Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penegakan Kawasan Tanpa Rokok: Antara Cita-Cita dan Realita
5 Juni 2024 10:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Damainsa Prahesti Nukyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia telah ada sejak tahun 2009, tepatnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Ada delapan area yang ditetapkan dalam KTR, yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Meskipun telah ada kebijakan mengenai KTR tersebut, konsumsi rokok Indonesia justru terus meningkat, dari data Kemenkes terdapat 70 juta orang perokok aktif dengan 7,4 persen di antaranya adalah perokok anak (10-18 tahun). Indonesia bahkan menempati urutan ke-4 dalam Global Tobacco Industry Interference Index tahun 2023 setelah Republik Dominika, Swiss dan Jepang karena pemerintah dinilai lebih dekat dengan industri tembakau dibanding berusaha menekan jumlah perokok aktif.
Yang lebih memperihatinkan, prevalensi merokok anak yang pada tahun 2018 sebesar 9,1 persen (Riskesdas 2018) diprediksi Bappenas akan naik menjadi 16 persen di tahun 2030 apabila tidak ada pengendalian yang tegas dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus belajar banyak dari negara tetangga kita, Singapura, yang menerapkan aturan yang ketat dalam kebijakan pengendalian rokoknya hingga dapat menghasilkan prevalensi merokok hanya sebesar 10,1 persen pada tahun 2020.
Singapura telah menaikkan usia minimum untuk pembelian rokok dari 20 menjadi 21 tahun pada tahun 2021 dan sejak tahun 2013 telah memperluas pelaksanaan undang-undang bebas rokok di kawasan pemukiman dan jalanan.
Berkat peraturan tersebut, Singapura bereputasi sebagai ”lingkungan yang paling tidak bersahabat” bagi perusahaan tembakau dan menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok terendah di dunia.
Berkaca dari kebijakan pembatasan rokok di Singapura, ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam penegakan aturan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Pemerintah yang tegas menegakkan peraturan dan masyarakat yang secara sadar mau menaati peraturan tersebut demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Realitanya, implementasi kebijakan KTR menemui beberapa faktor penghambat. Mulai dari pelaksana kebijakan yang justru acuh tak acuh dan meremehkan kebijakan yang telah dibuat, hingga masyarakat yang tidak tahu atau pura-pura tidak mengetahui aturan tersebut sehingga mengakibatkan gagalnya implementasi kebijakan KTR.
Padahal, jika kebijakan KTR berhasil diterapkan, selain mengurangi risiko kematian akibat penyakit tidak menular yang disebabkan oleh rokok, secara tidak langsung pemerintah dapat menurunkan prevalensi stunting dan kemiskinan. Gizi masyarakat yang selama ini tidak terpenuhi, di beberapa penelitian telah terbukti disebabkan oleh tingginya konsumsi rokok pada masyarakat tidak mampu.
Lebih lanjut, konsumsi rokok juga masih saja berkontribusi pada garis kemiskinan di Indonesia. Menurut data BPS, rokok adalah komoditi kedua yang berkontribusi terhadap garis kemiskinan setelah beras, dan jumlah pengeluaran untuk membeli rokok jauh lebih besar daripada jumlah yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli protein hewani (BPS, 2023). Miris bukan?
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih berupa aturan yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak rokok bagi perokok pasif. Namun, hingga saat ini dampak kebijakan tersebut belum terlalu dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Masih sering kita menemukan perilaku merokok di Kawasan Tanpa Rokok, bahkan pelakunya masih di usia anak. Walau telah ada ketentuan pidana bagi yang melanggar, nyatanya penegakan aturan tersebut hanya terlihat di awal, saat kebijakan itu baru dibuat.
Oleh karena itu, pemerintah selaku pembuat kebijakan diharapkan dapat melengkapi aturan KTR dengan pelarangan penjualan produk tembakau bagi yang berusia di bawah 21 tahun dan melarang penjualan rokok eceran. Dengan demikian, generasi muda akan sulit untuk mendapatkan akses pada rokok.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga dapat menerapkan pelarangan penambahan perasa pada rokok elektrik. Penelitian menyebutkan bahwa adanya larangan untuk menggunakan perasa pada rokok elektrik terbukti mengurangi penjualan rokok elektrik secara signifikan.
Untuk itu, diperlukan adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mampu mendukung terlaksananya kebijakan, adanya koordinasi yang baik antara pemerintah dan pihak terkait, serta sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat agar dapat saling bahu membahu mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok yang dicita-citakan.