Konten dari Pengguna

Mengulik Fenomena Biggest Flex Dari Sisi Psikologi

Daffa Maryam
Mahasiswi Psikologi UIN Jakarta
13 Desember 2022 22:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Maryam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber gambar: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber gambar: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Media sosial tidak pernah habis akan isu hangat yang diperbincangkan, berbagai tren bermunculan. Salah satunya adalah tren “Biggest Flex”. Belakangan ini istilah “Biggest Flex” sering terlihat di platform online seperti TikTok, Instagram dan Twitter. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas karena tren ini merujuk pada bidang psikologi dan sejarah.
Secara harfiah, Biggest Flex berarti lentur terbesar, namun dalam bahasa gaul, Biggest Flex merupakan suatu hal atau benda yang ingin ditunjukkan seseorang, di mana hal tersebut tidak banyak dimiliki oleh orang lain, biasanya dilakukan oleh pengguna media sosial. Hal yang dipamerkan bisa berupa kemampuan, fisik, dan lain-lain.
Pamer menjadi sikap yang terkesan negatif di kalangan masyarakat, namun tidak selamanya akan menjadi negatif, ada beberapa elemen positif yang dapat kita ambil melalui penalaran kita.
ADVERTISEMENT

Flexing Muncul Ke Permukaan

Sikap flexing atau pamer sebenarnya sudah ada sebelum hadirnya teknologi informasi media sosial. Para saudagar kaya dan bangsawan, mereka melakukan pamer dengan membicarakan pencapaian mereka kepada orang-orang di sekitar mereka, membanggakan yang mereka punya, bersedekah namun terus diungkit. Flexing atau pamer menjadi hal yang dilakukan hampir setiap pengguna media sosial secara sadar maupun tidak. Fenomena Biggest Flex menjadi satu contoh di mana pengguna media sosial secara terang-terangan menunjukkan kelebihan mereka. Namun, tak sedikit juga yang justru menunjukkan kekurangan dari diri meraka. Awal mula muncul tren ini berada di TikTok. Di mana orang-orang membuat video dengan teks “My Biggest Flex is.”

Flexing Dalam Kacamata Psikologi

Selanjutnya, kita akan memfokuskan pembahasan kita terhadap sikap flexing. Tren seperti ini pasti akan menuai prokontra dan beberapa dampak. Kita bahas dari sisi negatif terlebih dahulu. Salah satunya terhadap kesehatan mental, baik pada mereka yang melakukan flexing dan yang melihatnya. Untuk mereka yang melakukan flexing akan menimbulkan perilaku memaksakan kehendak, lalu membenarkan segala perilaku yang keluar dari norma. Lalu takut akan ketertinggalan, mencari teman dengan kekurangan yang sama, dan yang membuatnya lebih parah adalah tidak mendapatkan pengakuan. Bagi kita sebagai penonton, akan muncul perasaan ingin menjadi seperti mereka. Kemudian, merasa kurang dengan apa yang dimiliki kita sekarang, bahkan bisa merusak produktivitas.
ADVERTISEMENT
Kita beralih ke sisi positif. Pada tren ini ada beberapa orang yang menuliskan kelemahan atau kesalahan yang pernah mereka lakukan di video mereka, lalu di kolom komentar tak sedikit orang mengungkapkan bahwa mereka juga pernah melakukan hal yang sama, lalu tumbuh pikiran bahwa mereka bukanlah satu-satunya yang mempunyai kelemahan ataupun pernah melakukan kesalahan. Dari sini kita dapat melihat bagaimana empati dari sesama pengguna media sosial terbentuk, mereka bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Kemudian, saling menguatkan satu sama lain.
Seperti merak yang merentangkan sayap indahnya untuk menarik lawan jenis, begitulah penggambaran konsep flexing. Pada ilmu psikologi sosial, tujuan memamerkan sesuatu yang dimiliki adalah untuk mendapat status sosial di mata orang lain sehingga bisa memperluas lingkup sosial. Pada psikologi klinis, flexing dilakukan oleh seseorang karena adanya rasa tidak aman (insecurity), dan rasa cemas dari seseorang akan dirinya yang tidak diterima maupun dianggap orang lain. (Uswah, 2022)
ADVERTISEMENT
Menurut salah seorang psikolog yang menulis buku The High Price of Materialism (2003), flexing dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang, orang yang melakukan flexing cenderung mempunyai sikap antipati, dan selalu merasa tersaingi. Hal tersebut akan diperparah jika keinginannya tidak dapat diwujudkan, seseorang yang terbiasa flexing akan memaksakan kehendak walaupun dalam keadaan tidak memungkinkan. Psikolog Dian Wisnuwardani, menjelaskan dampak yang akan dialami penonton sikap flexing, akan membangun ekspektasi terhadap pencapaian seseorang. Sedangkan pencapaian bisa berbagai macam bentuk. (Defianti & Eka, 2022)

Bagaimana Cara Kita Merespon Jika Ada yang Melakukan Flexing?

Tidak perlu terlalu berlebihan dalam menanggapi orang yang melakukan flexing, namun tetap pahami mengapa mereka melakukan hal tersebut, bisa dicoba dengan memberi mereka penggambaran bahwa apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki adalah sebuah titipan dan akan meninggalkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Lalu cara agar kita tidak melakukan pamer, bisa dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan kita. Bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan beri pada kita, fokus pada peningkatan kelebihan diri sendiri melalui orang-orang yang memang sudah lebih baik daripada kita, dari sini dapat menumbuhkan sikap rendah hati pada diri kita bahwa masih ada orang lain yang lebih daripada kita. Menerima kekurangan tanpa menghakimi diri sendiri lewat membangun kesadaran bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi.
Carilah lingkungan yang suportif, berisi orang-orang yang menghargai kehadiran kita. Selain itu, yang paling penting adalah tidak membangun harapan tentang tanggapan orang terhadap apa yang kita lakukan, karena jika tidak sesuai harapan, maka akan menimbulkan rasa ingin diakui.
ADVERTISEMENT
Tren ini mengajarkan kita untuk tetap menerima diri dengan apa pun yang sudah pernah terjadi di hidup kita. Kita bisa mengambil sisi positif, lalu menyaring sisi negatif, tak perlu takut tertinggal dengan tren-tren, ini hanya untuk bersenang-senang di media sosial.