Komunalitas Perayaan Kemerdekaan yang Bukan Untuk Memperingati Kemerdekaan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Konten dari Pengguna
18 Agustus 2020 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Agustus kali ini tak hanya berisi suka cita peringatan kemerdekaan. Tetapi juga duka cita bencana pandemi Covid-19. Lebih tepatnya, jalan terjal berupa pandemi Covid-19 beserta akibat-akibat turunannya belum bisa kita lewati. Itu semua masih bercokol kuat di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Teori konsiprasi dan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap bahaya pandemi Covid-19 adalah hal lain. Yang jelas, secara logika normal kita masih harus menganggapnya berbahaya sehingga kita bisa terus berhati-hati.
Oleh karenanya, seharusnya peringatan kemerdekaan di tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan dengan cara hingar bingar. Tetapi menyepi. Menuju kesunyian. Prakteknya mirip-mirip suasana di Bali ketika Hari Raya Nyepi.
Masyarakat tidak keluar rumah. Semuanya di rumahnya masing-masing selama satu malam penuh. Sunyi sebagai simbol berkabung dan penghormatan atas gugurnya saudara-saudara kita yang berjuang di garda depan menangani pandemi. Di rumah, masyarakat bisa mengisinya dengan berdoa. Untuk keselamatan bangsa dan negara, juga untuk saudara-saudara kit ayang gugur. Bisa secara pribadi. Atau bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Jika tidak percaya dengan berbahayanya pandemi covid-19 tersebut, minimal hal semacam itu kita lakukan untuk menghormati pahlawan yang gugur, yaitu tenaga medis, yang telah berjuang dengan begitu keras di masa pandemi Covid-19 ini.
Saya masih percaya data-data yang disuguhkan pemerintah. Salah satunya tentang data orang yang meninggal karena pandemi, termasuk dari saudara kita tenaga medis. Karena dengan data itulah, entah itu benar-benar valid atau tidak, kita masih bisa bertindak waras. Di tengah ketidakpastian yang diakibatkan karena pandemi covid-19 ini, kalau bukan negara dan pemerintah yang kita percaya, lalu siapa lagi?
Saya kira, pemerintah sudah melakukan upaya. Di kabupaten tempat tinggal saya ada edaran bahwa elemen masyarakat mana pun tidak boleh mengadakan acara malam tirakatan. Dan dengan edaran itu, sebenarnya masyarakat harus paham, bahwa malam tirakatan saja yang cenderung lebih kondusif tidak boleh, apalagi lomba-lomba. Mungkin saja, edaran semacam itu juga dibuat oleh pemerintah dari kota-kota atau kabupaten lain.
ADVERTISEMENT
Namun, pada kenyataannya banyak juga masyarakat yang melanggar. Di dusun saya, setiap RT mengadakan malam tirakatan. Ketika persiapan, kerja bakti di sore hari sebelum malam tirakatan ada seorang warga dusun yang nyeletuk, “Wah, tidak seru nih, tidak ada lomba-lomba.” Mungkin, ia pernah melihat berita di televisi yang memberitakan bahwa di masa pandemi Covid-19 ini ada juga daerah-daerah yang mengadakan lomba. Sehingga ia merasa, di daerah lain ada lomba-lomba, kok di daerah saya tidak ada.
Dari celetukan itu saya jadi berpikir. Jangan-jangan komunalitas dalam perayaan kemerdekaan NKRI yang selama ini ditunjukkan masyarakat bukan karena ingin memperingati kemerdekaan dalam artian yang sebenar-benarnya. Tetapi sekadar mengikuti kesenangan pribadi yang diwujudkan melalui cara-cara yang bersifat komunal. Mirip dengan kesenangan nonton film di bioskop karena ada banyak orang lain yang juga nonton. Atau nonton konser dengan harga mahal, karena bisa bertemu dengan orang-orang yang mempunyai kesukaan musik yang sama walau tidak ngobrol satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Menurut saya tanda merdeka itu selain bermakna kebebasan (dalam banyak hal), juga meningkatnya rasa kebersaudaraan kita sebagai sesama manusia sebangsa dan setanah air. Dan empati-empati semacam itu memang perlu ditunjukkan. Supaya orang-orang yang diberi empati, dalam kasus ini adalah keluarga yang ditinggal salah satu anggota keluarganya karena Covid-19 (salah satunya keluarga tenaga medis), bisa tahu. Sehingga bisa menularkan semacam vibe positif kepada mereka.
Kita sering mendengar, sekaligus menyetujui, bahwa musik yang haram itu adalah suara sendok dan piring ketika kita makan yang didengarkan oleh tetangga kita yang miskin dan tidak kita makan. Tetapi, dalam cakupan yang luas, kita sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air tidak peduli kepada mereka-mereka yang meninggal dan masih terus berjuang karena Covid-19. Bahkan sekadar dalam bentuk empati sederhana—memperingati kemerdekaan bukan dengan cara hingar bingar—saja tidak bisa.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tak berpretensi apa-apa. Toh, waktunya sudah lewat. Namun, sekarang masih Agustus. Tidak ada kata terlambat.