Menguji Nyali KPK dalam Skandal Korupsi Uang Ketok Palu Jambi

Dandi Pranata
Bendahara Umum DPD IMM Jambi yang tercatat sebagai Mahasiswa Prodi Magister Manajemen Universitas Jambi angkatan 2020.
Konten dari Pengguna
29 Desember 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dandi Pranata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rabu malam (21/12), langit Surabaya dipenuhi ribuan bintang. Sinar rembulan menyelinap masuk dari balik tirai-tirai kamar. Sama seperti malam-malam sebelumnya, perlahan angin datang menerpa wajah dengan lembut membawa ketenangan. Namun dengan seketika ketenangan itu buyar, lantaran secara mengejutkan tiga ruang kerja pejabat tinggi di Jawa Timur digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ruang gubernur, wakil gubernur, dan sekretaris daerah dipukul rata di malam yang sama. Alhasil, banyak mata yang teralihkan ke Surabaya.
ADVERTISEMENT
Besar dugaan penggeledahan itu dilakukan akibat pengembangan dari kasus suap pengurusan dana hibah yang lebih dulu menjerat salah satu Wakil Ketua DPRD Jawa Timur. Tak dipungkiri, terkait kasus suap, para petinggi negeri ini memang rentan untuk ikut terseret ke dalamnya. Sampai-sampai sebuah kalimat “Entah berapa lama lagi?” sering menjadi pertanyaan khalayak ramai untuk menggambarkan proses penegakan hukum korupsi terutama pada delik suap yang terkadang tak tuntas sampai ke akarnya.
Mirip seperti di Jawa Timur, Provinsi Jambi-pun lebih dulu merasakan hal yang sama. Di Provinsi Jambi, sudah lebih dari 5 tahun sejak tragedi Operasi Tangkap Tangan (OTT) berhasil dilaksanakan terhadap suap uang ketok palu. Namun hingga kini KPK belum juga menuntaskan tugasnya dengan sempurna.
ADVERTISEMENT

Kinerja KPK pada kasus Uang Ketok Palu Jambi

Sejak KPK diketuai oleh salah satu anggota korps “cokelat,” kinerjanya kini bagai pucuk pisang didiang. Lemah sekali. Bahkan, nyaris tak berdaya dalam menindak pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pusaran uang ketok palu. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kinerja KPK sebelum-sebelumnya, yang selalu menyelesaikan sebuah perkara dengan kinerja dan batas waktu yang terukur.
Masih ingatkah skandal korupsi ketok palu DPRD Malang? KPK setidaknya telah menjerat 41 orang anggota DPRD Malang yang diduga menerima suap dari wali kota Malang terkait persetujuan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kota Malang tentang Perubahan APBD tahun anggaran 2015. Semua yang terlibat dicantumkan dengan jelas dalam dakwaan. Hasilnya, KPK berhasil menyapu bersih pelaku dengan rentang waktu 3 tahun sejak kejadian.
ADVERTISEMENT
Di Jambi, telah lebih dari 5 tahun OTT uang ketok palu berhasil dilaksanakan, namun para penerima suap masih bebas berkeliaran. Di sisi lain, sebagian pelaku pemberi dan penerima uang ketok palu Jambi juga telah disidangkan. Banyak hal baru terungkap dalam dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum KPK. Sebagai contoh, dalam surat dakwaan Gubernur Jambi non aktif, Zumi Zola didakwa menyuap 53 anggota DPRD Provinsi dengan total uang yang diberikan sebesar Rp 16,5 miliar. Dari 53 orang anggota DPRD Provinsi Jambi penerima suap tersebut, belum semua diproses menurut hukum.
Dalam persidangan beberapa perkara uang ketok palu Jambi, setidaknya ada 2 (dua) nama yang sering disebut oleh para saksi dalam memberikan keterangan di bawah sumpah. Kedua nama tersebut masuk dalam salinan putusan terpidana uang ketok palu lainnya hingga Mahkamah Agung. Bahkan kedua nama ini dianggap aktif sebagai penerima aliran dana haram uang ketok palu. Salah satu di antara kedua orang ini bahkan berani menggunakan telepon selulernya untuk menanyakan nominal “jatah” yang ia terima. Namun sangat disayangkan, hingga hari ini, tak satupun dari mereka yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
Yanti Maria Susanti alias Yanti, demikian salah satu nama penerima uang haram tersebut. Kala itu ia menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 dari Partai besukan Prabowo Subianto. Setelah namanya disebut-sebut oleh saksi dalam persidangan yang digelar, banyak kalangan meramal ia akan menjadi salah satu tersangka dalam perkara uang ketok palu. Namun ramalan tersebut hanyalah sebuah isapan jempol belaka.
Di bawah sumpah, saksi Zainal Abidin dan Kusnindar dalam persidangan perkara uang ketok palu dengan nama Terdakwa Fahrurozi dkk, nama Yanti telah disebut secara berulang sebagai salah satu penerima aliran uang suap ketok palu senilai Rp 200 juta. Demikian juga persidangan perkara uang ketok palu dengan terdakwa Sufardi Nurzain dkk, Zainal Abidin dan Kusnindar di bawah sumpah menyebut nama Yanti sebagai salah satu penerima aliran uang suap ketok palu. Namun hingga saat ini Yanti masih dapat menikmati hasil uang ketok palu dengan sebuah perasaan yang tak berdosa.
ADVERTISEMENT
Selain Yanti, ada nama Eka Marlina Alias Eka. Wanita keturunan bangsawan yang berasal dari Kabupaten Tebo ini, juga belum tersentuh oleh hukum. Meskipun namanya selalu disebut beriringan dengan nama Yanti, ia juga bernasib sama dengan Yanti, masih bisa bernafas lega, karena tak ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, para saksi dalam persidangan uang ketok palu telah menyampaikan nominal uang yang diterima Eka yang setara dengan uang yang diterima oleh Yanti dan Anggota DPRD Provinsi Jambi lainnya di masa itu. Tak jarang, banyak pihak menilai, Yanti dan Eka memiliki daya pikat yang luar biasa, hingga tak bernasib sama dengan Anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 lainnya.

