Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pendidikan Hari Ini: Belajar untuk Nilai, Bukan untuk Ilmu?
28 April 2025 15:25 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Daffa Listiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Fajar Herlambang STUDIO. (n.d.). Students are taking a test in a classroom [Photograph]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/students-are-taking-a-test-in-a-classroom-TmdrCRVDOnQ](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jsxprn10ms83gaswv0v0mf2p.jpg)
ADVERTISEMENT
Pendidikan selalu dianggap sebagai kunci utama untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik. Namun, di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, muncul sebuah pertanyaan besar yang rasanya perlu kita pikirkan bersama: Apakah tujuan utama pendidikan saat ini masih untuk mencari ilmu, ataukah telah bergeser menjadi sekadar mengejar nilai?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari dunia pendidikan. Banyak siswa yang belajar bukan karena keinginan untuk memahami atau mencintai ilmu pengetahuan, tetapi karena tertekan oleh tuntutan nilai tinggi. Mereka sibuk menghafal rumus, mengerjakan soal dengan pola tertentu, dan tak jarang mencari jalan pintas demi mendapatkan angka sempurna di rapor. Padahal, setelah ujian berakhir, banyak materi yang dipelajari hanya sebatas masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Sistem pendidikan kita pun tak bisa dipungkiri turut memperkuat pola pikir ini. Penilaian lebih banyak berfokus pada angka dan peringkat, sementara banyak aspek penting lain, seperti kreativitas, rasa ingin tahu, dan kemampuan berpikir kritis, sering kali diabaikan.
Akibatnya, kita melihat generasi yang pandai mengerjakan soal, tetapi kesulitan untuk menerapkan ilmunya di kehidupan nyata. Mereka mahir menghafal definisi, tetapi kesulitan dalam memahami makna yang lebih dalam dari konsep tersebut. Pada akhirnya, pendidikan kehilangan esensinya: membentuk manusia yang berpikir kritis, bukan hanya manusia yang bisa menghafal dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Maka, untuk mengatasi hal ini, kita perlu perubahan mendasar, baik dari sisi sistem pendidikan maupun pola pikir kita tentang pendidikan itu sendiri. Penilaian seharusnya lebih menekankan pada proses belajar, bukan hanya pada hasil akhir. Siswa perlu didorong untuk lebih mengeksplorasi rasa ingin tahunya, melakukan proyek nyata, berdiskusi, dan berani mengemukakan ide-ide, meskipun ide-ide tersebut mungkin belum sempurna. Guru pun memiliki peran penting sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk menemukan kecintaannya terhadap ilmu, bukan hanya sebagai pengajar yang fokus mengejar kurikulum.
Pendidikan, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai garis akhir, melainkan tentang siapa yang mampu menikmati dan memahami perjalanan belajar itu sendiri. Jika kita benar-benar ingin membentuk generasi masa depan yang unggul, maka sudah saatnya kita mengembalikan tujuan utama pendidikan: belajar untuk ilmu, bukan hanya untuk nilai.
ADVERTISEMENT