Malapraktik Ajaran tentang Syukur yang Sering Terjadi di Dalam Kehidupan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kehidupan Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Kehidupan Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hampir dalam setiap agama, atau malah sudah pasti dalam setiap agama ada ajaran tentang syukur. Kalau dijelaskan secara bebas kira-kira isi dari ajaran tentang syukur tersebut seperti ini. Berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah atau kenikmatan yang diberikan-Nya kepada kita.
ADVERTISEMENT
Di agama saya: Islam, perihal ajaran tentang syukur ini, dalam sebuah dalil ada informasi yang berpretensi untuk memberikan iming-iming tertentu kepada orang yang mempraktikkan ajaran syukur tersebut. Orang yang bersyukur nikmatnya akan ditambah. Dan orang yang tidak bersyukur (kufur) akan menerima azab yang pedih.
Di sisi lain, ajaran syukur ini (masih dalam agama yang saya anut) ditafsirkan secara lebih berkembang. Tidak hanya perihal penerimaan batin. Tetapi juga tercermin dalam perilaku. Misalnya, orang yang diberi kenikmatan berupa kekayaan harta benda, hendaknya rajin bersedekah harta benda juga.
Yang jelas ajaran syukur tersebut, dari berbagai sisi pada dasarnya bertujuan baik. Bisa memberikan pengaruh positif pada diri kita. Jika kita benar-benar mengimplementasikannya dalam hidup secara akurat, kita akan menjadi orang yang tidak toxic. Selain itu, semakin banyak sudut pandang tentang pengimplementasian ajaran syukur tersebut akan semakin bagus.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pengimplementasin ajaran syukur yang dipahami banyak orang cenderung hanya itu-itu saja. Kalau mengacu kepada pendefinisian secara bebas yang saya jelaskan di paragraf pertama, implementasi ajaran syukur oleh kebanyakan orang sekadar dipahami sebagai “berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah atau kenikmatan yang diberikan-Nya kepada kita” dalam artian yang kaku. Dan itu menimbulkan masalah yang serius.
Misalnya seperti ini. Seorang bos dalam bidang apapun tidak pantas rasanya jika memberikan semacam hiburan kepada para pegawainya yang hanya bisa digaji kecil untuk bersyukur atas gaji yang didapatnya. Apalagi penyampaiannya diperkuat dengan argumen bahwa di tempat lain lebih banyak orang yang mendapatkan gaji lebih kecil dari yang didapat para pegawainya. Sudah seperti itu, tidak ada upaya-upaya tertentu yang diusahakannya untuk meningkatkan gaji pegawainya.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus tersebut, implemetasi ajaran syukur dari Si Bos seharusnya bukan hanya sekadar dari sisi batin saja. Seorang penceramah agama wajar-wajar saja memberikan semacam motivasi kepada jamaahnya untuk bersyukur atas segala yang diterima. Karena tugasnya memang terbatas pada wilayah itu.
Implementasian ajaran syukur yang harusnya diupayakan Si Bos dalam hal seamcam itu adalah membuat para pegawainya yakin bahwa mereka akan mendapatkan gaji yang layak. Kalau saat itu belum, Si Bos bisa memberikan kepastian bahwa dalam jangka waktu tertentu anak buah pasti akan mendapatkan gaji yang layak, sambil mengajak para pegawainya untuk membuat strategi dan langkah secara serius supaya pemasukan meningkat dan pegawai bisa segera mendapat gaji yang layak.
Jika Si Bos berlagak seperti ustaz, memberikan ceramah kepada pegawainya untuk terus bersyukur atas gaji kecil yang bisa diberikannya, tapi sama sekali tidak ada kepastian bahwa gaji pegawainya akan naik sampai taraf yang layak, apalagi tidak ada usaha untuk memberikan gaji secara layak itu namanya cuci otak bukan syukur. Kalau mau lebih gamblang, bahkan bisa dikatakan sebagai manipulasi negatif berdalih agama.
ADVERTISEMENT
Pemahaman ajaran syukur secara batin adalah tugas dari masing-masing manusia. Itu adalah bagian dari pengelolaan hati yang niscaya dilakukan oleh setiap manusia. Kalaupun ada yang perlu menyampaikannya, tentu saja orang-orang seperti kyai, ustaz, penceramah agama, motivator, teman curhat yang pantas untuk menyampaikannya bukan Bos dalam dunia profesional kerja.
Ironisnya adalah manipulasi-manipulasi berdalih konsep syukur semacam itu juga sering terjadi di institusi yang bergerak di bidang pendidikan. Sebuah institusi yang salah satu tujuannya membentuk karakter manusia.
Coba dilihat, seberapa banyak sekolah-sekolah bergedung megah tetapi tega memberikan gaji kepada GTT (guru tidak tetap) yang bekerja di sekolah tersebut dengan gaji yang tidak layak! Coba dilihat, seberapa banyak kepala sekolah yang hidupnya hedon, sedangkan GTT (guru tidak tetap) yang menjadi bawahannya mendapatkan gaji secara mengenaskan! Coba dilihat ke sekolah-sekolah, berapa banyak guru-guru berstatus ASN memberikan motivasi kepada guru tidak tetap (GTT) untuk terus bersyukur, sambil menimpakan banyak sekali tugas, tanpa memberikan imbalan sepeser pun!
ADVERTISEMENT