kapolri, dan utang prolegnas yang selalu menumpuk. Bahkan yang lebih parahnya adalah, DPR memberi kewenangan kepada MKD untuk bisa memidanakan orang/kelompok/badan hukum, yang dianggap merendahkan DPR.
ADVERTISEMENT
Mereka lupa bahwa mandat mereka berasal dari rakyat. Sehingga, sewaktu-waktu rakyat bisa mencabut mandat itu. Tampaknya, DPR belum siap untuk berdemokrasi, padahal usia mereka sudah menginjak 2 dekade pasca reformasi. Kondisi DPR saat ini seperti menunjukkan adanya gejala “phobia syndrome” yang akut dikalangan anggota dewan. Mereka seolah kehilangan keberanian menghadapi derasnya arus kritik rakyat. Mereka merasa tidak mampu berdebat secara cerdas dengan rakyat sehingga mengambil pilihan jalan pintas melalui jerat pasal pidana dalam revisi wewenang MKD.
Dengan demikian, Revisi UU MKD itu harus ditolak. DPR harus disadarkan dan diinsafkan atas kekhilafan mereka. Karena, phobia syndrome pasal antikritik dalam revisi UU MD3 itu hanya akan menyebabkan kemunduran terhadap demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan berdarah-darah saat reformasi dulu.
ADVERTISEMENT