news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pembatasan Yurisdiksi dalam KUHP Baru: Mereduksi Hukum Internasional?

Dr  Damos Dumoli Agusman
Pernah jadi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, dan saat ini bertugas sebagai Dubes RI untuk Austria dan Slovenia, serta Wakil Tetap RI pada PBB dan Organisasi Internasional Lainnya yang berkedudukan di Wina.
Konten dari Pengguna
18 Maret 2023 18:21 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Damos Dumoli Agusman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly memberikan pandangan presiden dalam agenda pengesahan pangambilan keputusan atas RUU KUHP di gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly memberikan pandangan presiden dalam agenda pengesahan pangambilan keputusan atas RUU KUHP di gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
KUHP sudah diketok, diundangkan, dan akan berlaku pada tahun 2026. Memang patut dihargai karena ini merupakan karya anak bangsa di abad ini, yang berhasil melahirkan kitab hukum pidananya setelah ‘dikuasai’ oleh sistem hukum pidana penjajah, sekalipun sang penjajah sudah 78 tahun tidak berkuasa lagi.
ADVERTISEMENT
Sejak awal sudah disadari oleh perumus UU ini bahwa mengkodifikasi norma pidana bagi bangsa Indonesia yang beragam ini tidaklah gampang. Mereka akan menghadapi benturan nilai, baik horizontal antara nilai dan tradisi daerah yang satu dengan daerah lain, maupun vertikal, antara nilai ke-Indonesia-an, dengan nilai internasional. Belum lagi benturan antara doktrin dan ideologi hukum yang dianut oleh berbagai lapisan masyarakat yang majemuk ala Indonesia. Maka sudah dapat dipastikan kompromi harus ditempuh untuk benturan tersebut sehingga kitab ini dipastikan tidak akan memuaskan semua pihak.
Namun ada beberapa pasal problematik yang menurut pengamatan penulis bukan bersumber dari benturan nilai itu, dan bukan pula karena perbedaan doktrin hukumnya, melainkan semata-mata karena “kekhilafan” teknis. Salah satu pasal bermasalah ini adalah Pasal 9 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari pasal orisinalnya, sejak KUHP Belanda zaman baheula bahkan sampai saat ini, yang kemudian diterjemahkan dalam KUHP Indonesia yang lama, berbunyi sbb:
Perbedaannya tipis, hanya mengganti istilah "hukum internasional“ menjadi "perjanjian internasional yang berlaku“. Mungkin bagi pengamat publik lainnya perbedaan istilah ini tidak signifikan, bahkan diklaim sebagai lebih pas buat kepentingan Indonesia. Namun bagi pakar hukum internasional, perubahan istilah tipis ini justru bisa jadi malapetaka jika persoalan konkret timbul di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Maksud pasal ini adalah bahwa yurisdiksi di pasal 4 s/d 8, mulai dari asas teritorial, nasional aktif/pasif, sampai ke asas universal, tidak berlaku jika dilarang oleh hukum internasional. Pasal ini tidak pernah berubah pada KUHP Belanda sejak lahirnya sampai saat ini. Perubahan hanya pada penomoran pasalnya, dari semula Pasal 8 menjadi Pasal 8d.
Artinya, pasal orisinal ini memang tidak pernah problematik di sistem hukum Belanda sehingga tetap berbunyi demikian sampai saat ini. Indonesia juga tidak terdengar ada masalah, dan mungkin saja Pasal ini belum pernah dipakai sama sekali dalam kasus konkret. Namun jika tidak ada masalah dan belum pernah dipakai, lantas mengapa pembuat KUHP perlu mengubah istilah ini? Sayangnya tidak tersedia legislative history yang bisa menjelaskannya. Naskah akademisnya juga membisu soal ini.
