Konten dari Pengguna

Perbandingan Implementasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja Jepang dan Indonesia

Auliya Dwi Kurniasari
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jepang, Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya
28 Oktober 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Perbandingan Implementasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja Jepang dan Indonesia
Gerakan #KuToo merupakan sebuah bentuk perlawanan perempuan terhadap perusahaan yang mewajibkan penggunaan sepatu hak tinggi. Penggunaan sepatu hak tinggi selama bekerja membuat kaki sakit dan lecet.
Auliya Dwi Kurniasari
Tulisan dari Auliya Dwi Kurniasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Freepik
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara maju yang masih menghadapi masalah dalam bidang kesetaraan gender yang cukup besar. Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak yang sama dalam masyarakat. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan (Atmeiti, 2013).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Laporan Kesenjangan Gender 2024 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyatakan bahwa dalam hal kesetaraan gender negara Jepang menempati peringkat ke-118 dari 146 negara global. Peringkat tersebut mencakup setidaknya di empat bidang pada tingkat kesetaraan gender yaitu pencapaian dalam hal pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, pemberdayaan politik, serta partisipasi dan dan peluang dalam ekonomi.
Dalam laporannya WEF juga menuliskan sebanyak 66,3% lebih tinggi 1,6 persen dari tahun sebelumnya memperlihatkan bahwa kesetaraan gender dalam bidang ekonomi mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada bidang politik.
Ketidaksetaraan gender di Jepang dapat kita lihat dengan jelas dalam berbagai bidang kehidupan khususnya kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja. Beberapa aspek pekerjaan seperti ekonomi, politik, serta tenaga kerja lainnya masih didominasi oleh para laki-laki. Berbeda dengan perempuan yang masih minim partisipasinya dalam hal ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Bank Dunia (2022), mengungkapkan bahwa partisipasi pekerja perempuan di Jepang mencapai titik tertingginya sebesar 44.8% pada tahun 2022. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah pekerja perempuan di Jepang, akan tetapi perlakuan diskriminasi berbasis gender masih kerap kali terjadi di lingkungan kerja.
Perlakuan diskriminasi tersebut juga menjadi faktor minimnya peran perempuan dalam dunia kerja. Terkadang ketidaksetaraan gender merujuk pada tindakan seksisme yang memberikan dampak negatif terhadap individu. Swim dan Hyers (2009) mendefinisikan seksisme sebagai sikap, kepercayaan, dan perilaku individu, dan praktik organisasi, kelembagaan, dan budaya yang mencerminkan evaluasi negatif individu berdasarkan jenis kelamin atau mendukung status perempuan dan laki-laki yang tidak setara.
Ilustrasi perempuan sedih karena ketidaksetaraan gender. Foto: Shutterstock
Salah satu contoh nyata dari adanya ketidaksetaraan gender berbasis diskriminasi yang ada di Jepang yaitu munculnya gerakan #KuToo yang terjadi pada tahun 2019. Gerakan tersebut dimulai ketika Yumi Ishikawa membagikan pengalamannya di Twitter tentang aturan berbusana di tempat kerjanya.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut berisi tentang kewajiban bagi perempuan untuk mengenakan sepatu dengan hak setinggi 5 hingga 7 cm. Pengalaman yang ia unggah kemudian menjadi viral hingga mencapai 30.000 kali retweet. Banyak dari mereka sesama pekerja perempuan yang juga merasakan hal yang sama.
Pemakaian sepatu dengan hak yang cukup tinggi pada saat bekerja membuat kaki mereka terasa cepat sakit serta lecet. Penggunaan sepatu hak tinggi juga menyusahkan mereka apabila dalam suatu kondisi mengharuskan berlari pada saat bekerja.
Gerakan #KuToo berasal dari gabungan kata Ku dari kata sepatu atau 靴(くつ)dan rasa sakit atau 苦痛(くつう). Kemudian kata Too mengacu pada gerakan MeToo yang juga merupakan kampanye melawan kekerasan seksual. Tujuan gerakan #KuToo merupakan sebuah bentuk perlawanan perempuan terhadap perusahaan membuat kebijakan tentang penggunakan sepatu hak tinggi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di Indonesia, terutama dalam dunia kerja diskriminasi juga kerap kali terjadi meskipun bentuk dan pola perlakuannya tidak sekaku yang ada di Jepang. Jika di Jepang gerakan #KuToo menjadi simbol perlawanan terhadap perusahaan untuk membuat kebijakan penggunaan sepatu hak tinggi, di Indonesia diskriminasi serupa juga banyak ditemukan.
