Hukum Perdata Siber sebagai Pendekatan Alternative Dispute Resolution

Daffa Pratama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
16 April 2022 10:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cyber Law (Sumber Foto: https://pixabay.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Cyber Law (Sumber Foto: https://pixabay.com/)
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi merupakan suatu fenomena yang tak lagi dapat dihindari. Transformasi penggunaan radio sebagai alat komunikasi pada awal abad ke-20 hingga penggunaan internet atau World Wide Web (WWW) yang kita kenal saat ini merupakan bukti nyata dari perkembangan teknologi yang terjadi. Perkembangan yang kian pesat ini pula yang kemudian turut memengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek hukum yang hidup di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hukum berperan dalam melimitasi celah-celah pelanggaran maupun kejahatan yang mungkin dapat terjadi melalui penggunaan teknologi yang semakin canggih. Hukum yang mengatur perihal ini dikenal pula dengan sebutan Cyber Law atau Hukum Siber. Indonesia sendiri telah mengakui keberadaan Hukum Siber melalui UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui dengan UU No. 19 Tahun 2016 sebagai payung hukumnya.
Walaupun begitu, sebagian besar masyarakat Indonesia kerap kali mencampur adukan penggunaan istilah Cyber Law dengan Cybercrime atau Hukum Pidana Siber, padahal jelas antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pasalnya, Hukum Pidana Siber merupakan bagian dari Hukum Siber itu sendiri yang memiliki cakupan jauh lebih luas.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. H. Nudirman Munir, S.H., M.H., selain mencakup Hukum Pidana Siber, Hukum Siber juga mengatur tentang Private Cyber atau Hukum Perdata Siber, dan Hukum Siber Khusus atau Hukum Siber Multi Aspek. Di mana Hukum Perdata Siber mengatur tentang kepentingan antar perseorangan dalam beraktivitas di cyberspace atau dunia maya, sedangkan Hukum Siber Khusus mengatur tentang perpaduan Hukum Siber berdasarkan UU ITE yang beririsan dengan perundang-undangan lainnya.
Hukum Perdata Siber sepertinya masih menjadi istilah yang asing di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam praktiknya, Hukum Perdata Siber lebih dikenal dengan dengan istilah hukum e-commerce (electronic commerce).
Eksistensi Hukum Perdata Siber sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, terlebih lagi bagi mereka yang rutin melakukan aktivitas perdagangan secara online. Namun, keberadaannya sering kali dilupakan, terutama ketika berhadapan dengan permasalahan dalam lingkup Hukum Siber.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja ketika masyarakat berbelanja secara online melalui e-commerce. Namun, barang yang dipesan tidak kunjung sampai ataupun tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh penjual, maka orientasi penyelesaian masalah akan langsung merujuk pada lingkup Hukum Pidana Siber karena dianggap sebagai suatu bentuk penipuan (bedrog).
Namun perlu diketahui, bahwa Hukum Perdata Siber dapat berperan sekaligus menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan ini. Hukum Perdata dalam konteks siber dapat digunakan sebagai pendekatan dalam mengatasi setiap permasalahan terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di dunia maya. Dalam hal ini PMH diartikan sebagai segala perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
ADVERTISEMENT
Penyelesaian permasalahan melalui pendekatan Hukum Perdata Siber dilakukan melalui jalur non-litigasi yang bersifat lebih kekeluargaan kepada para pihak terkait. Salah satu contohnya adalah penyelesaian melalui proses negosiasi, di mana para pihak memegang 'palu hakimnya' sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi diantara para pihak. Negosiasi pun menjadi salah satu cara yang paling efektif sebagai suatu bentuk alternative dispute resolution, sebab prosesnya bersifat rahasia dan bebas dari bentuk hukum acara formalitas sebagaimana di pengadilan.
Bentuk lainnya yang juga dapat menjadi suatu alternative dispute resolution adalah arbitrase, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 39 ayat (2) UU ITE. Arbitrase dapat menjadi salah satu solusi penyelesaian permasalah dalam lingkup Hukum Siber yang keputusannya bersifat final dan binding.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, beberapa saat belakangan ini turut berkembang pula apa yang disebut dengan arbitrase online, yang merupakan versi daring dari arbitrase offline. Arbitrase online dilakukan melalui video conferencing dan audio conferencing, termasuk penyediaan alat bukti, saksi, dan ahli.
Selain tergolong lebih murah dalam penyelenggaraannya, pendekatan Hukum Perdata Siber sebagai suatu alternative dispute resolution dapat menghasilkan win-win solution bagi setiap pihak yang terlibat. Sebab dalam memberikan keputusannya, para arbiter memiliki kebebasan sesuai asas ex aequo et bono untuk menghasilkan keadilan bagi para pihak.
Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa kesadaran masyarakat akan eksistensi Hukum Perdata Siber dalam pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan dalam lingkup Hukum Siber harus lebih ditingkatkan lagi. Di sisi lain, kekosongan hukum yang juga terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi dapat diatasi dengan berbagai bentuk alternative dispute resolution dalam pendekatan Hukum Perdata Siber.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Azizah, Laeli Nur. “Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi.” https://www.gramedia.com/literasi/sejarah perkembangan teknologi komunikasi/#7_Teknologi_Komunikasi_Menggunakan_Radio. Diakses 14 April 2022.
Kurniawan, Anto. “Arbitrase Bisa Jadi Pilihan Selesaikan Sengketa Bisnis Secara Win-win Solution.” https://ekbis.sindonews.com/berita/1471786/34/arbitrase-bisa-jadi-pilihan-selesaikan-sengketa-bisnis-secara-win-win-solution. Diakses 15 April 2022.
Munir, Nudirman. Pengantar Hukum Siber Indonesia. Cet. 1. Depok: Rajawali Pers, 2017.
Roihanah, Liza. “Wanprestasi dan Penyelesaian Sengketa Transaksi Perdagangan melalui Internet Business to Consumer (B2C).” Tesis Magister Universitas Indonesia, Depok.