ADVERTISEMENT
Penulis berusaha menelurusi sejarah perjalanan Pasal 9 ini sejak awal sampai akhir dan hanya menemukan sedikit bercak namun sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Untuk itu penulis hanya bisa mereka-reka melalui data publik yang tersedia. Pada Rancangan RUU versi tahun 2005 sampai dengan Rancangan versi 2010 oleh BPHN, Pasal ini tetap dipertahankan sebagaimana bunyi aslinya, yakni menggunakan istilah “hukum internasional”. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik BPHN 2010 mengkonfirmasi hal ini. Namun pada Rancangan versi 2012, Pasal ini tiba-tiba menghilang tanpa bekas, seperti pergi tanpa pamit.
Dalam Rancangan versi 2019, Pasal ini muncul kembali tapi dengan sedikit perubahan, yakni:
ADVERTISEMENT
Perihal formula ini, khususnya penggunaan istilah “hukum internasional yang telah disahkan”, penulis telah mengomentari dalam Media Kumparan ini, dan tidak perlu menjelaskannya lagi di sini. Selanjutnya pada draft akhir yang dibahas di DPR, bunyi Pasal ini berubah dan akhirnya menggunakan istilah “perjanjian internasional yang berlaku”.
Karena tidak ada penjelasan sama sekali perihal perubahan istilah ini maka Penulis cenderung menilai bahwa ini hanya soal “kekhilafan teknis’ saja. Mungkin pemilihan istilah ini pada saat pembahasan hanya dianggap sebagai persoalan redaksional untuk mudah dimengerti. Memilih istilah “perjanjian internasional yang berlaku” dirasakan lebih aman, dan lebih jelas bagi pembuat UU ketimbang istilah “hukum internasional”, yang terkesan abstrak dan berbau elemen asing. Penulis yakin, perubahan ini bukan karena akibat perdebatan substantif, dan pastinya, bukan juga karena adanya perbedaan doktrin soal ini.
ADVERTISEMENT
Penyederhanaan pemahaman ini justru menjadi akar persoalan. Seperti diketahui, norma hukum internasional itu umumnya menyebar di berbagai sumber hukum. Bukan hanya di perjanjian internasional (traktat) melainkan juga di hukum kebiasaan internasional. Publik mungkin sangat mengenal istilah perjanjian internasional, karena sering mendengar istilah yang terkait dengan ini seperti ratifikasi perjanjian, pengesahan perjanjian oleh DPR, dan seterusnya.
Namun sayangnya publik agak awam dengan norma hukum kebiasaan internasional dan pastinya tidak pernah membayangkan bahwa ini juga adalah hukum positif yang setara kedudukannya. Namun suka atau tidak suka, hukum kebiasaan internasional ini mengikat Indonesia.
Norma internasional yang dapat mengecualikan penerapan yurisdiksi hukum pidana Indonesia, sebagaimana dimaksud pada Pasal ini, berserakan di dalam domain hukum internasional, bukan hanya ada di perjanjian internasional, tapi juga di sumber-sumber hukum internasional lainnya. Memang paling gampang menemukannya di perjanjian internasional.
ADVERTISEMENT
Misalnya bahwa yurisdiksi pidana Indonesia tidak bisa diterapkan terhadap diplomat asing di Indonesia karena ada perjanjian a.l. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia. Ada juga perjanjian lain, seperti Piagam ASEAN 2008 dan perjanjian turunannya, yang mengecualikan penerapan yurisdiksi pidana Indonesia terhadap diplomat asing yang diakreditasikan ke ASEAN.
Tapi apakah norma pengecualian ini hanya ada di perjanjian internasional? Tentu tidak. Banyak norma hukum internasional lainnya yang melarang penerapan yurisdiksi pidana Indonesia yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional. Norma ini tidak pernah dituangkan dalam perjanjian internasional. Misalnya, norma hukum kebiasaan internasional yang memberikan imunitas kepada setiap kepala negara/pemerintahan dan menlu asing, sehingga yurisdiksi pidana tidak berlaku terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Larangan menerapkan yurisdiksi pidana terhadap pelaku hubungan luar negeri ini tidak ada dalam perjanjian internasional tapi diakui dalam kebiasaan internasional. Masih banyak norma lain, misalnya aset negara lain atau kapal milik pemerintah asing tidak boleh disita, dan ini masih diatur dalam hukum kebiasaan internasional.
