Kemiskinan, Passion, Keterpaksaan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Konten dari Pengguna
25 September 2020 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang ibu mencuci baju di bantaran kali di kawasan Manggarai, Jakarta, Selasa (5/11). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang ibu mencuci baju di bantaran kali di kawasan Manggarai, Jakarta, Selasa (5/11). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Setidaknya dalam dua cerita yang saya ikuti dan baca, ada salah satu tokohnya yang mempunyai keahlian utama memasak dan merasa bahwa kebahagiaannya yang paripurna muncul ketika penikmat masakannya merasa puas dengan masakannya. Cerita pertama, One Piece. Cerita kedua, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Dalam cerita one piece tokoh yang saya maksud adalah Sanji. Dalam cerita Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, tokoh yang saya maksud adalah Loki Tua.
ADVERTISEMENT
Perasaan si tokoh dalam cerita tersebut, kendati fiksi, sebenarnya jamak dirasakan orang-orang dalam dunia nyata. Sama dengan apa yang dirasakan seorang penulis yang tulisannya dibaca dan diapresiasi oleh orang lain. Juga sama dengan seorang musisi yang karya musiknya didengarkan dan diapresiasi oleh orang lain.
Tidak semuanya seperti itu. Saya kenal seorang pemasak. Yang alih-alih seperti Sanji atau Loki Tua, ia sangat tak peduli dengan masakannya. Dari tahun ke tahun masakannya mengalami penurunan. Sampai tingkat yang ekstrem, hampir setiap hari orang yang dimasakkannya tak merasakan apapun di lidahnya ketika memakan makanan hasil masakan si pemasak. Bukan karena lidah orang-orang tersebut mati rasa. Tetapi karena bumbu masakannya—entah bagaimana cara ia membumbuinya—benar-benar tidak terasa di lidah: hambar.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang karakter tokoh Sanji dan Loki Tua mengajarkan tentang kebahagiaan melakukan hal yang disenangi. Dan pemasak dalam dunia nyata yang saya kenal dan bertolak belakang dengan Sanji dan Loki Tua, saya kira menyampaikan semacam sentilan sosial di dalam sikapnya walau tidak disadarinya.
Satu-satunya yang bisa saya tangkap dari sikap si pemasak tersebut adalah keterpaksaan. Ia terpaksa melakukan itu. Mengapa terpaksa? Karena kemiskinan. Ya, ia bekerja sebisa-bisanya untuk menghidupi diri dan keluarganya. Maka ia mau bekerja memasak—untuk orang lain—walau tidak suka melakukan hal itu. Karena hidupnya dan anak-anaknya lebih penting dari rasa tidak sukanya dengan pekerjaan itu.
Sanji dan Loki Tua adalah manifestasi dari kata-kata manis yang menyuruh siapapun saja melakukan sesuatu sesuai passionnya. Dan pemasak di dunia nyata tersebut antitesisnya. Bahwa tidak semua orang bisa dengan mulus mikir passion karena hidupnya sudah disita oleh kebutuhan demi kebutuhan yang di dalam pikirannya hanya ada satu prinsip: terus bergerak sebisa-bisanya kalau ingin terus hidup. Dan itulah yang sedang terjadi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Gimmick youtuber kaya yang isi kontennya pamer mobil, motor, rumah atau barang-barang apapun yang harganya bisa untuk hidup seumur hidup oleh sebuah keluarga dengan 5 orang anak di dusun kampung halaman saya bukanlah tolok ukur keadaan masyarakat di negeri ini. Itu reka-reka saja. Karena konten semacam itu sedang laku. Maka mereka membuat konten semacam itu.
Oleh karenanya saya yang akrab dengan falsafah yang penting bergerak kalau ingin terus hidup, atau dalam bahasanya jawanya "gelem obah iso mamah" seringkali merasa masyghul dengan beberapa hal. Pertama, kelakuan para politisi kaya raya, yang seenaknya sendiri menjadikan rakyat kecil sebagai branding personal. Padahal si rakyat kecil itu sama sekali tak dipikirkannya. Yang dipikirkannya adalah ambisi pribadi. Kedua, motivasi-motivasi indah yang muncul dari lisan maupun tulisan para motivator. Yang seakan-akan mengkampanyekan bahwa hidup yang ideal itu seperti kata para motivator itu.
ADVERTISEMENT
Dalam Sains, khususnya ilmu alam, manusia adalah salah satu dari spesies hewan. Di dalam kebudayaan manusia tidak mau disamakan dengan hewan. Manusia menganggap dirinya beradab. Dan hewan tidak. Tetapi melihat kenyataan hidup yang seperti ini, sebagaimana yang sudah saya uraikan sebelumnya saya jadi berpikir. Secara konsep budaya manusia memang berbeda dengan hewan. Tetapi pada praktiknya manusia tak ubahnya hewan. Apa yang berlaku dalam sains. Juga berlaku dalam kebudayaan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa secara kebudayaan kita tak ubahnya hewan. Setidaknya sampai sekarang saya belum pernah merasakan keserakahan dan kesombongan manusia tidak lebih dominan dari sifat-sifat lain seperti rendah hati dan empati.