Dilemma Sekuritisasi COVID-19

Daffa Ardiansyah A
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
20 Juni 2022 1:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Ardiansyah A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ancaman Nasional dan Kegagalan Negara dalam Penanggulangan Pandemi
Sumber: Glen (unsplash.com)
Covid-19 dimulai sebagai sebuah wabah lokal di Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019. Transmisinya yang cepat dan awamnya pengetahuan medis yang dimiliki akan patogen yang termasuk dalam gugus virus SARS-COV atau Corona ini menimbulkan permasalahan regional, hingga pada akhirnya memunculkan darurat medis secara global. Virus baru ini menyebar dengan sangat cerdik melalui serangkaian sistem manipulasi yang mengelabuhi sistem organ manusia (Gallagher, 2020). Masifnya angka transmisi dan sangat minimnya penanganan medis pada tahap-tahap awal penyebaran penyakit ini menyebabkan timbulnya korban jiwa, sehingga memunculkan konvergensi perhatian internasional. Respon dunia internasional bervariasi dari aspek intensitas dan keketatan kebijakan, serta dalam proses pembentukan persepsi akan virus ini.
ADVERTISEMENT
Memasuki pertengahan tahun 2020, Covid-19 menjadi alasan diberlakukannya penutupan berbagai teritorial dan perbatasan negara-negara dunia. Amerika Serikat menjadi salah satu negara mempersepsikan Covid-19 sebagai ancaman terhadap ketahanan nasional, yang didasari atas ditemukannya kasus positif di kalangan internal militer (Wright, 2020). Dengan semakin menguatnya ancaman Covid-19 akibat minimnya upaya kuratif dan kapasitas pengetahuan dalam menanganinya, berbagai lembaga riset medis dan farmasi mulai aktif dalam upaya riset dalam menemukan solusi medis dan ilmiah atas Covid-19. Tiga upaya mendasar dilakukan, yaitu dengan pengumpulan data kasus sebanyak mungkin, memulai riset dan uji coba vaksin, serta mengembangkan berbagai metode perawatan medis dan penyembuhan (ABPI, 2021).
Kebijakan-kebijakan yang merespon Covid-19 yang dikeluarkan oleh berbagai negara berfokus pada upaya riset untuk dapat memahami dengan lebih baik karakteristik Covid-19. Selain itu, terdapat upaya masif untuk mengembangkan vaksin sebagai upaya preventif termutakhir dalam melawan penyebaran virus yang semakin meluas. Perusahaan riset farmasi menduduki peran penting, dan bahkan menjadi aktor yang signifikan sekaligus diharapkan keberhasilannya dalam menghasilkan inovasi yang dapat menanggulangi Covid-19. Hal ini memunculkan permasalahan karena kebijakan-kebijakan tersebut seringkali memberikan ruang yang sangat leluasa sekaligus privilese bagi perusahaan-perusahaan farmasi yang bergerak dalam upaya riset vaksin dan pengobatan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari Roemer-Mahler & Elbe (2016), kejadian dengan pola serupa pernah melanda dunia pada peristiwa merebaknya Ebola di negara-negara Afrika Barat pada tahun 2014. Sekuritisasi terjadi dengan diambilnya sikap-sikap untuk menyatakan bahwa Ebola adalah ancaman keamanan yang menjadi agenda bagi keamanan negara. Penyakit Ebola dipersepsikan sebagai ancaman yang dapat mengancam stabilitas negara karena melemahkan fungsi-fungsi vital dari seorang individu untuk dapat beraktivitas secara normal. Dalam tatanan negara, kuantitas kasus penjangkitan Ebola berdampak signifikan karena mempengaruhi stabilitas negara, termasuk ditinjau dari aspek berfungsinya aparatur pelayanan publik dan pengamanan militer.
Pembingkaian Ebola sebagai ancaman nasional diikuti oleh pengerahan instrumen kebijakan untuk dapat mengeliminasi sumber-sumber ancaman dalam waktu singkat dan secara langsung (Roemer-Mahler & Elbe, 2016:499). Upaya tersebut memberikan ruang bagi perusahaan farmasi karena dianggap sebagai aktor yang memberikan solusi langsung dalam bentuk inovasi obat yang dapat menyembuhkan Ebola. Praktik pembentukan kebijakan khusus tersebut merupakan bentuk abnormalitas politik yang menandai intervensi dan bias negara dalam agenda sekuritisasi keamanan. Dengan demikian, terbentuk arsitektur politik yang menempatkan perusahaan farmasi dan instalasi kesehatan sebagai bagian dari infrastruktur keamanan suatu negara(Roemer-Mahler & Elbe, 2016:500). Di sisi lain, pembentukan kebijakan khusus yang memberikan ruang bagi perusahaan kesehatan, yang mayoritas dimiliki oleh sektor privat, mencerminkan pergeseran dari kata government menuju governance, yang merupakan fenomena pergeseran kekuasaan negara menuju ke arena politik pemain jamak.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, artikel ini berupaya untuk menguraikan bagaimana tantangan Pandemi Covid-19 mendorong negara-negara, khususnya Inggris yang digunakan sebagai studi kasus, untuk mengeluarkan kebijakan khusus atau kebijakan yang bersifat eksepsionalisme atau pengecualian terkait dengan sekuritisasi isu kesehatan menjadi isu keamanan nasional. Berikutnya, artikel ini berupaya menjelaskan mengapa respons dengan membentuk kebijakan politik eksepsionalisme dalam proyeksi lebih jauh akan memicu terjadinya kegagalan suatu negara. Terakhir, juga diuraikan gagasan bahwa pembentukan kebijakan eksepsionalisme dalam agenda sekuritisasi isu kesehatan menjadi isu keamanan nasional, akan membentuk arsitektur politik-institusi-kebijakan yang akan menempatkan fasilitas dan kemajuan medis di suatu negara sebagai ukuran kemampuan suatu negara tersebut untuk mengatasi ancaman kesehatan—dengan menginklusikan gagasan ketimpangan yang ada antara negara satu dengan negara yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Disebutkan dalam Kirk & McDonald (2021:5), yang mengkaji secara komparatif tiga negara terkait pembentukan kebijakan eksepsionalis, Inggris menjadi negara yang menerapkan kebijakan sekuritisasi-eksepsionalis. Inggris adalah salah satu negara terdampak terberat Covid-19 dengan angka menunjukkan titik kasus tertinggi terjadi pada 2021 dengan jumlah tambahan kasus baru setiap harinya melebihi 50.000 jiwa dengan tingkat kematian mencapai 1.000 jiwa. Perdana Menteri Boris Johnson dengan cepat merespon kondisi tersebut dengan menerapkan kebijakan pengamanan wilayah dan pembatasan mobilitas. Tidak hanya itu, Menteri Kesehatan juga mengeluarkan berbagai kebijakan, salah satunya adalah pengutamaan terhadap pengembangan vaksin Astrazeneca (UKRI, 2021), yang juga merupakan salah satu produk vaksin dalam riset terbesar di dunia yang dipimpin oleh Universitas Oxford.
