Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Fast Response: Kebiasaan atau Kebutuhan?
12 Februari 2025 17:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari DADANG BUDI SETIAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![freepik](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkwv1bzg5xw1m9zsqzx45vn0.jpg)
ADVERTISEMENT
Saya termasuk orang yang hampir selalu cepat membalas pesan dan mengangkat telepon (nomor yang dikenal). Bukan karena merasa wajib, tapi sudah jadi kebiasaan. Begitu HP berbunyi, refleks tangan langsung bergerak. Kadang teman bercanda, "Kamu kayak admin online 24 jam." Saya cuma tertawa, tapi dalam hati bertanya—apakah ini benar-benar hal yang baik?
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sebagai humas dan admin media sosial, pekerjaan saya menuntut untuk selalu fast response. Komunikasi dengan pimpinan, menjembatani media dengan pemerintah, publikasi, hingga mengelola informasi di media sosial—semuanya membutuhkan respons cepat. Dalam dunia komunikasi yang saya yakini, keterlambatan bisa berarti kehilangan momentum, salah persepsi, atau bahkan potensi masalah yang tidak segera tertangani.
Lama-lama, kebiasaan ini terbawa ke kehidupan sehari-hari. Begitu selesai dari kamar mandi, langsung cek HP. Bangun tidur, sebelum benar-benar sadar, tangan sudah meraih ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Bukan karena tidak bisa menunda, tapi karena sudah terbiasa. Ada dorongan untuk selalu “on,” memastikan tidak ada yang terlewat.
Antara Profesionalisme dan Ekspektasi
Dalam teori komunikasi yang saya baca, ini bisa dijelaskan lewat Media Richness Theory, di mana media seperti WhatsApp memungkinkan komunikasi instan, sehingga ekspektasi terhadap kecepatan respons semakin tinggi. Sebagai humas, saya memahami bahwa keterlambatan bisa berisiko—bisa saja ada permintaan mendadak dari atasan, media butuh konfirmasi cepat, atau ada isu yang harus segera ditangani.
ADVERTISEMENT
Tapi kemudian saya bertanya, apakah saya benar-benar harus selalu siap siaga? Bukankah banyak pegawai lainnya? Atau ini hanya tekanan yang saya ciptakan sendiri?
Dampak ke Kesehatan Mental
Ketika fast response menjadi kebiasaan, sulit membedakan mana yang memang penting dan mana yang hanya terasa mendesak. Notifikasi yang masuk bisa langsung memicu kecemasan kecil—“Harus segera dibalas nggak ya?” Saya pernah mencoba tidak langsung mengecek HP setelah bangun tidur, tapi justru merasa gelisah, takut ada yang terlewat. Mungkin ini tanda notification anxiety, di mana kita merasa “terikat” pada HP, bukan sekadar menggunakannya sebagai alat komunikasi.
Padahal, salah satu riset menunjukkan bahwa keterikatan berlebihan dengan ponsel bisa berdampak pada mental load, membuat kita sulit benar-benar beristirahat. Pikiran selalu aktif, siap merespons, bahkan saat seharusnya sedang menikmati waktu sendiri.
ADVERTISEMENT
Mencari Keseimbangan
Saya mulai menyadari bahwa fast response itu penting, tapi tidak harus menjadi aturan mutlak. Ada beberapa cara yang mungkin bisa saya coba untuk menjaga keseimbangan:
1. Membuat prioritas – Tidak semua pesan harus segera dibalas. Saya harus mulai belajar membedakan mana yang benar-benar mendesak dan mana yang bisa menunggu.
2. Menentukan waktu offline – Misalnya, membiarkan HP tetap di meja saat bangun tidur, memberi waktu beberapa menit untuk benar-benar sadar sebelum mulai bekerja.
3. Berkomunikasi dengan lingkungan kerja – Memberi tahu rekan kerja atau pimpinan bahwa ada waktu-waktu tertentu di mana saya mungkin tidak langsung merespons, kecuali ada hal yang sangat mendesak.
Saya Mungkin Harus Melambat...
Menjadi orang yang fast response bukanlah masalah, bahkan bisa menjadi kelebihan dalam pekerjaan. Tapi jika tidak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi tekanan yang mengganggu keseimbangan hidup. Saya masih belajar untuk lebih fleksibel—tetap cepat tanggap saat dibutuhkan, tapi juga memberi ruang untuk diri sendiri agar tidak selalu merasa “harus online.”
ADVERTISEMENT
Saya mungkin harus melambat. Bukan untuk berhenti, tapi untuk belajar menikmati waktu tanpa terus merasa dikejar notifikasi. Karena terkadang, jeda sejenak justru membuat kita lebih siap untuk merespons dengan lebih baik.