Estafet Visual dari Dinding Gua ke Dinding Kota

Damar Tri Afrianto
Dosen di Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto
Konten dari Pengguna
28 Maret 2021 7:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damar Tri Afrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan Pra Sejarah Cap Tangan di Dinding Gua Pangkep Sulawesi Selatan (Foto: Koleksi Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Pra Sejarah Cap Tangan di Dinding Gua Pangkep Sulawesi Selatan (Foto: Koleksi Penulis)
ADVERTISEMENT
Sejarah juga telah menunjukkan bahwa orang-orang nusantara memiliki kemampuan dalam mengolah kreativitas seni yang tinggi. Lukisan cap tangan dan hewan di masa purba hingga relief-relief candi adalah cara berkomunikasi melalui visual. Sebelum ditemukannya budaya aksara, budaya visual atau gambar adalah komunikasi efektif bahkan hingga sekarang. Seni-seni visual prasejarah yang masih kita temui peninggalannya tentu bukanlah sekadar gambar yang hanya sekadar dinikmati, ada seperangkat makna di balik-balik gambar-gambar tersebut, mulai dari harapan, doa-doa, dan petuah-petuah kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bahasa gambar atau visual tentu tidak severbal bahasa tulis, maka dalam bahasa visual mengenal adanya simbol. Rangkaian peristiwa serta ungkapan-ungkapan yang ingin di komunikasikan direpresentasikan melalui simbol. Maka komunikasi melalui simbol-simbol gambar adalah komunikasi tersirat atau tidak langsung, pemaknaannya harus dipahami lebih jeli dan teliti. Inilah warisan leluhur bangsa Indonesia, bahwa kita mengenal bahasa gambar dengan simbol-simbolnya diharapkan maksud yang ingin disampaikan lebih terasa dan membekas. Tidak heran bahwa generasi kita mewarisi kemampuan menciptakan tanda atau simbol dalam kehidupan sehari-hari.
Reproduksi Visual
Simbol-simbol visual yang diwarisi leluhur kita melalui lukisan gua dan dan relief candi dalam perkembangannya selalu menciptakan kreativitas berdasarkan konteksnya. Kemunculan seni-seni urban semacam grafiti dan mural juga dapat dipahami merupakan estafet panjang dari citra-citra visual pra-sejarah yang telah tertoreh di dinding candi dan gua. Meskipun perbedaan waktu sangatlah jauh namun motivasi menciptakan simbol-simbol visual secara esensi adalah sama yaitu berkomunikasi dan mengkomunikasikan.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui orang-orang dulu berkarya seni melalui torehan relief dan di gua erat kaitanya dengan religinya, namun karya-karya grafiti di dinding-dinding tembok sudut kota adalah cerminan kondisi sosial politik masyarakat. Meski grafiti kerap dipandang vandalisme namun suara-suara melalui gambar-gambar adalah kejujuran rakyat atas respons terhadap situasi terutama situasi politik negeri ini. Grafiti tentu dalam hal ini adalah produk kreativitas seni melalui simbol-simbol baik melalui stilisasi teks maupun gambar.
Selain sebagai praktik kesenian, peradaban menunjukkan bahwa grafiti memiliki peran penting pada masanya. Seni Grafiti pernah digunakan sebagai alat berjuang pada masa kemerdekaan di beberapa kota dan juga sebagai wadah untuk menyampaikan tuntutan rakyat pada era reformasi 1998 di beberapa kota. Grafiti dalam tesisnya Sayamsul Bahri (2008) dikatakan salah satu cara untuk menyiasati keadaan yang mengkondisikan orang untuk tidak mengatakan yang sebenarnya secara langsung. Grafiti juga dilihat sebagai tempat orang melepaskan diri dari kondisi-kondisi yang semakin lama semakin menekan.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa reproduksi visual tidak akan berhenti, keinginan untuk mengekspresikan, mengkomunikasikan, hingga mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang pun tidak pernah padam. Bahasa visual dirasa efektif dan mengena, apalagi media grafiti atau mural menggunakan tembok-tembok di sudut kota yang strategis untuk dilihat publik. Meskipun di beberapa kota grafiti mendapatkan tekanan dari pemerintah karena dianggap meresahkan dan mengotori wajah kota, namun semakin tinggi tekanan justru secara masif komunitas mural semakin merebak dan kreatif menggandeng instansi-instansi. Hingga, pada akhirnya ada beberapa kota di Yogyakarta misalnya, yang memanfaatkan seni grafiti sebagai partner untuk perwajahan kota yang estetis.
Grafiti tidak bisa di tolak adalah produk kreativitas dari perkembangan seni, meskipun prototipe yang melekat adalah kegiatan propaganda, kritik terhadap pemerintah dan vandalisme namun inilah kebudayaan visual nusantara yang selalu ingin mengekspresikan simbol-simbol untuk mengkomunikasikan gagasannya. Grafiti melalui ruang publik akan selalu menyuarakan kata hati masyarakat, melalui ruang publik pula grafiti ingin merebut kembali ruang publik dari kepentingan kampanye dan iklan karena esensi ruang publik adalah milik publik.
ADVERTISEMENT
Damar Tri Afrianto
Dosen DKV Institut Teknologi Telkom Purwokerto