Konten dari Pengguna

Toleransi dan Ingatan 'Lautan Jilbab'

Damar Tri Afrianto
Dosen di Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto
12 Maret 2021 9:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damar Tri Afrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajarkan toleransi pada anak sejak dini. Foto: K.W. Barrett via Flickr
zoom-in-whitePerbesar
Ajarkan toleransi pada anak sejak dini. Foto: K.W. Barrett via Flickr
ADVERTISEMENT
Toleransi sebagai frasa bahasa kian berdenyut sepanjang hidup dalam keberagaman dan kemajemukan. Frasa itu terus dikumandangkan dalam merawat keutuhan dalam perbedaan, namun frasa itu tak cukup hanya eksis di dalam konsonan ‘bunyi’ semata. Pasalnya, dinamika sosial dan menguatnya politik identitas menjadi pintu masuk pudarnya toleransi, tak terkecuali melalui kanal pendidikan. Semestinya, jalan pendidikan tempat pertama kali mengenal apa itu toleransi, dan sebuah sistem yang mengupayakan pengembangan wawasan, sikap, dan karakter yang menjunjung moderasi atas keberagaman.
ADVERTISEMENT
Menguatnya kembali intolerensi di lembaga pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini menjadi gambaran bahwa jalan pendidikan masih menjadi lahan subur masuknya intimidasi yang berdampak pada intoleransi. Penyeragaman dengan menggunakan simbol jilbab tentu bukanlah esensi pokok pada tujuan pendidikan, apalagi dipaksakan pada agama atau kepercayaan yang berbeda. Intoleransi yang masif di lembaga pendidikan barangkali masih muncul dengan berbagai motif dan siasat naturalisasi yang ‘halus’, sehingga bentuk penyebarannya ‘nirsadar’.
Masih suburnya perilaku intoleransi di dunia pendidikan setidak-tidaknya karena sebagian prinsip pendidikan kita terlalu mementingkan penampakan luar melalui atribut, ijazah, dan gelar yang sangat bernuansa komoditif bukan pada sifatnya yang esensi.
Di sisi lain, jilbab sebagai pernyataan kepercayaan, dalam perkembangannya menjadi sebuah fenomena tersendiri yang mengiringi perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia. Selembar kain itu pernah menjadi ancaman bagi stabilitas politik di era zaman orde baru, sehingga kehadirannya harus ‘dijinakkan’ melalui mekanisme represif. Di masa itu, pelajar harus berhati-hati dalam penggunaan jilbab di lingkungan pendidikan, bahkan tak sedikit dari mereka yang harus berurusan dengan aparat keamanan.
ADVERTISEMENT
Fenomena inilah pada waktu itu melahirkan puisi ‘Lautan Jilbab’ karya Emha Ainun Najib atau Cak Nun. Puisi yang diteatrikalkan itu menjadi kritik satiris tentang persoalan jilbab, lirik-lirik panjang dalam puisi itu menyiratkan bahwa kepribadian dan cara berpikir seseorang bukan semata dilihat dari apa yang dikenakan, meski bernada gelombang perjuangan dan perlawanan namun jilbab disematkan pada simbol paling esensi dan ruang kedalaman religi. Puisi Lautan Jilbab menjadi refleksi ketika simbol-simbol agama diakomodir atas kepentingan dunia semata.
Puisi Lautan Jilbab dengan fenomena intolerensi baru-baru ini meski memiliki perbedaan waktu dan konteks dalam mempersepsikan jilbab, namun memiliki benang merah yang sama yaitu represif. Jilbab bisa jadi alat atau media yang di dalamnya beroperasi sistem represif tersebut, sehingga makna jilbab dihilangkan dari spiritualitasnya.
ADVERTISEMENT
Berbanding lurus
Kita telah lama meninggalkan pemaknaan bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah kearifan dan kebijaksanaan. Keduanya itu adalah jalan menuju ruang spiritual. Sementara lembaga pendidikan kita tengah sibuk pada atribut dan citra untuk memenuhi kebutuhan material dan komodifikasinya. Tidak heran, jika intoleransi tumbuh sejalan dengan kepentingan materialisme. Mental pada citra dan atribut yang kian lekat pada pendidikan harus dikesampingkan dan harus didorong pada nilai subtansi pendidikan itu sendiri. Pendidikan dan religuisitas sifatnya berbanding lurus. Pendidikan yang baik menghasilkan tingkat pemaknaan spiritual yang baik pula, kedua berkelindan saling mempengaruhi.
Kasus intolerensi di lembaga pendidikan menunjukkan kurangnya kesadaran lembaga pendidikan tersebut dalam membawa anak didiknya merasakan pengalaman spiritual yang diyakini melalui ilmunya.
ADVERTISEMENT
Kita bisa tengok kembali petikan Puisi Lautan Jilbab Cak Nun; jilbab ini usaha perlindungan dari sergapan-sergapan// Dunia entah macam apa, menyergap kami// Sejarah di tangan siapa, menjaring kami// Kekuasaan entah dari nafsu apa, menyerimpung kami// Kerakusan dengan ludah berbusa-busa, mengotori wajah kami// langkah kami terhadang, kaki kami terperosok peradaban ini// buku-buku pelajaran memakan kami//
Dalam petikan bait tersebut kita disibakkan bahwa atas nama kerakusan kekuasaan, segala macam dapat dilakukan tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Produksi kekuasaan di lembaga pendidikan disematkan melalui mekanisme represif, dogmatis, dan kontrol atas pemikiran kritis.
Sangat mungkin intoleransi adalah buah dari kekuasaan melalui mekanisme pendidikan, dan inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah dan civitas pendidikan. Puisi lautan jilbab mampu sebagai tonggak ingatan, bahwa tercapainya nilai spiritualitas berbanding lurus dengan keluhuran pendidikan, bukan sebaliknya atribut dan citra yang lebih dominan dalam dunia pendidikan kita. Merawat toleransi dalam keberagaman merupakan trajektori yang bukan hanya dirawat, tapi hendaknya terus diupayakan dalam tindakan nyata.
ADVERTISEMENT
Damar Tri Afrianto
Staf Pengajar DKV Institut Teknologi Telkom (ITT) Telkom