Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Green Economy: Tinjauan Historis, Filosofis, dan Futuristis
6 September 2024 10:48 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dandy Ramdhan Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsep ekonomi hijau atau "green economy" telah menjelma menjadi topik yang semakin penting dalam diskursus ekonomi global. Istilah ini mengacu pada model ekonomi yang berfokus pada keberlanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari segi produk domestik bruto tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Green economy mendorong penggunaan sumber daya alam yang efisien, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pelestarian keanekaragaman hayati. Artikel ini akan meninjau potret sejarah perkembangan ekonomi hijau dan mendalami unsur filosofis di balik konsep tersebut, serta implikasinya terhadap paradigma ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Tinjauan Historis
Ekonomi hijau bukanlah konsep baru, ia mulai mendapat perhatian serius sejak akhir abad ke-20. Meskipun gagasan tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan telah ada sejak zaman kuno, istilah green economy pertama kali digunakan secara resmi dalam laporan Blueprint for a Green Economy yang diterbitkan oleh para ekonom Inggris, David Pearce, Anil Markandya, dan Edward Barbier pada tahun 1989 atas permintaan pemerintah Inggris kala itu. Pihak pemerintah Inggris menghendaki laporan ini sebagai sebuah panduan untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip ekonomi dapat diimplementasikan dalam konteks kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Laporan ini, yang juga dikenal sebagai "Pearce Report", menekankan perlunya kalkulasi biaya lingkungan dalam kebijakan ekonomi dan menyoroti pentingnya investasi dalam teknologi ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sebelum munculnya laporan tersebut, diskusi tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan sudah mulai terbangun sejak tahun 1970-an, di mana terjadi gerakan lingkungan global yang dipicu oleh berbagai bencana ekologis, seperti tumpahan minyak besar di Santa Barbara (1969) dan laporan The Limits to Growth yang diterbitkan oleh Club of Rome (1972). Laporan ini memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali akan bermuara pada kehancuran lingkungan dan sosial yang sukar untuk dipulihkan. Pada era ini juga, konsep pembangunan berkelanjutan mulai muncul sebagai tanggapan terhadap ancaman-ancaman tersebut, yang akhirnya mengarah pada Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, di mana rencana aksi global yang dinamai "Agenda 21" disepakati sebagai peta jalan menuju pembangunan berkelanjutan, yang mana rencana aksi global tersebut memiliki beberapa elemen utama, yakni dimensi sosial dan ekonomi, koservasi dan pengelolaan sumber daya, peran kelompok utama, serta implementasi konkret.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-21, ekonomi hijau menjadi semakin relevan di tengah kekhawatiran global terhadap perubahan iklim dan penipisan sumber daya alam. Pada tahun 2008, United Nations Environment Programme (UNEP) meluncurkan inisiatif "Green Economy Initiative" sebagai bagian dari upaya global untuk mendorong transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan. Inisiatif ini menekankan bahwa investasi dalam sektor-sektor hijau—seperti energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan pertanian organik—bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan tanpa mengorbankan lingkungan.
Pada Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan tahun 2012 (dikenal juga sebagai Rio+20), ekonomi hijau diposisikan sebagai alat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan. Dokumen hasil konferensi, yang dikenal sebagai "The Future We Want" menekankan pentingnya pendekatan terintegrasi yang mengolaborasikan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Makna Filosofis
Filsafat ekonomi hijau didasarkan pada prinsip-prinsip etika lingkungan yang menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati dan dilestarikan. Salah satu pemikir utama dalam etika lingkungan adalah Aldo Leopold, yang dalam bukunya A Sand County Almanac (1949), memperkenalkan konsep yang disebut sebagai "land ethic". Konsep tersebut memberikan inti bahwa adanya perluasan batas-batas komunitas etis yang tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga tanah, air, binatang, tumbuhan, dan seluruh elemen ekosistem. Dalam konteks ini pula, Leopold berpandangan bahwa tindakan dapat dinilai sebagai benar atau salah berdasarkan apakah tindakan tersebut ikut serta menjaga integritas, stabilitas, dan estetika komunitas ekologis.
Ekonomi hijau menolak pandangan tradisional yang melihat alam sebagai sumber daya yang hanya ada untuk dieksploitasi demi keuntungan ekonomi. Sebaliknya, ia menganut pandangan holistik yang melihat manusia sebagai bagian integral dari ekosistem global. Hal ini mengarah pada gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT
Di luar aspek lingkungan, ekonomi hijau juga berlandaskan pada prinsip social justice atau keadilan sosial. Penganut aliran filsafat ini menekankan bahwa transisi menuju ekonomi hijau harus inklusif dan adil, memastikan bahwa bagian besar dari kelompok masyarakat—termasuk mereka yang paling rentan—mendapat manfaat dari pertumbuhan hijau. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi hijau harus memperhatikan distribusi sumber daya, akses terhadap pekerjaan hijau, serta perlindungan terhadap masyarakat yang terdampak oleh perubahan lingkungan.
Filsafat keadilan sosial dalam ekonomi hijau juga mencakup konsep "intergenerational equity" yaitu keadilan antargenerasi. Prinsip ini menegaskan bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga planet ini agar tetap layak huni bagi generasi mendatang. Pandangan ini dipengaruhi oleh pemikiran John Rawls, seorang filsuf Amerika, yang dalam bukunya A Theory of Justice (1971) memperkenalkan konsep "veil of ignorance" sebagai cara untuk mencapai keadilan yang terdistribusi secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
Ekonomi hijau juga mendapatkan pengaruh dari ekonomi ekologi, sebuah cabang ekonomi yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan kapasitas regeneratif ekosistem bumi. Para pendukung ekonomi ekologi, seperti Herman Daly, mengkritik model kapitalisme tradisional yang berfokus pada pertumbuhan tak terbatas tanpa memperhitungkan batas-batas ekologis. Mereka berargumen bahwa model ekonomi yang berkelanjutan harus didasarkan pada prinsip-prinsip biofisik, yang mengakui bahwa sumber daya alam tidak tak terbatas dan bahwa degradasi lingkungan dapat merusak kesejahteraan jangka panjang umat manusia.
Selain itu, ekonomi hijau juga menerima kritik terhadap kapitalisme dari perspektif ekonomi-politik. Para kritikus berpendapat bahwa sistem kapitalis, yang berorientasi pada akumulasi modal dan ekspansi pasar cenderung mengabaikan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, ekonomi hijau mendorong pendekatan yang lebih adil dan bertanggung jawab secara sosial, di mana pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan kolektif.
ADVERTISEMENT
Problematika dan Prospek Masa Depan
Meskipun konsep ekonomi hijau menawarkan banyak potensi untuk mengatasi krisis lingkungan dan sosial, implementasinya menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah resistensi dari industri-industri yang memiliki kepentingan dalam model ekonomi tradisional, yang sering kali menolak perubahan menuju praktik-praktik yang lebih berkelanjutan. Selain itu, ada juga tantangan dalam hal pendanaan, di mana negara-negara berkembang sering kali kesulitan mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mendukung transisi hijau.
Namun, prospek ke depan tetap optimis, terutama dengan meningkatnya kesadaran global terhadap pentingnya pembangunan yang keberlanjutan. Berbagai negara telah mulai mengadopsi kebijakan hijau, seperti pajak karbon, subsidi untuk energi terbarukan, dan regulasi yang lebih ketat terhadap polusi. Selain itu, perkembangan teknologi juga memberikan peluang besar untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau, dengan inovasi dalam bidang energi bersih, transportasi ramah lingkungan, dan pertanian berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Konklusi Sederhana
Ekonomi hijau menawarkan paradigma baru dalam pemikiran ekonomi yang berusaha menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Melalui tinjauan historis, kita dapat melihat bagaimana konsep ini berkembang dari kesadaran global terhadap dampak destruktif dari model ekonomi tradisional hingga menjadi solusi yang diterima secara luas dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Dari perspektif filsafat, ekonomi hijau menggabungkan etika lingkungan, prinsip keadilan sosial, dan kritik terhadap kapitalisme untuk menciptakan model ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Meskipun masih menghadapi berbagai tantangan, implementasi ekonomi hijau memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik bagi planet kita dan seluruh penghuninya.