Transfer Pricing: Menyelamatkan Kas Negara atau Membenamkan Keuntungan?

Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
27 Februari 2024 7:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover. Sumber: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Cover. Sumber: Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Transfer pricing dari sudut pandang perpajakan merupakan kebijakan suatu golongan atau badan dalam memutuskan harga transaksi akibat hubungan istimewa. Pemutusan harga transaksi harus sesuai dengan prinsip arm’s length principle atau prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). Sementara itu, hubungan yang muncul ini bersifat tertentu karena timbulnya hubungan ini disebabkan oleh suatu pernyataan modal, management or technology authorization, atau karena ditemukan hubungan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Adapun transaksi kerja sama yang biasa juga disebut sebagai transaksi afiliasi dapat berbentuk transaksi jual beli barang berwujud, transaksi pembayaran jasa, transaksi pembayaran royalti, pembayaran pinjaman, dan lain-lain. Sebagai contoh, 80% saham PT Salmon merupakan milk PT Kakatua. Dalam hal ini, PT Salmon dan PT Kakatua tentu memiliki hubungan tertentu yang memenuhi kriteria adanya transfer pricing dalam memutuskan harga transaksi yang terjadi di antara kedua perusahaan tersebut, misalnya jika PT Salmon menjual suatu produk ke PT Kakatua dengan nilai jual 100, maka nilai jual itulah yang dijadikan sebagai transfer price-nya.
Dalam perusahaan multinasional yang dijalankan di lebih dari satu kekuasaan hukum, transfer pricing sebagai konsekuensi logis dapat bersifat netral maupun berkonotatif negatif jika harga transaksi kerja samanya tidak memberi keuntungan terhadap penerimaan pajak suatu kekuasaan hukum. Maka dari itu, dikenal istilah penyalahgunaan transfer pricing untuk memindahkan profit dari kekuasaan hukum dengan tarif pajak yang tinggi ke kekuasaan hukum dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dengan meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.
Ilustrasi Transfer Pricing. Sumber: Penulis
Pasca diterbitkannya kebijakan terbaru untuk menghindari adanya praktik penyelewengan transfer pricing di kalangan wajib pajak berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023), transfer pricing menjadi bahan diskusi yang hangat untuk diselidiki karena memiliki konsekuensi logis terhadap besarnya pajak terutang yang dimiliki oleh wajib pajak. Akan tetapi, kebijakan transfer pricing ini dapat memicu terjadinya tax avoidance dan tax evasion karena adanya penyalahgunaan oleh wajib pajak untuk mengurangi pajak terutangnya. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara memindahkan keuntungan dari negara sebagai kekuasaan hukum tertentu dengan tarif pajak yang tinggi ke kekuasaan hukum dengan tarif pajak yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari hal tersebut, otoritas pajak suatu negara perlu menetapkan peraturan yang memenuhi standar internasional. Selain itu, dewasa ini Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga menyatakan kiat-kiat untuk memberantas penyalahgunaan transfer pricing dengan menyatakan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) action. BEPS action ini adalah kumpulan rekomendasi yang dirumuskan untuk menemukan jalan keluar dalam menghadapi tantangan pepajakan ketika sektor ekonomi mengalami globalisasi dan digitalisasi. Hal ini meliputi 15 tindakan (actions) terkait alokasi keuntungan, pemutusan harga transfer, perjanjian pajak, pertukaran informasi, dan lain-lain.
Dengan bergabungnya Indonesia menjadi salah satu member OECD, pemerintah mengupayakan perumusan regulasi-regulasi yang dapat melarang wajib pajak untuk melakukan penyalahgunaan transfer pricing. Sebagai contoh, terdapat regulasi yang mengatur mengenai kewajiban wajib pajak untuk mendokumentasi harga transfernya, atau biasa disebut sebagai transfer pricing documentation (TPD). TPD ini berisi informasi-informasi terkait penyelenggaraan kegiatan usaha, transaksi, dan pedoman harga transfer wajib pajak.
ADVERTISEMENT
TPD merupakan dokumen yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti adanya kesesuaian terhadap prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dari suatu penetapan harga transfer wajib pajak. Dokumen ni sebelumnya telah diatur dalam PMK 213/2016 yang dikenakan terhadap transaksi lintas batas maupun transaksi domestik selama transaksi tersebut terjadi atas dasar hubungan istimewa. Di samping itu, sebelumnya juga pernah terdapat pernyataan mengenai ketentuan prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedur (MAP) yang diatur dalam PMK 49/2019 dan tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer atau advance pricing agreement (APA) yang diatur dalam PMK 22/2020.
Di penghujung tahun 2023, pemerintah resmi menerbitkan regulasi baru terkait transfer pricing, yaitu PMK 172/2023. Kebijakan ini sekaligus menggantikan eksistensi dari PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa PMK 172/2023 merupakan kebijakan yang lebih luas cakupannya dalam mengadopsi beberapa rekomendasi dari BEPS action, terlebih mengenai action 13 yang berhubungan dengan TPD. Selain itu, PMK 172/2023 ini juga menjadi kodifikasi dari peraturan yang telah ada sebelumnya, seperti PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020 (Hutagaol, 2023).
ADVERTISEMENT
Cuplikasn PMK 172/2023. Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 172 Tahun 2023
Dalam melaksanakan program PMK 172/2023, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perluasan penerapan PKKU dan hubungan istimewa, yang mencakup tidak hanya transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan keuangan, kepemilikan, atau pengendalian, tetapi juga transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan komersial, teknis, atau organisasi. Kedua, penegasan bahwa tidak terdapat perbedaan perlakuan penerapan PKKU antara transaksi transfer pricing domestik maupun cross border. Artinya, Wajib Pajak harus menerapkan PKKU pada semua transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, baik yang melibatkan pihak asing maupun pihak dalam negeri. Ketiga, penegasan kembali atas penyesuaian-penyesuaian sehubungan dengan temuan pemeriksaan seperti primary adjustment, secondary adjustment, dan corresponding adjustment, yang merupakan konsekuensi dari koreksi harga transfer yang dilakukan oleh DJP. Keempat, penerapan PKKU atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kelima, jangka waktu kewajiban penyampaian TPD. Keenam, perubahan penetapan threshold atas CbCR. Ketujuh, memperkenalkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama (SKPB). Kedelapan, adanya APA Multilateral. Kesembilan, pengurangan sanksi administratif atas roll-back APA. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Tenaga Pengkaji Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam forum Kupas Tuntas Ketentuan Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa.
ADVERTISEMENT