Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akar Permasalahan Hidup Masyarakat Kita: Matinya Logika
17 Juni 2020 15:17 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semasa kuliah dulu, ketika diskusi di kelas tidak jarang terjadi perdebatan. Baik antar mahasiswa atau antara mahasiswa dengan dosen. Sekilas, memang terlihat bagus. Kelas menjadi hidup. Mahasiswa jadi berpikir.
ADVERTISEMENT
Tetapi setelah saya ingat-ingat, saya kira tidak seperti itu. Kebanyakan debat itu tidak nyambung sama sekali dengan mata kuliah yang dipelajari.
Parahnya apa yang terlontar satu sama lain tidak nyambung sama sekali. Sudah di luar tema, kalimat-kalimat yang keluar tidak nyambung. Ibaratnya seperti ini, kita sakit flu tapi menelan obat tetes mata.
Perihal ketidaknyambungan itu tidak hanya ada di dalam diskusi-diskusi di dalam kelas semacam itu. Bahkan di sebagian besar skripsi-skripsi yang ada di Indonesia sebagian besar persoalan utamanya adalah seperti itu.
Tidak ada korelasi antara satu paragraf dengan paragraf lain. Apalagi antara satu BAB dengan BAB lain. Saya yakin para dosen tahu itu. Dan terkadang idealisme harus gugur karena rasa iba. P
ADVERTISEMENT
adahal rasa iba itu menghasilkan permasalahan serius. Begitu banyak para sarjana kita yang bahkan membulatkan gagasan dalam sebuah karya ilmiah saja tidak mampu.
Atau lebih parahnya lagi, bahkan tidak sedikit yang membuat esai 1000 kata dengan logika yang utuh dan gagasan yang bulat saja juga tidak mampu.
Ada akibat lainnya. Dan saya kira ini lebih fatal. Bagaimanapun gelar sarjana adalah sebuah prestise tersendiri di masyarakat. Dan prestise itu menciptakan privilege bagi para sarjana di masyarakat.
Karena lulusan S1, maka ia terpelajar, karena terpelajar maka ia berhak untuk memutuskan sesuatu di masyarakat. Padahal, dalam menyusun kalimat saja ia tidak beres apalagi merumuskan masalah yang ada di masyarakat dan mencarikan solusinya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya apa yang oleh masyarakat disebut sebagai solusi itu sering meleset. Atau bahkan terus-terusan meleset.
Dalam hal ini, kita bisa melihat dunia birokrasi kita. Birokrasi bagaimanapun adalah lembaga yang berfungsi sebagai pion negara. Orang-orang yang mengurusi birokrasi berhubungan langsung dengan masyarakat.
Ketidakefektifan, ketidakefisienan, dan capaian-capaian yang buruk dari birokrasi-birokrasi adalah bukti dari apa yang saya bahas sebelumnya. kalau ingin membuktikan apa yang saya maksud silakan datang ke kelurahan, kecamatan, kepolisian, samsat, atau birokrasi apa pun saja, pasti anda akan menemui apa yang saya maksud dengan ketidakefektifan, ketidakefisienan dan capaian-capaian buruk yang saya maksud.
Ini permasalahan serius. Bukan bermaksud hiperbolis, atmosfer saling meleset satu sama lain itu terasa begitu mengendap di dalam diri setiap anggota masyarakat kita. Masyarakat kita cenderung lebih mengutamakan kengeyelan, egoisme, alih-alih logika.
ADVERTISEMENT
Contoh sederhana saja, di lampu lalu lintas kita, tidak banyak sedikit orang yang belok kiri jalan terus, padahal lampu sedang menyala pada warna merah dan rambu-rambu menyatakan belok kiri ikuti lampu, karena tidak ada polisi yang menjaga. Jika ia tidak mengutamakan ego, sudah pasti, tanpa ada polisi yang menjaga atau tidak, ia akan berhenti sesuai peraturan yang telah disepakati.
Itu baru satu contoh kecil saja. Di masa pandemi COVID-19 ini kita bisa melihat banyak sekali contoh yang berhamburan di sana-sini. Tidak hanya di satu wilayah, bahkan hampir di setiap wilayah yang ada di Indonesia. Tidak mengherankan jika beberapa waktu lalu di Jogja Sultan marah, gara-gara kesadaran masyarakat yang aneh dan cenderung bikin runyam kekacauan yang diakibatkan karena pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Walaupun sebenarnya, jika lebih kritis lagi, masyarakat juga berhak marah kepada Sultan atas kebijakan-kebijakan yang berusaha untuk mencapai hasil maksimal saja tidak dikeluarkan. Anda ingat maju mundur perihal kebijakan mudik bukan?
Ada satu contoh lagi yang sangat kecil dan ini perlu saya ceritakan. Walaupun, sekali lagi saya tegaskan, sangat kecil.
Saya punya tetangga. Ia bepergian keluar kota di masa pandemi COVID-19 ini. Ketika pulang ke kampung kami ia sakit. Ia periksa di rumah sakit. Menurut rontgen tidak masalah. Tetapi, aturan kadung dibuat.
Dan siapa pun yang pergi keluar kota, atau dari luar kota sesampai kampung halaman harus diisolasi secara mandiri selama 14 hari. Ketika aturan itu ditegakkan, ia menolak.
ADVERTISEMENT
Alih-alih di rumah saja, ia pergi ke rumah-rumah tetangga. Tetangga-tetangga ketakutan. Ketika didatanginya rumah-rumah ditutup. Ia jadi berprasangka buruk. Ia mengira tetangga benci dengannya.
Padahal itu semata-mata untuk melaksanakan anjuran preventif tanggap darurat COVID-19. Kepala dukuh, puskesmas dan tokoh masyarakat mencoba menjelaskan kepadanya. Ia tetap saja ngeyel. Barulah ketika ada polisi datang, dan mungkin saja ia ketakutan ia baru bisa nurut.
Contoh terakhir itu memang terasa begitu remeh. Tetapi itu jelas efeknya di masyarakat. Dan akar dari permasalahan itu sama dengan kebijakan birokrasi yang meleset sehingga tidak efektif, efisien dan mencapai hasil buruk, orang-orang yang melanggar aturan lalu lintas dan diskusi-diskusi dan skripsi-skripsi mahasiswa yang tidak nyambung: tiadanya upaya untuk memahami sesuatu. Entah karena malas berpikir atau karena apa saya kurang paham.
ADVERTISEMENT
Saya kira, hal inilah yang penting untuk kembali diajarkan secara maksimal di lembaga-lembaga pendidikan kita. Serta dibangun atmosfernya di lingkaran-lingkaran pergaulan yang kita ikuti.
Logika, kemampuan memahami (dengan akal maupun hati) dan kemampuan memilih mengutamakan akal sehat alih-alih ego. Bagaimana cara memulainya? Mari kita pikirkan bersama-sama.