Rasisme di Indonesia Adalah Warisan Belanda

Daffa Nauval Haikal Akbar
Mahasiswa sastra Indonesia S1 universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
23 Juni 2023 12:48 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Nauval Haikal Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iluistrasi Etnis Tionghoa. Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Iluistrasi Etnis Tionghoa. Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rasisme di Indonesia merupakan warisan Belanda yang masih bertahan hingga saat ini. Rasisme sering di gunakan untuk kepentingan praktis yang menimbulkan perpecahan. Rasisme adalah ujaran kebencian yang masih awet sebagai salah satu warisan budaya kolonial Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Budaya dari kolonial Belanda telah tertanam dan melahirkan fenomena rasisme kepada diantaranya etnis Tionghoa. Rasisme ini makin terlihat ketika Indonesia mengalami kerusuhan tahun 1998. Ketika terjadi kerusuhan dan penjarahan ke setiap toko terutama toko yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.
Rasisme ini tertanam dalam perkembangan negara dan perkembangan masyarakat Indonesia. Fenomena yang terjadi dalam perembangannya banyak macam rasisme, dimulai dari rasisme terhadap suku, ras, agama, maupun antar golongan. Padahal kasus rasisme telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008, namun rupanya tidak ditegakkan dengan baik karena minimnya pengawasan.
Jika kita melihat sejarah, rasisme di Indonesia adalah mereka yang memecah status penduduk berdasarkan golongan hukum. Golongan yang tersebar di Indonesia ada 3 golongan dalam kebijakannya secara berurutan yaitu Eropa, golongan Timur Asing, dan pribumi. Dari ketiga golongan ini, yang menjadi sasaran empuk adalah dari golongan etnis Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Etnis Tionghoa menjadi etnis minoritas di Indonesia dan sering dipandang rendah. Slogan yang sering dilayangkan oleh orang yang rasis adalah "Asing". Frase "Asing" ini dijadikan untuk senjata dalam setiap hal dari bentuk rasis, termasuk dalam perpolitikan pasca-reformasi.
Terjadinya rasisme tidak hanya dari segi perpolitikan, secara sosial turut mempengaruhi hingga kini. Etnis tionghoa sangatlah dikucilkan dan dianggap rendah. Setiap orang yang bermata sipit, akan disebut sebagai "Cina" dan menjadi bahan tertawaan bagi banyak oknum pribumi. Ejekan yang paling sering dilayangkan adalah "Cina itu harusnya punya toko". Sekalipun kalimat itu netral, banyak orang membuat kalimat itu menjadi bahan ejekan dan bahan yang mengundang tawa.
Stop Racism. Sumber: Pexels.com
Namun kasus rasisme ini harusnya dibendung dan tidak lagi diwariskan bagi generasi muda. Warisan dari Belanda ini tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang menanamkan nilai-nilai pancasila. Sehingga haruslah dihapuskan warisan Belanda dalam bentuk rasisme ini. Sebaiknya yang diterima adalah warisan yang baiknya saja dari Belanda seperti sistem hukum, bahasa, dan lainnya, bukan bentuk negatif berupa rasisme.
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan berlandaskan Pancasila harus memenuhi nilai-nilai moral dan filosofis di dalamnya. Sebagai rakyat Indonesia, harus menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruhnya. Tidak membeda-bedakan etnis, agama, dan kelompok, merupakan bentuk nyata dari sikap toleransi, yang seharusnya tercermin dalam setiap pribadi rakyat Indonesia.
Sebuah Pancasila dianggap eksis apabila praktiknya tercermin dalam setiap rakyat Indonesia. Jika tidak diterapkan dengan baik, Pancasila hanya menjadi hiasan bersimbol garuda. Maka dari itu, diperlukan penerapan yang nyata dengan Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi slogan dalam mempersatukan perbedaan di Indonesia.