Konten dari Pengguna

FOMO: Fenomena Sosial di Era Digital, Termasuk di Tuban

DADANG BUDI SETIAWAN
ASN pada Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Tuban
2 Januari 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DADANG BUDI SETIAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
sumber: freepik
ADVERTISEMENT
“Apakah kalian sudah pernah ke Tuban Abipraya? Belanja di Kraton? Nongkrong sambil minum kopi di Tomoro Coffee? Atau sekadar makan di Richeese Factory?”
ADVERTISEMENT
Kalimat seperti ini mungkin sering kita dengar dalam percakapa beberapa hari tau miggu terakhir ini, atau bahkan di unggahan media sosial. Tanpa disadari, pertanyaan semacam ini kerap memicu rasa penasaran dan keinginan untuk mengikuti tren, terutama bagi mereka yang belum pernah ke tempat-tempat tersebut. Perasaan ini, yang muncul akibat takut melewatkan momen yang dianggap menarik oleh orang lain, dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO).
FOMO kini menjadi fenomena sosial yang sangat umum di era digital. Dengan masifnya penggunaan media sosial, informasi tentang tempat, tren, atau kegiatan yang sedang viral menyebar begitu cepat. Akibatnya, banyak orang merasa harus segera ikut mencoba atau hadir dalam pengalaman tersebut agar tidak merasa "tertinggal" dari lingkaran sosial mereka. Mungkin saya sendiri juga termasuk di dalamnya. Hehe…
ADVERTISEMENT
Namun, FOMO bukan sekadar fenomena modern yang menyenangkan. Perasaan ini memiliki dampak yang luas, baik positif maupun negatif, terutama di kalangan generasi muda. Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, mari coba kita telusuri pengertian, penyebab, hingga dampaknya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk bagaimana FOMO terlihat nyata di Kabupaten Tuban.
sumber: freepik
Apa Itu FOMO?
Fear of Missing Out (FOMO) merujuk pada perasaan cemas atau khawatir karena merasa tertinggal dari pengalaman, informasi, atau tren yang sedang populer. Dalam era digital, fenomena ini semakin relevan karena masyarakat kini sangat terhubung melalui media sosial.
Menurut Cambridge Dictionary, FOMO adalah “a worried feeling that you may miss exciting events that other people are going to, especially caused by things you see on social media.” Dalam bahasa Indonesia, FOMO dapat diartikan sebagai "perasaan khawatir karena takut melewatkan hal-hal menarik yang dilakukan orang lain, terutama akibat dari apa yang dilihat di media sosial."
ADVERTISEMENT
FOMO lebih dari sekadar kekhawatiran biasa; ini adalah respons emosional terhadap tekanan sosial untuk "selalu terlibat." Fenomena ini dapat mendorong seseorang untuk terus memantau media sosial, mengikuti tren, dan mencari validasi dari lingkungan sosialnya.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menjadi tempat utama berkembangnya FOMO. Penelitian dalam Computers in Human Behavior menyebutkan bahwa semakin sering seseorang menggunakan media sosial, semakin besar kemungkinan ia mengalami FOMO. Hal ini juga berlaku di Indonesia, di mana jumlah pengguna media sosial terus meningkat, terutama di kalangan remaja.
Salah satu Artikel dari Universitas Airlangga menyebutkan adanya hubungan signifikan antara FOMO dan kecanduan media sosial. Remaja dengan tingkat FOMO tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih lama di media sosial untuk memantau aktivitas orang lain atau berbagi konten agar tetap terlihat relevan di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
FOMO di Tuban
Di Tuban, FOMO terlihat jelas dari tren kunjungan ke berbagai tempat populer, seperti wisata baru, Tuban Abipraya, GOR Tuban, Tuban Abirama, Kraton, hingga kafe-kafe seperti Tomoro Coffee dan Richeese Factory yang baru saja soft openin, dan mungkin setelah ini Alun-alun Tuban jika sudah dibuka. Tempat-tempat ini kerap viral di media sosial, membuat banyak orang berlomba-lomba mengunjungi dan membagikan pengalaman mereka.
Contohnya, Tuban Abipraya menarik perhatian berkat desainnya yang uni dan cocok untuk keluarga, Tomoro Coffee dikenal dengan suasana yang Instagramable, sementara Richeese Factory, dengan menu andalannya, menjadi favorit di kalangan anak muda. Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial memengaruhi kebiasaan masyarakat lokal, terutama generasi muda, untuk tetap merasa terhubung dengan tren.
ADVERTISEMENT
Dampak FOMO
Menurut saya, FOMO membawa dampak yang beragam, baik positif maupun negatif. Di sisi positif, FOMO dapat mendorong orang untuk mengeksplorasi tempat baru, memperluas interaksi sosial, hingga mendukung perputaran ekonomi dan sektor pariwisata lokal. Namun, sisi negatifnya adalah tekanan sosial, kecemasan, hingga potensi gangguan kesehatan mental.
Penelitian dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa FOMO dapat memicu kecanduan media sosial, terutama pada remaja putri. Kondisi ini sering kali berujung pada rasa cemas, ketidakpuasan, hingga kelelahan mental akibat terus membandingkan diri dengan orang lain.
Mengelola Dampak FOMO
Untuk mengurangi dampak negatif FOMO, diperlukan pendekatan bijak dalam penggunaan media sosial. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Fokus pada kebahagiaan pribadi.
ADVERTISEMENT
2. Hindari terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain.
3. Pahami bahwa konten di media sosial sering kali tidak mencerminkan kenyataan sepenuhnya.
4. Tingkatkan literasi digital untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Dari penyataan diatas, menurut saya pribadi, FOMO adalah fenomena yang tidak bisa dihindari di era digital, tetapi dampaknya dapat dikelola dengan pendekatan yang tepat. Dengan lebih memahami dampaknya dan mengambil langkah untuk menguranginya, kita dapat memanfaatkan fenomena ini secara positif tanpa mengorbankan kesejahteraan mental dan sosial.
Dadang Budi Setiawan, Salah Satu orang yang gampang FOMO. he...he...
2 Januari 2025