Kualitas riset dan fasilitas kesehatan di Inggris, meskipun mengalami gelombang tinggi lonjakan kasus Covid-19 yang cenderung lebih tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, mampu menanggulangi dan memberikan penanganan yang baik. Hal tersebut didukung juga dengan respon cepat berupa sekuritisasi isu Covid-19 oleh Boris Johnson, yang diikuti oleh pengarusutamaan kebijakan nasional untuk menangani Covid-19. Dengan demikian, secara reflektif, kebijakan yang tercantum dalam Green Book United Kingdom (Agency, 2020) memberikan ruang yang leluasa bagi sektor privat pengembang vaksin Astrazeneca untuk dapat mencapai tujuan-tujuannya dengan lancar dan tanpa tantangan teknokratis yang berarti.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang demikian, disebutkan dalam Jones & Hameiri (2021:14–15), merupakan bentuk ketidaksiapan dan kegagalan pemerintah dalam menghadapi krisis dan situasi darurat yang dimunculkan oleh Covid-19. Sebagaimana telah digarisbawahi oleh riset di atas bahwa strategi pemerintah Inggris untuk bekerja sama dengan pihak privat atau swasta gagal, karena kasus tetap meningkat sebagai akibat dari pelanggaran protokol kesehatan, strategi tersebut tetap dipertahankan dan terus dilakukan. Penyerahan otoritas kunci negara dalam penanganan pandemi, yaitu fasilitas dan distribusi akses medis, menyebabkan kegagalan penjaminan sosial yang seharusnya menjadi hak seluruh warga negara Jones & Hameiri (2021:15).
Perusahaan yang memenangkan kooperasi dan pengadaan barang publik, yaitu NHS Supply Chain, anak perusahaan dari Supply Chain Cooperations, Ltd., ditemukan memiliki sistem pengadaan dan pengelolaan logistik yang tidak siap dan tidak mencerminkan kesiapan dalam penanganan Covid-19. Dengan demikian, kebijakan bernada eksepsionalitas sebagai operasionalisasi kuasa dalam agenda sekuritisasi isu Covid-19 menyebabkan terjadinya kegagalan negara dalam menanggapi krisis dan khususnya dalam pengelolaan sektor-sektor vital. Pembentukan kebijakan eksepsionalis di Inggris yang menyerahkan otoritas penanganan pandemi dan pengadaan barang publik kepada sektor privat terbukti memunculkan permasalahan absennya kekuasaan negara dalam wujud instrumen kebijakan yang efektif.
ADVERTISEMENT
Referensi
ABPI. (2021). What are pharmaceutical companies doing to tackle COVID-19? APBI.Org; Association of the British Pharmaceutical Industry. https://www.abpi.org.uk/covid-19/what-are-pharmaceutical-companies-doing-to tackle-covid-19/
Agency, U. H. S. (2020, November 27). COVID-19: The green book, chapter 14a. GOV.UK.
https://www.gov.uk/government/publications/covid-19-the-green-book-chapter-1 4a
Gallagher, B. J. (2020, October 22). Covid: Why is coronavirus such a threat? BBC News. https://www.bbc.com/news/health-54648684
Jones, L., & Hameiri, S. (2021). COVID-19 and the failure of the neoliberal regulatory state. Review of International Political Economy, 1–25. https://doi.org/10.1080/09692290.2021.1892798
Kirk, J., & McDonald, M. (2021). The politics of exceptionalism: Securitization and COVID-19. Global Studies Quarterly, 1(3). https://doi.org/10.1093/isagsq/ksab024
Roemer-Mahler, A., & Elbe, S. (2016). The race for Ebola drugs: Pharmaceuticals, security and global health governance. Third World Quarterly, 37(3), 487–506. https://doi.org/10.1080/01436597.2015.1111136
ADVERTISEMENT
UKRI. (2021). The story behind the Oxford-AstraZeneca COVID-19 vaccine success. UKRI.Org; UK Research and Innovation. https://www.ukri.org/news-and-events/tackling-the-impact-of-covid-19/vaccines -and-treatments/the-story-behind-the-oxford-astrazeneca-covid-19-vaccine-succ
ess/
Wright, R. (2020, October 7). The coronavirus pandemic is now a threat to national security. The New Yorker. https://www.newyorker.com/news/our-columnists/america-the-infected-and-vuln erable