Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menegur Viktor Laiskodat
6 Agustus 2017 9:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Danang Aziz Akbarona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan politisi Nasdem Viktor Laiskodat menuai kontroversi dan dinilai sebagai pernyataan yang berbahaya bagi masa depan kebangsaan. Banyak pihak yang menyayangkan politisi nasional, pejabat publik, dan ketua fraksi di DPR RI ini membuat pernyataan yang bermuatan fitnah, kebencian, permusuhan, dan insinuasi terhadap sesama warga bangsa.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk hidup berdampingan secara damai di negeri ini. Ia gagal melakukan klasifikasi sikap yang konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang bersangkutan perlu kita tegur agar sikap serupa tidak menjadi wabah yang merusak bangsa kita. Teguran semakin penting karena ada saja pihak-pihak yang membela sikap dan pernyataannya bahkan memberikan pembenaran dan mengapresiasi. Miris.
Sesat Pikir
Ada kesalahan fatal dan sesat pikir (logical fallacy) yang dilakukan oleh Viktor. Pertama, dia menganggap partai politik yang menolak Perppu pembubaran ormas (Perppu 2/2017) (otomatis) sebagai kelompok yang anti-pancasila dan mendukung ide negara khilafah. Pandangan ini tendensius dan tidak berdasar karena ada banyak elemen masyarakat, LSM, ormas—di luar parpol yang disebut—yang juga mengkritik bahkan menolak Perppu.
ADVERTISEMENT
Penolakan/kritik tersebut sejatinya merupakan perbedaan cara pandang tentang langkah/mekanisme pembubaran ormas. Pihak-pihak yang menolak Perppu menganggap bahwa Undang-Undang tentang Ormas masih relevan bahkan lebih menjamin supremasi hukum dan kebebasan berserikat di dalam alam demokrasi. Sebaliknya, Perppu berpeluang menjadikan pemerintah otoriter (semena-mena) karena mengabaikan due process of law dalam pembubaran ormas.
Kedua, akibat sesat pikir yang pertama, Viktor menjadi gegabah ‘menyamakan’ kondisi kepolitikan/kelompok penolak Perppu seperti PKI (yang ingin mengganti ideologi negara) dan untuk itu harus ditumpas bahkan diksi yang digunakannya sangat sarkastis: "bunuh". Ini jelas pernyataan konyol, provokatif, dan barbarian. Satu pernyataan yang sarat dengan kebencian dan permusuhan serta kehendak eksplisit untuk memusnahkan kelompok tertentu di dalam negara. Jika pun itu kelakar, sungguh tidak pantas kelakar (bercandaan) semacam itu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pernyataan politisi Nasdem tersebut juga tendensius dan bisa dipersepsi mengarah pada kebencian/permusuhan SARA ketika menggambarkan “negara khilafah” maka seluruh umat termasuk umat Kristiani wajib (dipaksa) melaksanakan shalat.
Sebagai sebuah konsep, ide “khilafah” di internal umat Islam masih debatable, tapi kita tidak habis pikir dari mana politisi Nasdem itu mendapat gambaran/informasi yang begitu buruk tentang umat Islam, dengan stereotype umat yang memaksakan ajaran agamanya kepada umat lain. Cukup bukti bagi kita untuk mengatakan bahwa Viktor mengidap islamophobia.
Siapa pun tahu bahwa di dalam doktrin ajaran Islam tidak ada pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan. Sejarah (daulah-kekhalifahan Islam) juga mengkonfirmasi betapa umat Islam menampilkan kehidupan yang damai dan tanpa pemaksaan agama kepada umat agama lain.
ADVERTISEMENT
Hargai Perbedaan, Bangun Konsensus
Pelajaran berharga dari kasus ini adalah dorongan untuk bersikap yang tepat dan konstruktif dalam menjaga keindonesiaan. Bangsa ini adalah bangsa yang besar dengan berbagai keragamannya. Jangan egois dan merasa paling benar. Jangan jemawa, merasa paling berhak untuk mewakili rasa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia sambil menuduh dan mendeskreditkan (kadar) nasionalisme warga bangsa lainnya. Sikap demikian tentu tidak tepat dalam upaya mempromosikan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sejatinya tidak boleh ada yang merasa paling pancasilais, paling nasionalis sambil mengatakan orang lain anti-Pancasila anti NKRI. Orang-orang seperti inilah yang sesungguhnya menjadi sumber masalah kebangsaan kita. Mereka tidak peka terhadap kebhinekaan, tidak peka terhadap perbedaan. Ini berbahaya.
ADVERTISEMENT
Inilah yang diingatkan oleh Bung Karno sejak dulu. Bung Karno khawatir banyak orang yang pandai me-"ngecap"-kan Pancasila, merasa dirinya paling pancasilais, merasa dirinya paling nasionalis, padahal sesungguhnya tidak, dia hanya menjadikan Pancasila sebagai "alat" untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka tidak memahami esensi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bukan alat pemecah belah.
Menjadi tugas kita bersama untuk melakukan koreksi yang sungguh-sungguh atas sikap yang membahayakan kebangsaan kita itu. Bangsa ini harus dijaga dengan mengedepankan penghormatan dan penghargaan atas perbedaan serta tidak bersikap agresif dan represif terhadap perbedaan itu sendiri. Inilah jalan konsensus yang telah diajarkan dengan baik oleh para pendiri bangsa.
Sikap yang agresif hanya menimbulkan luka bagi sesama warga bangsa. Sikap yang represif hanya akan menghasilkan perlawanan dan permusuhan di antara sesama warga bangsa. Tentu bukan warisan semacam ini yang akan kita ajarkan kepada anak cucu kita.
ADVERTISEMENT
Kepada para pemimpin, pejabat publik, para politisi, public figure, hendaknya mampu menjaga sikap dan perilakunya. Jadilah negarawan yang membesarkan hati rakyat dengan sikap-sikap positif dan konstruktif dan bukan malah memberikan contoh yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Hentikan sikap kebencian, permusuhan, menyerang perbedaan, apalagi jika perbedaan itu tetang gagasan, aspirasi, dan kritisi atas kondisi kebangsaan. Untuk menyatukan bangsa ini dibutuhkan kesadaran dan kemauan kuat untuk membangun konsensus. Belajarlah dari para pendiri bangsa. Andaikata mereka dulu tidak duduk bersama, saling menghargai perbedaan, bertukar pikiran dan gagasan lalu membangun konsensus negara Indonesia, kita tidak mungkin menikmati kemerdekaan hari ini.
Bangsa ini dibangun dengan kebesaran jiwa untuk meraih sesuatu yang lebih besar dari perbedaan itu sendiri. Ada 1001 alasan kita untuk bercerai berai tapi kita memilih untuk bersatu: untuk mencapai tujuan bersama.
ADVERTISEMENT
Danang Aziz Akbarona, Pemerhati Masalah Kebangsaan.