Konten dari Pengguna

Suara Yang Terpinggirkan, Dilema Kelompok Rentan dalam Pilkada 2024

Damar Fahmi
Mahasisa Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya
1 Desember 2024 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damar Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menunjukkan petugas pemilu membantu seorang pria yang memiliki keterbatasan fisik di tempat pemungutan suara. by Instagram KPU Provinsi Sumatera Selatan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menunjukkan petugas pemilu membantu seorang pria yang memiliki keterbatasan fisik di tempat pemungutan suara. by Instagram KPU Provinsi Sumatera Selatan
ADVERTISEMENT
Dilema Kelompok Rentan Pada Pilkada 2024
Pilkada 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, seperti yang sering terjadi, kelompok rentan—seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan warga di daerah terpencil—masih menghadapi berbagai hambatan dalam berpartisipasi penuh. Judul ini mencerminkan realitas dilematis: demokrasi yang seharusnya inklusif justru kerap menjadi eksklusif bagi mereka yang terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Secara konseptual, dilema yang dihadapi kelompok rentan ini tidak hanya menyangkut persoalan teknis atau aksesibilitas, tetapi juga menyentuh persoalan representasi, pendidikan politik, dan manipulasi ekonomi-politik. Gagasan ini berakar pada pandangan bahwa demokrasi hanya akan berhasil jika setiap suara dihargai dan diberikan kesempatan untuk berkontribusi secara setara. Namun, realitas menunjukkan bahwa kelompok rentan masih sering diabaikan dalam perumusan kebijakan dan praktik pemilu.
Hambatan Fisik dan Teknis
Salah satu persoalan utama yang dihadapi kelompok rentan adalah hambatan aksesibilitas. Banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, ketiadaan jalur kursi roda, petunjuk suara untuk tunanetra, atau aksesibilitas lainnya menjadi kendala besar. Hal ini diperparah oleh minimnya perhatian terhadap kebutuhan masyarakat adat dan warga di daerah terpencil, yang sering kali menghadapi tantangan logistik untuk mencapai TPS akibat buruknya infrastruktur transportasi.
ADVERTISEMENT
Kegagalan untuk menyediakan akses yang setara ini bukan hanya masalah teknis tetapi mencerminkan kurangnya komitmen terhadap inklusi demokrasi. Jika 30% TPS belum memenuhi standar aksesibilitas, seperti yang diungkapkan dalam berbagai laporan, bagaimana mungkin kita berbicara tentang demokrasi yang merata?
Foto memperlihatkan penyandang disabilitas menggunakan kursi roda sedang berada di tempat pemungutan suara. By KOMPAS.COM
Selain persoalan aksesibilitas, representasi kelompok rentan dalam politik juga menjadi isu yang tidak kalah penting. Banyak kandidat kepala daerah lebih memilih untuk fokus pada kebutuhan mayoritas pemilih yang dianggap strategis secara elektoral. Akibatnya, isu-isu mendasar seperti perlindungan hak masyarakat adat, penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas, atau pemberdayaan perempuan marginal sering kali hanya menjadi bagian dari janji kampanye yang segera dilupakan setelah pemilu berakhir.
Situasi ini menciptakan paradoks demokrasi: kelompok rentan tidak hanya mengalami hambatan dalam berpartisipasi tetapi juga dalam menentukan agenda politik. Kurangnya perwakilan mereka di kursi legislatif atau eksekutif semakin memperburuk ketimpangan ini, membuat mereka tidak mampu menyuarakan kebutuhan mereka secara efektif.
Foto menunjukkan seseorang sedang memberikan sejumlah uang kepada orang lain. By PERLUDEM.ORG
Praktik politik uang juga menambah kompleksitas dilema yang dihadapi kelompok rentan. Di berbagai daerah, kelompok rentan sering menjadi sasaran empuk untuk manipulasi politik. Bantuan berupa uang tunai atau sembako kerap diberikan sebagai imbalan suara, namun ini tidak mengatasi akar masalah kemiskinan atau ketidakadilan struktural.
ADVERTISEMENT
Praktik ini melemahkan posisi kelompok rentan sebagai pemilih yang kritis. Alih-alih menjadi agen perubahan, mereka justru terjebak dalam siklus ketergantungan pada politisi yang memanfaatkan kerentanan mereka demi keuntungan elektoral. Demokrasi yang sehat seharusnya memberdayakan, bukan memperburuk ketergantungan.
Pentingnya Pendidikan Politik yang Inklusif
Tingkat pendidikan politik yang rendah menjadi tantangan besar dalam upaya memberdayakan kelompok rentan. Banyak di antara mereka tidak memahami hak-hak dasar mereka sebagai warga negara, apalagi memahami bagaimana kebijakan politik dapat berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan kesadaran politik di kalangan kelompok rentan. Program pendidikan politik harus dirancang secara inklusif, misalnya melalui penyediaan materi kampanye yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas atau mengadakan pelatihan politik di komunitas terpencil. Hal ini tidak hanya akan membantu kelompok rentan membuat keputusan yang lebih cerdas dalam memilih pemimpin, tetapi juga akan memperkuat posisi mereka dalam struktur demokrasi.
ADVERTISEMENT
Reformasi sistem pemilu menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa Pilkada 2024 menjadi lebih inklusif. Perbaikan infrastruktur pemilu, seperti memastikan bahwa setiap TPS memenuhi standar aksesibilitas, adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Selain itu, partai politik harus lebih aktif dalam mengusung kandidat yang memahami isu-isu inklusi sosial dan bersedia memperjuangkan kepentingan kelompok rentan.
Pengawasan terhadap praktik politik uang juga harus diperketat. Mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh masyarakat, termasuk kelompok rentan, dapat membantu mencegah manipulasi politik. Kampanye politik seharusnya tidak hanya menjadi ajang mempromosikan kandidat tetapi juga sebagai sarana untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik yang bertanggung jawab.
Menuju Demokrasi yang Inklusif
Pilkada bukan sekadar tentang memilih pemimpin; ia adalah ujian bagi sejauh mana demokrasi kita benar-benar inklusif. Kelompok rentan memiliki hak yang sama untuk didengar dan dihormati dalam proses demokrasi ini. Tanpa langkah konkret untuk mengatasi hambatan aksesibilitas, meningkatkan keterwakilan politik, dan memperkuat pendidikan kewarganegaraan, demokrasi Indonesia akan terus menghadapi tantangan kredibilitas.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan kerja sama antara pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat luas, sistem demokrasi yang inklusif dapat terwujud. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang memperhitungkan setiap suara, termasuk suara mereka yang selama ini terpinggirkan. Mari jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum perubahan menuju demokrasi yang lebih adil dan merata bagi semua.