Konten dari Pengguna

Krisis Netralitas ASN: Hak Politik atau Kewajiban Birokrat Publik yang Beretika?

Damainsa Prahesti Nukyanto
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga
6 Juni 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damainsa Prahesti Nukyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Netralitas ASN, Sumber Foto: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Netralitas ASN, Sumber Foto: Canva
ADVERTISEMENT
Isu netralitas ASN kembali mengemuka jelang hadirnya Pilkada serentak 2024. Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah dengan perjanjian kerja serta diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
ADVERTISEMENT
ASN juga terikat oleh peraturan yang dikenal sebagai Kode Etik ASN. Pada dasarnya, ASN juga merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak dalam keyakinan politik, namun seringkali terjadi dilema dalam menerapkan hak berpolitik sebagai hak pribadi dan kewajiban dalam melaksanakan netralitas Asesuai kode etik ASN.
ASN selalu dituntut untuk menjaga netralitas dalam politik. Didalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 Huruf f, yang dimaksud dengan asas netralitas adalah setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap ASN harus menunjukkan sikap netral dan bebas dari segala pengaruh politik, intervensi dari semua kelompok kepentingan dan partai politik. Namun sayangnya, bukan merupakan pola pikir baru bahwa ASN akan mendapatkan posisi yang baik hanya jika mereka berpihak pada salah satu partai politik.
ADVERTISEMENT
Menurut Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) setidaknya ada 2.073 pengaduan terkait dugaan pelanggaran netralitas pejabat publik sepanjang periode Pilkada 2020 hingga Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. Dari data tersebut, sebanyak 1.605 ASN (77,5 persen) terbukti melanggar netralitas dan mendapat rekomendasi sanksi moral dan disiplin.
Dari rekomendasi penjatuhan sanksi tersebut, sekitar 1.420 ASN (88,5 persen) telah dijatuhi sanksi moral dan disiplin oleh PPK (kompas.com). Lebih lanjut, menurut laporan KASN, pelanggar netralitas ASN ditemukan di semua jenjang birokrasi, mulai dari jabatan fungsional, pelaksana, pimpinan, administrator, hingga pengawas.
Isu netralitas ASN dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024 mencatat adanya pola pelanggaran netralitas ASN, antara lain dengan aktif mempromosikan calon tertentu yang didukung di akun media sosial pribadi dan adanya promosi yang dilakukan di media luar seperti spanduk dan baliho untuk menunjukkan dukungan politik.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut data KASN tahun 2018, motif terbanyak yang melatarbelakangi pelanggaran tersebut adalah upaya untuk mempertahankan jabatannya saat ini (43,4 persen) dengan mempromosikan diri dengan mendukung calon tertentu, hubungan kekeluargaan antara ASN dan tim sukses atau kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu ataupun Pilkada (15,4 persen).
Selain itu, pelanggaran netralitas ASN disinyalir ditengarai oleh rendahnya pemahaman ASN terkait aturan netralitas (12,1 persen) dalam menyebarkan dukungan, baik disengaja atau tidak.
Dengan tidak adanya KASN setelah RUU ASN disahkan, potensi pelanggaran netralitas ASN semakin rawan terjadi. Pengawasan netralitas terhadap ASN harus tetap menjadi agenda semua pihak.
Peserta Pemilu juga harus memiliki komitmen untuk menjaga netralitas ASN dengan tidak bermain-main memanfaatkan potensi dukungan ASN dengan menggunakan pengaruh politiknya, terutama bagi kepala daerah petahana yang kembali mencalonkan diri dalam Pilkada.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 akan menjadi ujian bagi netralitas ASN. Netralitas ASN sebenarnya adalah salah satu isu hukum yang bersinggungan dengan kebebasan berserikat, untuk itu DPR dan pemerintah menggunakan kewenangannya untuk membuat batasan aktivitas ASN. Menurut Teori Contract Sui Generis, ASN harus loyal dan patuh terhadap pemerintah karena terikat perjanjian yang di dalamnya terkandung hubungan dinas publik, yang berimplikasi pada adanya pembatasan hak asasi pada setiap ASN.
Oleh karena itu, larangan ASN untuk berpolitik bukanlah merupakan bentuk pelanggaran HAM, tetapi merupakan konsekuensi Contract Sui Generis. Hal ini bertujuan untuk memberikan bentuk kepastian hukum, kedayagunaan dan keadilan terhadap kemungkinan bergeraknya kekuasaan yang didasari oleh kepentingan pribadi yang berujung abuse of power.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2023, ASN harus mematuhi peraturan yang berlaku berdasarkan asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, pendelegasian, netralitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, serta kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Prinsip ini diperlukan karena membuat pelayanan publik tetap stabil meskipun terjadi pergantian pemimpin. Netralitas bukanlah kepentingan sesaat, melainkan sebuah keharusan bagi pemerintahan. Orientasi kinerja ASN haruslah bertujuan untuk pelayanan masyarakat yang baik, bukan untuk memenuhi kepentingan segelintir pimpinan. Namun, politisasi cenderung menjadi hal yang lumrah karena mengembalikan pelayanan publik yang bersih tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi penyelenggara negara.
Berdasarkan temuan di atas, hampir separuh aparat melanggar prinsip netralitas karena ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemimpin yang terpilih memiliki kewenangan penuh dalam memilih, menentukan, dan mengganti pejabat struktural pemerintahan. Pada akhirnya, hal inilah yang menjadi penyebab ASN lebih memilih untuk membangun kedekatan politik daripada meningkatkan kompetensi untuk mendukung karier mereka.
ADVERTISEMENT
Kasus pelanggaran netralitas ASN bukanlah hal baru di birokrasi publik. Ke depannya, pemerintah memiliki tantangan dalam penegakan dan penanganan permasalahan kualitas ASN terkait krisis intervensi politik serta penerapan manajemen aparatur, untuk itu diperlukan upaya termasuk pembentukan KASN untuk menangani permasalahan ASN.
Tantangan ini perlu segera diperhatikan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan melalui penciptaan ASN yang berintegritas, berkinerja tinggi, dan profesional. Penerapan sistem merit merupakan salah satu kebijakan yang diambil untuk mewujudkan reformasi ASN. Melalui kebijakan tersebut, penempatan ASN pada jabatan pemerintahan didasarkan pada kompetensi, kinerja, dan rekam jejak yang berintegritas.
Dengan demikian, sistem merit dapat membantu memberikan solusi dalam menghadapi tantangan dalam melaksanakan reformasi ASN yang berbasis kompetensi dan kinerja tanpa memandang ras, asal usul, agama, warna kulit, disabilitas, latar belakang politik, usia, status perkawinan atau jenis kelamin. Hal ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dan menciptakan rasa keadilan, serta mengubah cara pandang masyarakat dalam menilai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
ADVERTISEMENT