Kedekatan Emosional ataukah Pendekatan Transaksional?

Kedekatan emosional dan pendekatan transaksional acapkali menggangu jalannya proses penegakan hukum tindak pidana korupsi, terutama di KPK. Terhadap kedekatan emosional, sejarah telah mencatat, di tahun 2011 yang lalu, salah satu penyidik di lembaga anti rasuah ini pernah kepincut dengan lawan jenisnya yang saat itu menjadi saksi dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Sudah tentu kedekatan tersebut sangat berdampak pada lambannya penyelesaian sebuah perkara di KPK. Saat ketahuan menjalani hubungan dengan saksi, salah satu penyidik KPK tersebut dipulangkan ke institusi asalnya. Pasca-pemulangan, barulah oknum saksi itu berubah status menjadi seorang tersangka.
ADVERTISEMENT
Kejadian yang menimpa KPK dalam perkara Wisma Atlet, juga berpotensi terjadi dalam perkara uang ketok palu APBD Provinsi Jambi. Kedua orang ini (Yanti dan Eka) memiliki paras yang cantik dan memililki pesona tersendiri bagi lawan jenisnya, yang barang tentu melahirkan asumsi liar dari khalayak. Selain itu, status “single mom” juga diemban oleh Yanti, tak khayal dengan status yang demikian juga bisa digunakan untuk kedekatan emosional dirinya dengan salah satu penyidik KPK. Tujuannya adalah untuk menghambat proses penegakan hukum yang berlangsung. Jika apa yang diasumsikan publik itu benar adanya, maka kejadian tersebut adalah kejadian kedua yang melanda kantor berwarna Merah Putih.
Tak berbeda dengan kedekatan emosional yang memainkan perasaan, pendekatan transaksional juga pernah melanda KPK. Dalam catatan sejarah, salah satu politikus ternama dari Partai Golongan Karya, pernah terjebak dalam Pusaran Suap Penyidik KPK. Ditahun yang sama, keduanya di vonis dengan penjara yang berbeda. Sang Politikus dihukum 3,5 tahun penjara, sedangkan penyidik KPK harus menerkam selama 11 tahun di penjara.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan adanya penggunaan pendekatan transaksional, juga perlu dicurigai dalam penanganan perkara uang ketok palu APBD Provinsi Jambi. Dilihat dari sisi finansial, Yanti dan Eka sama-sama berasal dari keluarga yang mapan. Yanti adalah mantan istri dari Wakil Bupati Kerinci, sementara Eka adalah anak kandung dari mantan Bupati Tebo dua periode. Tak heran jika pendekatan transaksional lebih mudah mereka lakukan terhadap penyidik di KPK atau bahkan ke salah satu komisioner KPK di masa itu. Tujuannya sama, yakni memperlambat proses penegakan hukum uang ketok palu yang melibatkan dirinya, atau bahkan menghapus nama mereka dalam rentetan nama penerima uang ketok palu.
Kedua kemungkinan jalan yang mereka tempuh merupakan langkah buruk bagi penegakan hukum dinegeri ini. Tapi kondisi semacam ini juga harus diwaspadai, karena pernah terjadi di KPK di tahun sebelum-sebelumnya. Di sisi lain, Yanti dan Eka juga seorang politikus wanita handal, yang bisa saja melakukan upaya pendekatan emosional ataupun transaksional demi menyelamatkan diri mereka dari jeratan hukum.
ADVERTISEMENT
Nyali KPK sangat dipertanyakan, beranikah KPK menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kasus uang ketok palu Jambi? Ataukah sebaliknya, KPK lumpuh pada ketidakberdayaan dalam menghadapi dua orang politikus wanita tangguh asal Jambi ini.