Pada banyak perusahaan khususnya perusahaan besar menetapkan syarat penampilan untuk pegawainya. Salah satu contohnya dengan mengkhususkan penggunaan sepatu hak tinggi. Meskipun demikian, dalam realitanya masih banyak dari pekerja perempuan tersebut yang terkadang menggunakan sepatu kasual dibandingkan dengan penggunaan sepatu hak tinggi.
Hal tersebut justru masih dapat diterima dalam dunia kerja Indonesia, karena pada dasarnya masalah sistem patriarki di Indonesia tidak sebesar yang ada di Jepang. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja Indonesia merupakan satu kesatuan yang sama derajatnya. Apabila laki-laki mengenakan sepatu yang nyaman untuk bekerja begitupun sebaliknya perempuan juga harus memiliki kesempatan yang sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
ADVERTISEMENT
Perbandingan ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam dunia kerja terlihat sangat jelas. Dimana dalam perusahaan yang ada di Jepang mewajibkan bagi pekerja perempuan menggunakan sepatu hak tinggi, begitupun sebaliknya di Indonesia penggunaan sepatu bagi pekerja perempuan tidak sekaku yang ada di Jepang. Berbeda dengan laki-laki yang tidak adanya tuntutan dalam penggunaan sepatu dari perusahaan sehingga mereka memiliki kebebasan dalam menentukan kenyamanan yang diinginkan.
Baik di Jepang maupun di Indonesia, keduanya masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara. Meskipun di Indonesia perempuan cukup memiliki hak yang sama dengan laki-laki, namun di lain kasus terkadang perempuan juga menempati hak yang tidak setara dengan laki-laki. Perlakuan tersebut tentu sangat menghambat peluang karier perempuan serta hak dasar atas kenyamanan dalam berpakaian.
ADVERTISEMENT
Masalah kesetaraan gender ini memang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan. Penyebab utama yang melandasi adanya ketidaksetaraan gender berbasis diskriminasi ini yaitu masih mengakarnya budaya patriarki yang kuat. Budaya ini membentuk pola pikir bahwasanya perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah harus memiliki nilai lain yang bisa dijadikan sebagai acuan nilai plus dalam dunia kerja.
Berbanding terbalik dengan laki-laki yang sudah memiliki kekuatan yang cukup besar, sehingga tidak diperlukan adanya nilai tambahan untuk ditonjolkan dalam dunia kerja. Tentunya hal yang demikian sangat menguntungkan salah satu pihak serta menimbulkan pengalaman negatif bagi individu yang merasa dirugikan. Dalam menangani permasalahan ini, perlu adanya kontribusi dari berbagai pihak terutama dari kalangan masyarakat. Karena terbentuknya suatu norma sosial serta penilaian terhadap pelanggaran norma sosial itu sendiri bermula dari masyarakat. Dengan demikian perlu adanya kesadaran dalam diri masyarakat kantor untuk menciptakan lingkungan kerja yang setara.
ADVERTISEMENT
Isu kesetaraan gender dalam dunia kerja merupakan masalah universal yang kemungkinan pada setiap negara pasti menghadapinya. Baik itu merupakan negara berkembang, bahkan negara maju sekalipun masalah kesetaraan gender akan selalu ada. Munculnya gerakan #KuToo menjadi bukti nyata bahwasanya masalah kesetaraan gender juga dihadapi oleh negara Jepang.
Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi masalah serupa meskipun sanksi yang diterima tidak sekaku di Jepang. Dari hal tersebut, perempuan masih sering dianggap tidak memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Banyak hal dari yang seharusnya perempuan bisa lakukan terkadang masih dibatasi karena stereotip oleh norma sosial yang berlaku.
Oleh karena itu, diperlukan kontribusi untuk semua pihak baik perusahaan, pegawai, dan masyarakat untuk bersama-sama mengusahakan terciptanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender yang dimaksud yaitu terciptanya kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang norma sosial yang ada. Dengan begitu dapat tercipta lingkungan kerja yang produktif dan sejahtera bagi seluruh pegawai.
ADVERTISEMENT