Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mengkritisi Wacana KPI Mengawasi Netflix, Facebook, dan YouTube
12 Agustus 2019 11:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Damar Juniarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terkait dengan niat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melakukan pengawasan terhadap YouTube, Facebook, dan Netflix, saya mengajukan beberapa kritik kepada KPI di program Metro Pagi Prime News, Metro TV, tadi pagi.
ADVERTISEMENT
Pertama, KPI telah 'salah arah'. Mandat dari UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran kepada KPI adalah, menjalankan fungsi sebagai lembaga independen quasi negara, untuk mengatur tentang penyiaran. Kewenangan dan tugas kewajibannya menyangkut penyiaran, bukan hanya mengawasi isi siaran. Entah bagaimana belakangan KPI hanya mengurusi isi siaran dan tidak menjalankan kewajibannya dalam menegakkan P3SPS dan sistem siaran jaringan.
Mengurusi penyiaran itu, berarti KPI harus bisa membedakan antara mana yang ranah broadcast dan mana yang ranah broadband.
Ranah broadcast berciri memancarkan siaran memakai frekuensi, sedang ranah broadband memakai bandwith di internet. Di broadcast, macamnya ada TV Satelit (free to air) dan TV berbayar. Sedangkan di broadband ada, IPTV dan OTT Streaming. YouTube dan Facebook masuk dalam OTT streaming, sedangkan Netflix masuk kategori yang berbeda lagi, yaitu SVOD.
ADVERTISEMENT
Kedua, KPI terburu-buru sehingga keliru. Di dalam rancangan UU Penyiaran yang baru, memang diatur mengenai digitalisasi penyiaran. Namun, hal ini bukan berarti memasukkan media digital dalam penyiaran, melainkan ini merupakan proses transisi sistem penyiaran dari transmisi analog, pindah ke transmisi digital yang lebih efektif dan memunculkan bonus digitalisasi. Di sinilah peran KPI dibutuhkan, untuk mengelola kelebihan frekuensi yang bisa diperuntukkan bagi masyarakat luas. KPI jadi terburu-buru menafsirkan dan ambil langkah keliru yang tak perlu.
Ketiga, KPI tidak memiliki kompetensi. Selama ini isi konten media digital diatur lewat: 1) Aturan hukum UU ITE dan PM Kemkominfo No. 19 Tahun 2014, tentang pengaturan konten negatif. 2) Pengelola platform mengeluarkan Community Guidelines 3) Partisipasi masyarakat lewat aduan individu dan organisasi yang berstatus Pelapor Resmi.
ADVERTISEMENT
Ketiga ini sudah cukup untuk mengelola konten agar isinya terkendali. KPI sebaliknya, tidak memahami bagaimana teknologi dan bisnis media digital, serta mekanisme pengaturan yang tidak mencederai hak asasi manusia. Sehingga, sebaiknya KPI sebagai bentuk partisipasi peran serta masyarakat, cukup pada ranah penyiaran saja.
Alih-alih mau repot mengurusi media digital, KPI disarankan untuk memperbaiki kinerjanya lebih dulu di ranah penyiaran, untuk berani menghadapi dan memberi sanksi tegas pada stasiun televisi dan radio yang melanggar P3SPS, merekomendasikan penyetopan izin pada stasiun TV dan radio yang kerap melanggar, dan mendorong dijalankannya sistem siaran jaringan.