Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Retorika Profesionalitas Pengelola Pendidikan: Basa-basi Maksimal, Hasil Minimal
27 Agustus 2020 22:38 WIB
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya bekerja sebagai guru di sebuah madrasah swasta. Beberapa waktu yang lalu kepala dan guru-guru di madrasah kami mengadakan kegiatan uji publik kurikulum. Tenaga dan pikiran yang dikeluarkan untuk keseluruhan proses dari awal sampai akhir juga cukup banyak. Dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut tergolong tidak sedikit untuk ukuran madrasah swasta dengan pendanaan pas-pasan seperti madrasah kami. Salah satu pengeluaran terbanyak adalah untuk transport pejabat yang diundang dalam kegiatan tersebut. Padahal kegiatan tersebut tidak berdampak apa-apa bagi lembaga, kepala dan guru-guru maupun bagi siswa.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya fungsi diselenggarakannya kegiatan tersebut adalah membuat citra pengawas yang bertugas mengawasi madrasah kami menjadi baik. Walau sebenarnya, diselenggarkannya kegiatan tersebut atau tidak, juga tak memberikan pengaruh signifikan bagi pengawas. Toh banyak pengawas yang tidak menyuruh lembaga yang diawasinya untuk menyelenggarakan kegiatan uji publik kurikulum tetapi secara jenjang karier maupun kemakmuran hidup lebih baik dari pengawas yang menyuruh lembaga yang diawasinya untuk mengadakan kegiatan uji publik kurikulum.
Kalau disuruh memilih, sebenarnya kepala dan guru-guru madrasah kami memilih untuk tidak menyelenggarakannya. Alasannya sebagaimana yang saya jelaskan pada paragraf pertama. Tetapi karena pengawas menyuruh kami supaya menyelenggarakannya, kami terpaksa menyelenggarakannya. Keangkeran pengawas bagi kepala dan guru-guru di madrasah ataupun sekolah adalah rahasia umum yang diketahui oleh banyak orang yang berkecimpung di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya kepala dan guru-guru di madrasah kami saja yang menyelenggarakannya. Kegiatan tersebut bisa dikatakan sebagai kegiatan wajib di masa-masa awal atau malah sebelum dimulai tahun ajaran baru di sebuah madrasah ataupun sekolah. Hampir semua pengawas menyuruh madrasah ataupun sekolah yang diawasinya untuk mengadakan kegiatan tersebut, kecuali pengawas yang bisa dinego.
Saya yakin kalau kepala dan guru-guru di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah lain sama seperti kepala dan guru-guru di madrasah kami, kalau disuruh memilih menyelenggarakan atau tidak, lebih memilih untuk tidak menyelenggarakan saja. Alasannya sama persis dengan alasan yang sudah saya jelaskan pada paragraf pertama.
Perihal kurikulum pendidikan di negara ini, ada sesuatu yang harus kita pahami sebelum beranjak lebih jauh melakukan berbagai proses seperti uji publik kurikulum. Kurikulum pendidikan kita sudah berkali-kali berganti. Tetapi bisa saya katakan, di setiap periode kurikulum tidak ada perbedaan mencolok apapun pada proses pembelajarannya. Dan hasilnya, hanya begitu-begitu saja. Siswa sekadar hafal materi, tetapi tidak tahu bagaimana praktiknya di dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Karena selama penentuan hasil belajar masih berbasis ujian tertulis yang soalnya akan bisa dikerjakan dengan baik kalau murid hafal materinya, prosesnya belajarnya pun dengan cara hafalan. Hafalan adalah cara paling ampuh, selain menyontek, untuk mendapatkan nilai yang bagus pada ujian tertulis semacam itu. Dari proses semacam itu hasil seperti apa yang bisa diharapkan kalau bukan sekadar hafal materi tetapi tidak mengerti praktiknya?
Sebelum itu diubah, membuat kurikulum yang jumlahnya berhalaman-halaman dan mempresentasikannya ke publik adalah hal sia-sia. Energi kepala dan guru habis untuk hal-hal retoris tiada guna semacam itu. Kertas-kertas terbuang sia-sia. Dana boros tapi tidak tampak hasilnya.
Jika Anda bekerja di sebuah lembaga pendidikan formal, pasti Anda akan menemui hal-hal aneh semacam itu. Membuat administrasi berlembar-lembar, mengikuti diklat, akreditasi, yang alih-alih dapat dirasakan manfaatnya, malah merugikan pihak lembaga pendidikan, orang-orang yang bekerja di dalamnya dan siswa-siswa dari berbagai sisi.
ADVERTISEMENT
Anehnya, orang-orang yang berkecimpung di dalamnya tak kunjung sadar, dan betah menjalaninya. Atau, sadar tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah seperti itu sistemnya. Dan akhirnya berkesimpulan, “Tidak apa-apa menjalani hal-hal kurang bermanfaat, yang penting gaji lancar.”
Hal-hal semacam itulah yang membuat lembaga pendidikan kita tak kunjung berhasil mendidik siswa menjadi seorang manusia yang berkarakter dan kompeten pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan potensi masing-masing.