Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menjadikan Pancasila Ideologi Pemersatu
3 Juni 2017 7:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Danang Aziz Akbarona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampanye "Saya Indonesia, Saya Pancasila" bisa menjadi kontraproduktif akibat sikap dan/atau kebijakan individu/pemerintah yang ‘dipersepsi’ mensegregasi/mengalienasi kelompok-kelompok tertentu dalam negara. Hal itu terjadi karena lebih pemerintah menonjolkan sikap/kebijakan agresif dan represif kepada kelompok-kelompok tertentu ketimbang cara persuasif, dialog, dan konsensus. Akan ada respon/reaksi balik atas sikap/kebijakan tersebut, yang berangkat dari perasaan ‘dipisahkan’ atau ‘dipinggirkan’ dari negara. Padahal dalam kenyataannya kelompok-kelompok itu (bisa jadi) sejatinya juga sedang berjuang menjaga Indonesia, berikhtiar menjadi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis berpandangan karena kita semua sebagai warga bangsa sedang berproses menjadi Indonesia (being Indonesia) maka tidak selayaknya mengklaim "paling Indonesia" atau "paling Pancasila" sambil menunjuk—secara sadar atau tidak—pihak-pihak lain anti-NKRI atau anti-Pancasila.
Cara-cara seperti itu (cara agresif, segregasi, alienasi, atau represif) terbukti tidak pernah efektif dalam membangun sebuah nation state. Kita memerlukan pendekatan yang asertif, persuasif, dan dialog untuk menghasilkan kesepakatan (konsensus kebangsaan). Bukankah itu yang diajarkan dan selalu diingatkan para pendiri bangsa?
Bung Karno, misalnya, tegas mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi pemersatu, yang semestinya kita pahami agar Pancasila tidak dijadikan alat untuk mensegregasi masyarakat: saya Pancasila dan Anda bukan. Saya Pancasila dan anda anti-Pancasila.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, hendaknya setiap warga bangsa arif dalam menggunkan Pancasila sebagai "jargon", jangan sampai menimbulkan kesan segregasi atau alienasi di masyarakat. Klaim Pancasilais atau NKRI tidak perlu dilakukan, apalagi ditunjukkan secara demonstratif karena akan menimbulkan reaksi sebaliknya. Apalagi jika hal itu dibumbui pernyataan-pernyataan yang bersifat menyerang, ujaran kebencian, dan klaim kebenaran antar kelompok di media sosial. Lengkap sudah kegagalan kita dalam memaknai hakikat berbangsa dan berkemajuan.
Jadikan Pancasila sebagai common platform yang bersifat terbuka sehingga setiap orang merasa memiliki dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Para agamawan, organisasi keagamaan, dai dan pengikutnya, merasa nyaman dalam beragama dan menyebarkan nilai-nilai agama karena memang sejalan dengan sila pertama Pancasila. Pejuang keadilan merasa memiliki dasar kuat untuk bersikap kritis dalam menuntut keadilan karena memang itulah nilai utama sila kedua dan kelima, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penulis menyambut baik pernyataan asertif dari Ketua MPR, Zulkifli Hasan, "Pancasila harus jadi jembatan, bukan tembok pemisah. Pancasila merekatkan, bukan membelah. Tidak boleh ada yang disudutkan atas nama Pancasila, sementara yang lain merasa paling Pancasila."
Dengan cara pandang tersebut, kita akan menyediakan hati dan pikiran yang lapang bagi setiap perbedaan persepsi, aspirasi, aktualiasasi kebangsaan di bumi Indonesia ini. Satu sikap mental yang menjadikan kita terbuka, merangkul, bekerja sama, dan bersinergi.
Bangsa ini terlalu besar untuk dikelola sendirian atau beberapa kelompok saja. Bangsa ini harus dikelola secara bersama-sama oleh segenap rakyatnya dari latar belakang apapun dia berasal. Bukankah itu hakikat gotong royong yang disebut Bung Karno merupakan intisari dari sila-sila Pancasila?
ADVERTISEMENT