Wafatnya 104 Dokter dan Keabaian Kita Terhadap Alarm Kewaspadaan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Konten dari Pengguna
5 September 2020 7:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Ismantoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi virus corona di China. Foto: STR / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona di China. Foto: STR / AFP
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, di Facebook saya melihat status berbunyi seperti ini, “kayaknya cuma kelas menengah tertentu yang masih paranoid dengan COVID-19, yang masih suka mengingatkan agar kita jangan keluar rumah kalau tidak penting amat”. Di kolom komentar ada yang merespons seperti ini, “yang tabungannya banyak.”
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian muncul kabar bahwa ada 100 dokter yang telah berjuang di garda depan menangani COVID-19 telah wafat. Dan yang terbaru ada 104 dokter yang wafat.
Status Facebook tersebut mungkin semacam candaan saja. Tetapi, secara lebih luas bisa ditafsirkan seperti ini, “gak usah takut sama COVID-19 deh. Itu virus yang biasa-biasa saja”.
Jika kita mengamati persepsi masyarakat di luar media sosial, sikap seperti itu memang sudah jamak. Pada kenyataannya protokol kesehatan memang telah dianggap sebagai basa-basi belaka. Dan masyarakat lebih merasa takut dulu, ketika kasus masih bisa dihitung dengan jari, daripada sekarang ketika jumlah jari-jari kita sudah tak kuasa menghitung lonjakan kasusnya. Hasilnya apa? Lonjakan kasus meningkat drastis. Baik secara lokal di setiap daerah maupun secara nasional.
ADVERTISEMENT
Hampir semua prediksi-prediksi buruk yang dulu dikhawatirkan sekarang terjadi. Mulai dari rumah sakit yang kewalahan, tenaga medis tumbang, sampai puncak kasus yang tak kunjung kelihatan.
Di DIY lebih aneh lagi, kasus sedang meningkat tajam, tetapi satgas COVID-19 provinsi malah dibubarkan. Saya tidak tahu karena alasan apa. Sudah bosan, tidak punya dana, atau malah dianggap pandemi sudah usai. Entah.
Sebenarnya, sebagaimana yang dikatakan Yuval Noah Harari di esainya yang berjudul “Dunia Setelah Virus Corona”, bahwa teknologi informasi sangat membantu mengatasi pandemi yang sedang melanda dunia, penanganan pandemi jauh lebih baik dibanding dulu ketika teknologi informasi belum berkembang.
Informasi tentang penelitian perihal virus ini dapat diakses banyak orang secara cepat. Dan cara-cara antisipasinya yang sudah dibuat oleh para ahli pun dapat diketahui banyak orang secara cepat. Andai saja teknologi informasi belum semaju sekarang, saya kira korban akan jauh lebih banyak. Karena upaya preventif tidak bisa disosialisasikan semassif dan secepat sekarang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia permasalahan utamanya sebenarnya adalah pada kesadaran masyarakat untuk berhati-hati. Ada beberapa sebab. Tidak ada jaminan hidup yang pasti dari pemerintah kalau masyarakat disuruh di rumah saja. Sehingga pemerintah sendiri mau bersikap tegas juga tidak bisa. Munculnya berbagai teori konspirasi yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Bombardir kekhawatiran di masa-masa awal, yang alih-alih membuat masyarakat waspada, malah membuat masyarakat terlalu takut di awal dan hilang rasa takutnya ketika kasus sedang meningkat drastis.
Hal-hal tersebut membuat spekulasi kita tentang terkena COVID-19 atau tidak menjadi semakin spekulatif. Kalau tidak kena berarti sedang beruntung. Kalau kena berarti sedang sial. Kasarannya seperti itu.
Memang ada tempat-tempat tertentu yang masih konsisten untuk menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Di sebuah swalayan dekat rumah saya, ada yang ditugaskan khusus untuk mengingatkan perihal protokol kesehatan. Satu orang di depan swalayan mengingatkan para pelanggan sebelum memasuki swalayan untuk cuci tangan, mengecek suhu, dan tidak mengizinkan masuk pelanggan yang tidak memakai masker. Saya salut dengan konsistensi itu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya jika dibandingkan dengan yang tidak menegakkan protokol kesehatan secara ketat ternyata lebih banyak yang tidak. Bahkan, lembaga-lembaga resmi yang berafiliasi dengan pemerintah, seperti bank, kantor pos saja tidak seketat itu. Dibiarkan saja, kalau sadar ya customer akan cuci tangan sebelum masuk. Kalau tidak, yaudah tidak apa-apa. Padahal kita tahu, mengharapkan masyarakat Indonesia sadar akan kehati-hatian, atau menaati peraturan tertentu itu mustahil. Di lampu lalu lintas saja, yang jelas-jelas berbahaya jika dilanggar, masyarakat Indonesia masih berani melanggarnya.
Saya tahu orang-orang sudah cukup lama bosan dengan tetek bengek COVID-19 ini. Entah itu bosan mendengar beritanya, atau bosan berhati-hati. Yang jelas kebosanan itu tidak lantas menghilangkan pandemi ini dari muka bumi. Sebaliknya, kebosanan justru membuat lonjakan kasus semakin meningkat. Apalagi kepastian kapan vaksinasi COVID-19 akan dimulai, setelah ada kabar baik perihal vaksin, belum ada.
ADVERTISEMENT
Apa iya, kita masih akan terus-menerus menuruti rasa bosan dan mengabaikan keselamatan hidup kita bersama?