Adanya norma yang berbalut “kebiasaan” sebenarnya tidak asing dalam literatur hukum Indonesia. Hukum adat adalah contoh kental dari norma kebiasaan. KUHP baru ini justru mengakui apa yang disebut "hukum yang hidup dalam masyarakat“. Namun sayangnya, norma kebiasaan yang lahir dari masyarakat internasional terlalu asing, kalau tidak disebut anti, dalam sistem hukum Indonesia. Akibatnya, KUHP ini terkesan hanya mengakui norma perjanjian saja.
Persoalannya adalah Indonesia terikat pada norma hukum kebiasaan ini karena demikianlah kata hukum internasional. KUHP tidak dapat mengubah kekuatan mengikat norma ini. Namun dengan adanya reduksi pada Pasal 9 ini yang hanya merujuk pada “perjanjian internasional yang berlaku” maka menimbulkan pertanyaan yuridis, bagaimana dengan norma kebiasaan internasional ini? Misalnya apakah aparat hukum Indonesia dapat men-tersangka-kan menlu asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia? Jawabannya, menurut Pasal 9 KUHP tentu saja dapat, karena tidak ada norma perjanjian internasional yang berlaku, yang melarangnya. Asas legalitas yang kental dalam hukum pidana justru mengharuskannya.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini akan terjadi benturan lain, yang penulis sebut di atas sebagai malapetaka, yakni konflik antara KUHP dengan hukum internasional yang mengikat Indonesia. Ini menjadi dilema yuridis karena di satu sisi, KUHP harus diterapkan namun di sisi lain penerapan KUHP ini akan melahirkan pelanggaran hukum internasional oleh Negara Republik Indonesia. Demikian sebaliknya, penghormatan terhadap hukum internasional akan melahirkan pelanggaran terhadap KUHP. Norma mana yang harus dimenangkan? Persoalan ini akan menjadi perdebatan panjang. Manakala hukum internasional sudah jelas soal ini, sebaliknya hukum tata negara Indonesia belum memberikan jawaban atau, lebih tepatnya, belum tertarik soal ini.
Penggunaan istilah yang problematik ini mungkin bukan permasalahan besar dari sisi praktis, setidak-tidaknya untuk saat ini. Namun secara teoritis dan kualitas perundang-undangan, penggunaan istilah yang bebas dari kerancuan seharusnya menjadi perhatian, apalagi di bidang hukum pidana yang sarat dengan legalitas.
ADVERTISEMENT
Mungkin publik tidak terlalu yakin bahwa kepala negara/pemerintahan atau menlu asing bakal melakukan tindak pidana di Indonesia, sehingga “kekhilafan” ini tidak perlu dikhawatirkan. Tapi jangan pula lupa bahwa kompleksitas tindak pidana semakin tinggi. Misalnya, karena bakal sering memberikan pernyataan publik, mereka mungkin saja melakukan pencemaran nama baik dan rentan untuk gugatan di Indonesia yang sangat demokrasi ini. Atau ada fenomena penyimpangan sosial lainnya seperti pelaku kleptomania, atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang setiap orang bisa mengidapnya seperti kepala negara/pemerintahan atau menlu.
Jika perumusan Pasal ini melibatkan para pakar hukum internasional di Indonesia yang jumlahnya sudah meningkat, atau setidak-tidaknya berupaya mengintip nasib Pasal ini pada KUHP di negara asalnya di Belanda, mungkin “kekhilafan” yang tidak perlu ini tidak akan terjadi. Soal yang kata orang sepele ini mudah-mudahan tidak akan menjadi bom waktu di kemudian hari.
ADVERTISEMENT