Konten dari Pengguna

Urgensi Pentingnya Wilayah Kelola Rakyat di Indonesia

Dana Tarigan
Aktivis Lingkungan. Dewan Daerah Walhi Sumatera Utara
21 April 2025 18:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dana Tarigan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kawasan Hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Dok Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan Hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Dok Pribadi.
ADVERTISEMENT
Sejak pemerintah mulai memberlakukan Kontrak Karya lewat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, paradigma pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia mulai eksploitatif. Alasannya pemberian izin pertambangan terhadap korporasi asing lebih mengutamakan kepentingan ekonomi daripada aspek kelestarian lingkungan. Dampaknya terjadi glorifikasi terhadap kepentingan investasi lewat penanaman modal asing dengan pembenaran Indonesia kala itu memasuki era pembangunan.
ADVERTISEMENT
Setahun setelahnya, lewat Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri penguasaan terhadap SDA semakin diperluas. Lewat regulasi ini tidak hanya sektor pertambangan yang dikelola perusahan asing yang diberikan tapi juga izin usaha perkebunan lewat alih fungsi lahan dari hutan untuk usaha perkebunan juga diberikan pemerintah kepada pengusaha dalam negeri.
Tidak hanya itu, Hak Penguasaan Hutan (HPH) untuk pengambilan kayu dan kepentingan industri berbahan baku kayu juga diberikan seolah menegaskan pemerintahan Orde Baru sangat bermurah hati terhadap korporasi.
Berdasarkan data Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 selama kepresidenan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun (1967-1998) izin penguasaan hutan oleh korporasi mencapai 78.676.806 hektar yang digunakan untuk sektor pertambangan, perkebunan sawit, kebun kayu dan izin penebangan.
ADVERTISEMENT
Sementara di era kepresidenan berikutnya yaitu di masa Presiden Habibie telah menerbitkan izin konsensi hutan seluas 2.034.710 hektar, di masa Presiden Abdurrahman Wahid seluas 1.555.276 hektar, di masa Presiden Megawati seluas 2.638.805 hektar dan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seluas 55.056.078 hektar.
Para era kepresidenan Jokowi yang mengklaim diri dalam kampanyenya berpihak pada rakyat pemberikan izin konsensi hutan terhadap korporasi juga banyak diberikan. Setidaknya dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah telah mengeluarkan izin penguasaan hutan seluas 7.974.889 hektar yang menambah daftar panjang keberpihakan penguasa terhadap koporasi.
Hal ini tentu meninggalkan residu dengan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Kerusakan lingkungan yang mengakibatkan pencemaran air dan udara, erosi, tanah longsor, kekeringan dan banjir pada pelbagai wilayah di Indonesia semakin marak terjadi. Selain itu konflik sosial yang akibat bentrok antara perusahan dan masyarakat yang tinggal didekat lokasi tambang atau perkebunan kerap menjadi situasi tidak terhindarkan yang sialnya negara mengambil posisi dipihak perusahaan.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, penggusuran demi penggusuran wilayah pemukiman rakyat karena dianggap berada dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) juga menjadi persoalan yang jamak kita saksikan dalam pemberitaan mengenai konflik agraria padahal masyarakat pada kawasan tersebut sudah mendiaminya selama puluhan tahun atau turun menurun dari kakek buyutnya.
Kerusakan Ekologis
Pengelolaan SDA di Indonesia secara konstitusi dikuasai oleh negara. Secara paradigmatik tentu tidak ada yang salah karena pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun, ketika subjek utama dalam pengelolaan hutan, laut, sungai dan tambang hanya berpusat pada kepentingan korporasi tanpa peran masyarakat lokal dan masyarakat adat secara otomatis merupakan bentuk penyimpangan terhadap cita-cita luhur konstitusi dalam pengelolaan SDA.
ADVERTISEMENT
Hutan dibakar, laut ditimbun, bumi dikeruk dan sungai digali tanpa mempertimbangkan keadilan ekologis. Aktivitas banyak perusahaan perusak lingkungan selama ini telah merusak hutan. Di laut aktivitas penambangan dan reklamasi telah mencemari perairan dan merusak mata pencaharian nelayan.
Sementara, aktivitas pertambangan menjadi pemicu utama munculnya semburan lumpur yang berpotensi menenggelamkan pemukiman masyarakat. Lalu, eksploitasi berlebihan di sungai telah merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sumber air baku yang sejatinya menjadi sumber air bersih untuk masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemasalahan ini seolah telah terpola, dimana setelah perusahaan merusak lingkungan maka tahapan selanjutnya adalah memindahkan masyarakat dengan dalil relokasi. Padahal setiap masyarakat khususnya masyarakat adat memiliki keterikatan batin antara dirinya dan alam pada tempat dia tinggal yang tidak ternilai harganya. Selain itu, masyarakat lokal merupakan korban pertama ketika bencana terjadi sehingga selain alasan mengancam keselamatan jiwa juga secara langsung menyebabkan pemiskinan struktural karena masyarakat kehilangan pekerjaan dan sumber mata pencahariannya.
Wilayah Kelola Rakyat
Jika kita menelisik jauh pengelolaan lahan di Indonesia, 93 persen lahan telah dikuasai oleh korporasi sementara hanya 7 persen dikelola oleh masyarakat. Dengan asumsi bahwa ketersediaan lahan saat ini sudah sangat terbatas sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan ulang terhadap lahan yang selama ini dikelola korporasi, menghentikan penambahan izin baru dalam pengelolaan hutan/tambang dan melakukan pengecekan terhadap izin-izin perusahaan yang bermasalah demi keselamatan dan kepentingan rakyat. Utamanya bagi korporasi yang berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, negara sebagai subjek utama dalam penguasaan terhadap SDA sangat penting memperhatikan aspek yang mendorong terwujudnya keadilan dan keberlanjutan ekologis dengan pengarusutamaan terhadap kepentingan rakyat sebagaimana amanah konstitusi. Pada konteks yang lebih strategis hal ini berkaitan dengan pengimplementasian Wilayah Kelola Rakyat (WKR) terhadap pengelolaan SDA di Indonesia.
Adapun penjabaran terhadap 4 (empat) poin ini yaitu pertama, tata kuasa berkaitan dengan kepastian hak atau tenurial terhadap letak geografis, luasan dan jaminan lahan yang dikelola oleh rakyat yang diberikan oleh negara tidak tumpang tindih klaim pengelola.
ADVERTISEMENT
Kedua, tata kelola berkaitan dengan pola atau cara kerja dalam pengelolaan lahan dilaksakan secara inklusif berdasarkan kearifan lokal dengan kaidah keseimbangan ekosistem dan perbaikan terhadap lingkungan. Ketiga, tata produksi yaitu produk yang dihasilkan dari lahan yang dikelola berdasarkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Dan keempat, tata konsumsi berkaitan dengan pemakaian produk berbasis kepentingan masyarakat yang merata.
Selanjutnya dalam upaya mewujudkan pengelolaan SDA yang berkeadilan dan terakses untuk masyarakat sangat memperhatikan fungsi sumber daya lingkungan berdasarkan nilai kearifan lokal. Ini pula yang menjadi alasan utama pengimplementasian terhadap Wilayah Kelola Rakyat (WKR) penting dilakukan secepatnya oleh pemerintah dengan menerbitkan regulasi dalam mewujudkan ruang ekologi yang adil dan berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT