Konten dari Pengguna

Menilik Usaha Bangkitnya UMKM Ramen Autentik di Bantul

Dandy Apprizio
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Manajemen
25 Oktober 2022 6:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dandy Apprizio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto diambil dari dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto diambil dari dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kala itu saya sedang berkeliling mencari kost baru untuk pindah. Kost lama yang saya tempati begitu sempit serta dapat dibilang cukup mahal untuk saya yang berasal dari daerah Wonogiri. Bahkan untuk ukuran orang jogja saja juga termasuk mahal. Tidak salah sih, karena UMK Wonogiri dan Jogja hanya terpaut berapa ribu rupiah saja. Kost lama yang saya tempati tersebut mungkin lebih layak disebut lapas daripada asrama layak huni. Waktu itu saya seorang mahasiswa yang mulai memasuki semester 3. Saya berkuliah di salah satu universitas swasta ternama di Jogja yang terletak di Kasihan, Bantul.
ADVERTISEMENT
Ketika beberapa lama berkeliling dan tak kunjung menemukan kost yang cocok. Saya mencoba mencari makanan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan ini. Mata saya tertuju pada warung makan berbentuk cukup unik. Seperti kedai-kedai izakaya ala Jepang. Tepat di depan kedai tersebut berdiri plang merah dengan tulisan ramen. Saya yang merupakan penikmat mie serta masakan Jepang tanpa pikir panjang langsung menuju tempat tersebut. Di dalam warung tersebut berjejer rapi kursi dengan meja panjang yang langsung menghadap ke dapur. Orang-orang mungkin menyebutnya sebagai open kitchen. Di pojok meja terpampang papan menu kecil yang berisi satu jenis kuah ramen dengan berbagai pilihan topping serta minuman-minuman teman makan ramen. Saya lantas menunjuk pilihan topping chicken katsu serta teh ocha sebagai pelengkapnya. Saya memilih makan di tempat sembari menikmati hiruk-pikuk Jogja di petang hari juga untuk menikmati nuansa dari kedai ramen kecil tersebut.
ADVERTISEMENT
Sembari menunggu pesanan disiapkan, saya mengobservasi kedai tersebut. Di dinding terdapat ornamen garis-garis bewarna merah yang melapisi beberapa bagian dari dinding putih kedai tersebut. Di beberapa bagian dinding yang lain, terlukis kaligrafi huruf kanji. Mungkin artinya kedai, ramen, atau sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Entahlah, saya yang tidak bisa membaca huruf Jepang ini hanya berasumsi saja. Kulkas yang berada tepat di sebelah open kitchen kedai tersebut dihiasi poster-poster anime. Mungkin untuk semakin menguatkan nuansa jejepangan dari kedai tersebut.
Bosan menunggu dikarenakan kedai tersebut sedang cukup ramai, saya mencoba mengajak pedagang ramen tersebut untuk ngobrol basa-basi kecil. Sebut saja nama pedagang ramen ini Mas Eko. Kata Mas Eko, kedai ini baru beberapa bulan buka disini, setelah dulu sempat berjualan di dekat salah satu SMA di Magelang. Kata Mas Eko, Alasan ia pindah lokasi berjualan dikarenakan libur panjang SMA saat pandemi corona. Tentu omset yang ia dapat menurun dratis. Katanya, ia bahkan merugi hampir 100 juta. Akhirnya Mas Eko pun memutuskan pindah ke Yogyakarta untuk mencari target konsumen baru, mahasiswa. Karena perkuliahan dilakukan secara hybrid kala itu, maka mahasiswa menurut Mas Eko merupakan target yang tepat. Mas Eko bilang, karena ia cukup gaptek dalam menggunakan teknologi, maka promosi yang dilakukan oleh kedai ini masih secara mulut ke mulut. "Biar rasa yang berbicara", ujar Mas Eko dengan sedikit tertawa. Pernah Mas Eko coba untuk membagikan kupon makan sebagai bentuk promosi, namun hal tersebut kurang efektif.
ADVERTISEMENT
Tak begitu lama pembicaraan kami tersela sejenak karena pesanan ramen saya telah siap. Dari tampilannya, ramen yang tersaji di depan saya tampak begitu menggiurkan. Topping dalam ramen tersebut cukup komplit, berisi Chiken Katsu, Naruto, Jagung, Rumput Laut, serta tahu putih. Kuah ramen tampak begitu berkaldu dengan aroma umami yang tajam. Pertama, saya mencicipi kuahnya terlebih dahulu. Kuahnya terasa gurih dengan rasa ayam yang menonjol. Lalu saya mencoba mencicipi toppingnya satu persatu. Chiken Katsu yang diberikan cukup tebal dan terasa seperti penyeimbang dalam hidangan ini. Setelah saya cicipi toppingnya satu persatu, saya lanjutkan dengan menyeruput mie. Mie yang disajikan terasa kenyal dan lembut. saya menghabiskan ramen ini kurang dari 10 menit. Untuk ukuran UMKM, ramen ini menurut saya dapat disejajarkan dengan ramen franchise-franchise besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saya pun cukup penasaran dengan bagaimana ramen ini dibuat. Setelah menghabiskannya dengan cepat, saya pun lanjut mengobrol dengan Mas Eko kembali. Kata Mas Eko, ia dulu pernah menjadi chef di suatu restoran. Ilmu yang ia dapat kala itu ia gunakan untuk membangun kedai ramen ini. Menurut Mas Eko, ia memilih hanya menyajikan satu pilihan kuah saja agar mudah menjangkau kalangan yang awam akan ramen. Tipe kuah yang ia pilih adalah kuah ramen tradisional dan autentik. "Chiken Paitan namanya", Tutur Mas Eko. Kaldu ini dibuat dengan merebus ayam hingga lunak dan mengeluarkan minyak. Setelah direbus, ayam kemudian dihaluskan dengan cara diblender yang kemudian disaring untuk dimasukan kedalam kaldu ayam tadi. Ramen ini juga tidak menggunakan MSG, karena disamping untuk alasan kesehatan, Ayam sendiri telah memiliki umami yang khas sehingga penguat rasa tidaklah dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Setelah berbincang cukup lama, saya pun berkemas dan membayar ramen untuk melanjutkan pencarian saya dalam mencari hunian baru. harganya termasuk cukup murah untuk ukuran mahasiswa. Menu yang saya pilih beserta minumannya memiliki tarif 25 ribu rupiah. Ketika saya ingin keluar kedai, Mas Eko memanggil saya dan berkata dengan sedikit tertawa, "Nanti dipromosiin ramen ini ke temen-temen kuliah ya mas". Saya pun membalas dengan jawaban singkat sembari melambaikan tangan, "ya mas, siap!"