Konten dari Pengguna

BI Dukung Komitmen Nasional Net Zero Emissions Economy

Dimas Achmad Fadhila
Junior Analyst at Bank Indonesia - Member of ISEI Gorontalo - Statisticians from ITS
11 November 2024 10:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Achmad Fadhila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menjadi sebuah dilema bagaimana menyeimbangkan kebijakan ekonomi yang pro-growth dan pro-environment di negara berkembang seperti Indonesia. Sejatinya, kebijakan ekonomi pro-growth merupakan kebijakan suatu negara dalam mendorong ekspansi sektor unggulan perekonomian untuk meningkatkan nilai serta jumlah produksi barang dan jasa. Sementara, kebijakan ekonomi pro-environment lebih mengedepankan sustainabilitas sektor-sektor yang menopang perekonomian dengan memperhatikan keberlangsungan lingkungan dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan, Presiden RI ke-8, Bapak Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam 2 sampai 3 tahun masa pemerintahannya. Pada kuartal kedua 2024, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ditopang oleh Lapangan Usaha (LU) Industri Pengolahan (18,52%) dan Pertambangan (8,78%). Kedua sektor utama ini disinyalir memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan lingkungan.
Kinerja LU Industri Pengolahan di Indonesia kian hari kian ekspansif. Ekspansi ini tercermin dari beberapa indikator yang positif seperti pertumbuhan PDB LU Industri Pengolahan sebesar 4,04% (ctc) dan Prompt Manufacturing Index – Bank Indonesia (PMI-BI) sebesar 51,54% pada kuartal kedua 2024. Namun, ekspansi Industri Pengolahan yang terjadi seringkali tidak diiringi dengan pengelolaan emisi dan limbah hasil produksi yang baik. ABB menyatakan bahwa sekitar 70% emisi karbon di Indonesia berasal dari industri besi dan baja, semen, kimia, dan petrokimia.
ADVERTISEMENT
Setali tiga uang, kinerja LU Pertambangan kian mengalami pertumbuhan yang positif. Sampai dengan paruh pertama tahun 2024, PDB LU Pertambangan tumbuh sebesar 6,28% (ctc). Secara regional, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah berbasis pertambangan seperti Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan yang tinggi sebesar 8,45% (yoy) pada kuartal kedua 2024. Meskipun demikian, potensi eksplorasi pertambangan di Indonesia terus dibayang-bayangi oleh pengaruh buruk limbah tambang bagi ekosistem sekitar.
Dengan demikian, diketahui bahwa eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) secara signifikan berkontribusi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Namun di sisi lain, terdapat trade off dari gencarnya eksplorasi SDA yaitu dampaknya bagi lingkungan. Sesungguhnya, isu lingkungan bukan merupakan hal yang baru untuk dibahas. Pemerintah dan Non-Governmental Organization (NGO) dari berbagai negara terus berupaya dalam menanggulangi masalah lingkungan dan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Pada 2015, pimpinan-pimpinan negara berkumpul dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP 21 Paris) di bawah naungan Dewan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Pada konferensi ini, 196 negara termasuk Indonesia sepakat dengan perjanjian internasional ”Paris Agreement”. Mengutip UNFCCC, kesepakatan pada Paris Agreement fokus pada pembatasan kenaikan suhu global, penurunan tingkat emisi gas rumah kaca, dan pencapaian target net zero emissions.
Sejalan dengan komitmen global dalam pengentasan problematika lingkungan dan perubahan iklim, Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060. Untuk mendukung komitmen tersebut, Indonesia mendeklarasikan target penurunan emisi secara bertahap. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2022, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 mendatang.
ADVERTISEMENT
Percepatan transisi net zero emissions perlu didukung oleh aspek ekonomi yaitu pergeseran permintaan, alokasi modal, biaya, dan lapangan pekerjaan dengan signifikan menuju sektor yang berwawasan lingkungan. Proses transisi net zero emissions economy memerlukan komitmen dan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan. Net zero emissions economy memerlukan orkestrasi kebijakan nasional untuk pengembangan ekosistem keuangan berkelanjutan.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mendukung komitmen nasional dalam mewujudkan net zero emissions economy melalui aspek kebijakan. Pada aspek kebijakan, Bank Indonesia memiliki kebijakan makroprudensial dalam mendukung ekonomi berkelanjutan melalui sinergi dengan otoritas dan perbankan untuk mendorong keuangan hijau. Hingga saat ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan tiga kebijakan makroprudensial.
Pertama, Bank Indonesia memberlakukan pelonggaran kebijakan Loan-to-Value (LTV) untuk kredit properti dan Uang Muka (UM) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) berwawasan lingkungan. LTV untuk pembiayaan properti berwawasan lingkungan dapat diberikan hingga 100%, sedangkan UM untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dapat diberikan hingga 0%, sejalan dengan asesmen dan manajemen risiko yang dilakukan bank sebagai penyalur pembiayaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Bank Indonesia menetapkan kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM). Kebijakan tersebut mewajibkan bank untuk mencapai target RPIM berdasarkan self-assessment masing-masing bank dengan periode evaluasi pada setiap akhir tahun. Untuk mendukung pertumbuhan keuangan berkelanjutan, kebijakan RPIM memperluas modalitas pembiayaan inklusif melalui pembiayaan langsung, pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan, dan surat berharga pembiayaan inklusif (SBPI).
Ketiga, Bank Indonesia mengimplementasikan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berupa pelonggaran atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging kepada bank yang menyalurkan kredit pada sektor inklusif dan berwawasan lingkungan. Melalui KLM, Bank Indonesia memberikan insentif dalam bentuk pelonggaran GWM kepada bank secara tiering atas pencapaian RPIM yang dapat dicapai melalui pembelian SBPI dan penyaluran kredit hijau.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, sesuai dengan mandat UU P2SK dalam melakukan pengaturan dan pengembangan keuangan berkelanjutan, Bank Indonesia bersinergi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), didukung oleh Kementerian/Lembaga terkait, berinovasi menghadirkan Kalkulator Hijau versi 1.0 yang berbasis smartphone. Kalkulator Hijau versi 1.0 dapat digunakan oleh perbankan dan pelaku usaha secara mudah, voluntary, dan tanpa biaya.
Inisiatif pengembangan Kalkulator Hijau diharapkan dapat menjawab kebutuhan industri dan prasyarat regulator dan pasar global. Utamanya, Kalkulator Hijau berperan sebagai media dalam meningkatkan akuntabilitas perbankan dan pelaku usaha dalam pelaporan emisi, memberikan panduan dalam mengembangkan strategi pengurangan emisi menuju net zero emissions economy.