Konten dari Pengguna

Bendera dan Umbul-umbul di Bulan Agustus: Simbol Sukacita Sekaligus Kesemrawutan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
8 Agustus 2020 0:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah pelajar membentangkan bendera Merah Putih saat digelar Upacara Sumpah Merah Putih dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda di lapangan Tugu Pahlawan. Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pelajar membentangkan bendera Merah Putih saat digelar Upacara Sumpah Merah Putih dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda di lapangan Tugu Pahlawan. Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
ADVERTISEMENT
Setiap bulan Agustus tiba, orang-orang bersuka cita. Setidaknya tampak dari terpasangnya bendera dan umbul-umbul (dengan berbagai warna) di berbagai tempat.
ADVERTISEMENT
Baik bendera ataupun umbul-umbul adalah simbol. Menunjukkan bahwa kita, orang Indonesia, berbahagia dengan kemerdekaan yang sekarang kita nikmati.
Kalaupun ada yang memasang bendera atau umbul-umbul, sekadar karena yang lain pasang, alias karena ikut-ikutan, itu soal lain. Siapa pun yang melihat bendera dan umbul-umbul terpasang seyogyanya berprasangka positif. Toh kita tidak akan mungkin tahu sebenarnya bagaimana isi hati orang-orang yang memasang bendera dan umbul-umbul tersebut.
Namun, terkadang prasangka positif saya terhambat. Saya selalu merasa aneh ketika melihat bendera-bendera ataupun umbul-umbul terpasang dalam jumlah yang sangat banyak tetapi tidak mempertimbangkan aspek estetika.
Misalnya seperti ini. Ada sebuah jalan yang di pinggir-pinggirnya berdiri berbagai bangunan dalam keadaan yang jika dilihat antar satu bangunan dengan bangunan lain terlihat begitu tidak rapi. Ditambah lagi ada baliho-baliho yang juga tidak rapi. Tiba-tiba di depan bangunan-bangunan itu dipasangi bendera dan umbul-umbul dengan jumlah yang cukup banyak. Karena biasanya ditali dengan pagar atau tiang bangunan yang antar satu bangunan dengan bangunan lain tata letaknya tidak rapi, bendera-bendera dan umbul-umbul itu terlihat begitu tidak enak dipandang.
ADVERTISEMENT
Beda halnya kalau ada pertimbangan seperti ini. Di depan bangunan-bangunan yang tata letaknya tidak rapi tidak usah dipasang umbul-umbul. Umbul-umbul dipasang di bagian jalan yang tata letak bangunannya rapi (kalau ada) atau di bagian jalan yang di pinggir-pinggirnya tidak ada bangunan (kalau ada). Atau tidak harus dengan umbul-umbul. Dengan hiasan-hiasan lain, dengan mempertimbangkan aspek estetika.
Lho, biarin aja dilihat tidak enak, kan yang penting maksudnya baik?
Begini. Baik bendera atau umbul-umbul itu kan simbol. Pemasangannya sebagai simbol bahwa mereka yang memasang ikut merasa bersuka cita, ikut merasa penting untuk menunjukkan rasa nasionalisnya. Karena terwujud dalam benda, maka simbol yang dimaksud akan menjadi jelas jika dipertimbangkan unsur estetikanya.
Atau jangan-jangan seperti ini. Pemasangan bendera dan umbul-umbul yang amburadul dibiarkan karena mereka ingin memberikan semacam kritik bagi negara. Mereka ingin menyampaikan seperti ini, “Negara ini memang sudah merdeka. Tetapi negara ini masih semrawut atau kacau. Seperti bendera-bendera dan umbul-umbul yang terpasang asal-asalan itu.”
ADVERTISEMENT
Kalau memang alasannya seperti itu, tidak apa-apa sih. Kalau kata politikus, itu membuat demokrasi menjadi sehat. Pemerintah jadi punya kontrol. Karena rakyat mau mengkritik.
Permasalahannya seperti ini. Negara dan pemerintah itu, didemo besar-besaran saja, seperti pada bulan September 2019 misalnya, masih tetap tidak merasa bersalah lho. Bahkan mengelak dari kesalahan, dan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak salah.
Jika benar-benar pemasangan bendera dan umbul-umbul itu dimaksudkan untuk memberikan kritik bagi pemerintah, akan sampai kapan bendera dan umbul-umbul dipasang tanpa mempertimbangkan aspek estetika. Sampai kapan, di setiap bulan Agustus mata kita akan melihat pemandangan semrawut yang berpadu antara bangunan dengan tata letak tidak rapi, baliho-baliho yang tidak rapi, ditambah lagi dengan bendera dan umbul-umbul yang tidak rapi.
ADVERTISEMENT
Apa tidak capek mata kita melihat hal-hal seperti itu?
Atau, karena terlampau sering melihatnya, mata kita sudah tidak peduli lagi dengan kesemrawutan semacam itu. Sebagaimana hati dan pikiran kita yang sudah tidak lagi peduli dengan kesemrawutan dan kekacauan yang diinisiasi oleh para pengelola negara dan pemerintahan kita.