Toxic Masculinity: Berekspresi Berujung Depresi

Daffa Putra Rabbani
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Desember 2021 13:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Putra Rabbani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
tari topeng betawi berpasangan. sumber: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
tari topeng betawi berpasangan. sumber: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity, sebuah kata yang masih awam untuk didengar di muka publik, dan jika ditanyakan mengenai arti dari toxic masculinity ini masih banyak orang yang belum memahami arti sebenarnya. Namun belakangan ini toxic masculinity ini mulai marak terangkat ke publik. Lalu apa itu toxic masculinity? Mengapa hal tersebut bisa berdampak berujung depresi?
ADVERTISEMENT
Gender dan Maskulinitas
Sebelum membahas mengenai apa itu toxic masculinity, mari mengetahui lebih lanjut mengenai gender. Gender menurut Muhtar (2002) Merupakan jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.
Gender ini sendiri memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan struktur sosial dari masyarakat itu sendiri, baik pekerjaan, hak, bahkan kesetaraan. Makulinitas dan feminitas merupakan hal yang sangat berkaitan dengan sifat dari gender manusia itu sendiri.
Maskulinitas merupakan sebuah konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Maskulinitas ini terbentuk oleh kebudayaan. Istilah maskulin lahir dari bahasa Inggris, yakni “muscle” yang berarti otot, atau sifat-sifat yang lahir dari sebuah kontruksi masyarakat yang menggambarkan sifat kejantanan, keberanian, hingga ketangguhan. Tak banyak laki-laki yang tidak memiliki sifat yang terbentuk secara “sosial” ini dikatakan penyimpangan dari laki-laki sesungguhnya. Sebutan seperti klemar-klemer, kemayu, hingga bertulang lunak pun menjadi santapan bagi pria yang tidak memiliki sifat-sifat maskulin.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, konstruksi yang telah dibuat oleh sosial cenderung terlalu kaku dan menkotak-kotakan manusia, yang dimana manusia memiliki keunikannya sendiri dengan individu lain. Henslin (2017:298) dalam bukunya Sociology: A Down-To-Earth Approach mengatakan bahwa jika biologis seseorang mempengaruhi gender, maka seisi dunia memiliki perilaku yang sama dan tidak ada bedanya. Seperti perempuan memiliki sifat lemah lembut, dan laki-laki memiliki sifat yang perkasa. Konstruksi yang tidak relevan dengan kondisi manusia ini cenderung memberikan racun bagi kaum laki-laki hingga masyarakat.
Toxic Masculinity
Pengertian dari toxic masculinity atau maskulinitas yang beracun ini merupakan tekanan atas kondisi perilaku dan sifat kejantanan seorang laki-laki yang tidak sesuai dengan standar konstruksi sosial. Hal ini sering terjadi karena kurangnya ikatan yang kuat dengan figur ayah/mentor pria yang tidak memberikan pemahaman sehingga terjadinya maskulinitas beracun. (Harrington, 2020).
ADVERTISEMENT
Laki-laki yang ingin secara bebas melepaskan dan mengeluarkan ekspresinya cenderung tertahan dengan banyaknya stigma yang beredar dimasyarakat bahwa laki-laki tidak pantas untuk mengeluarkan ekspresinya secara penuh dan mutlak. sebagai contoh, saat sedang sedih laki-laki dianggap tidak gentle jika menangis, atau bahkan laki-laki dicap kemayu atau berlagak seperti perempuan jika menyalurkan berekspresinya dengan cara "menari". Hal-hal seperti ini masih sangat marak terjadi di masyarakat di Indonesia.
Ekspresi dan Depresi
Depresi, tidak mengenal usia, tidak hanyak orang tua saja, bahkan anak-anak pun dapat mengalami depresi. WHO telah memprediksi depresi di tahun 2020 gangguan mental seperti depresi menjadi penyebab kedua kematian setelah serangan jantung. Faktor terjadinya depresi sangat beragam, salah satu penyebab terjadinya depresi ialah faktor sosial, seperti tuntutan dan peran sosial dalam sebuah keluarga atau masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tekanan dan tuntutan untuk berperilaku dan berekspresi secara maskulin merupakan salah faktor dari depresi itu sendiri. Ekspresi dan emosi yang dipendam terlalu lama, juga tekanan sosial negatif yang tak kunjung usai, akan menyebabkan seseorang tertekan di dalam hidupnya sehingga kesehatan mentalnya pun turut memburuk.
Jika seseorang tidak sanggup untuk menahan tekanan ini akan berakibat stress dan berujung depresi. Toxic masculinity yang terus berkembang, akan memberikan efek yang buruk pada kesehatan mental individu dan struktur sosial dalam sebuah masyarakat, bahkan parahnya akan menjadi salah satu faktor terjadinya bunuh diri pada remaja.
Stigma yang masih terus menyelimuti isu toxic masculinity harus segera dituntaskan. Karena manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kemampuannya masing-masing, penyaluran ekspresi dalam pengembangan bakat pun seharusnya diberikan dukungan sosial secara penuh, kuat dan positif. Toxic masculinity tidak bisa begitu saja hilang dalam sebuah masyarakat, namun dapat diminimalisasi dengan cara berhenti menyebarkan stigma yang buruk dan tidak relevan terhadap kondisi seseorang. Sebagai penutup, yuk salurkan ekspresimu dengan cara yang positif, dan teruslah berkarya dengan caramu sendiri!
ADVERTISEMENT
Referensi:
Dirgayunita, Aries (2016). Depresi: Ciri, Penyebab, dan Penangannya. Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo. 1(1)
Harrington, Carol. (2020). What is “Toxic Masculinity” and Why Does It Matter?. Men and Masculinities. 24(4)
Henslin, M. J. (2017). Sociology: A Down-To-Earth Approach (13th ed). Southern Illinois University, Edwardsville. 298.
Muhtar, Yanti. (2002). Makalah “Pendidikan Berperspektif Keadilan Gender”, dalam rangka seminar Pengarustamaan Gender, di Depdiknas Jakarta, 5 Desember 2002.