Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perpustakaan Bukan Sekadar Rak Buku: Menggagas Ulang Fungsinya di Era Digital
13 Mei 2025 17:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Damar Ary Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di pojok-pojok kota dan kampus, perpustakaan masih berdiri. Tenang, berdebu, dan kadang sepi. Sebagian dari kita mungkin menganggapnya tempat nostalgia — tempat anak 90-an mencari referensi skripsi, atau sekadar mengisi daftar kunjungan demi absen dosen. Tapi di era digital ini, ketika informasi bisa diakses dari genggaman tangan, muncul pertanyaan penting: masih relevankah perpustakaan hari ini?
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, perpustakaan dianggap warisan masa lalu yang pelan-pelan kehilangan fungsinya. Padahal, jika kita jujur melihatnya, bukan perpustakaannya yang usang — melainkan cara kita memaknainya yang ketinggalan zaman. Kita terlalu sering membatasi perpustakaan sebagai tempat menyimpan buku, padahal ia bisa (dan seharusnya) menjadi pusat peradaban.
Saat Dunia Berubah, Perpustakaan Harus Bergerak
Era digital mengubah cara manusia mengakses dan mengelola informasi. Google menjawab semua pertanyaan dalam hitungan detik, e-book bisa diunduh gratis, dan video pembelajaran tersedia 24 jam. Tak heran kalau generasi muda lebih memilih scroll TikTok edukatif ketimbang membuka katalog buku fisik.
Tapi justru di tengah tsunami informasi ini, peran perpustakaan menjadi sangat penting — bukan sebagai “gudang buku”, tapi sebagai penjaga kualitas literasi. Ketika hoaks merajalela dan informasi tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan opini, perpustakaan harus menjadi tempat verifikasi, tempat refleksi, dan tempat diskusi. Bukan sekadar tempat baca, tapi tempat berpikir.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banyak perpustakaan belum berani keluar dari model lama. Masih kaku, pasif, dan terkurung dalam citra “tempat yang harus hening”. Padahal, justru di sanalah harusnya ide-ide bertumbuh: melalui diskusi terbuka, ruang komunitas, kelas literasi, bahkan talkshow kecil yang mendekatkan buku dengan realitas.
Contoh Nyata: Perpustakaan yang Hidup dan Menghidupkan
Beberapa perpustakaan di Indonesia sebenarnya sudah mulai bergerak. Misalnya, Perpustakaan Cikini di Jakarta, yang dulu hanya dipenuhi rak dan katalog kini memiliki ruang diskusi terbuka, kelas pelatihan digital, dan bahkan peminjaman alat multimedia. Mereka juga aktif di media sosial untuk promosi program dan literasi digital — sesuatu yang jarang dilakukan perpustakaan konvensional.
Lalu ada Perpustakaan Kota Bandung, yang membuka program "Ngabaso" (Ngabuburit Bareng Sastra & Obrolan), tempat anak muda membahas buku, nonton film, dan diskusi sastra setiap minggu. Perpustakaan ini tidak hanya menjadi tempat membaca, tapi juga ruang sosial dan budaya yang hidup.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, perpustakaan tidak harus selalu besar dan dikelola pemerintah. Di daerah seperti Wonosobo dan Bone, banyak tumbuh perpustakaan desa berbasis komunitas, hasil gotong royong warga dan penggerak literasi lokal. Mereka membuka akses baca gratis, menyediakan rak donasi buku, dan bahkan mendatangi anak-anak di desa dengan "perpustakaan keliling" berbasis motor atau sepeda.
Contoh paling inspiratif mungkin datang dari Ridwan Alimuddin di Sulawesi Barat, yang membuat perpustakaan terapung di atas perahu untuk menjangkau pulau-pulau terpencil. Ia mengayuh perahu sambil membawa buku dan literasi ke anak-anak yang tidak bisa mengakses internet atau perpustakaan kota. Inovasi seperti inilah yang menunjukkan bahwa perpustakaan bukan hanya soal ruang fisik, tapi soal niat dan kebermanfaatan.
Menutup Rak yang Lama, Membuka Ruang yang Baru
Perpustakaan di era digital bukan tempat menyimpan buku. Ia adalah tempat menyimpan nilai. Nilai keilmuan, nilai budaya baca, nilai kebebasan berpikir. Dan selama nilai-nilai itu masih kita perlukan — perpustakaan tidak akan pernah mati. Ia hanya perlu dihidupkan kembali, dengan cara baru, dengan semangat baru.
ADVERTISEMENT
Kini, saatnya kita menggagas ulang fungsi perpustakaan. Bukan sebagai ruang sunyi yang ditinggalkan, tapi sebagai titik temu peradaban yang tak lekang oleh zaman. Pemerintah, pengelola perpustakaan, komunitas literasi, dan kita semua harus mulai melihat perpustakaan bukan sebagai beban masa lalu, tapi sebagai harapan masa depan.