Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Hari Guru dan Pseudo-komitmen Kesejahteraan
30 November 2024 17:08 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dandy Ramdhan Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Guru seharusnya menjadi momen refleksi kolektif atas pentingnya peran pendidik dalam membentuk generasi bangsa. Namun, realitas menunjukkan bahwa peringatan ini lebih sering menjadi seremoni simbolik tanpa dibersamai langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Di balik narasi heroisme sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", guru di Indonesia masih berjuang menghadapi ketidakadilan struktural, terutama dalam aspek ekonomi dan penghargaan sosial. Padahal, sejarah peradaban manusia mencatat bahwa pendidikan berkualitas hanya mungkin tercapai melalui guru yang sejahtera. Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mengungkap disparitas antara perjuangan luhur para guru dan ironi kesejahteraan mereka, sembari mengeksplorasi relevansi Hari Guru dalam menciptakan perubahan nyata di sektor pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sejarah Panjang Peradaban Pendidikan
Teoretikus pendidikan berkaliber global asal Brasil, Paulo Freire memiliki satu perspektif bahwa pendidikan telah menjadi fondasi utama dalam perkembangan peradaban manusia. Terhitung sejak masa Yunani Kuno, di mana filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles mengajarkan nilai-nilai logika, etika, dan estetika, hingga era Renaisans yang menstimulus kemajuan ilmu pengetahuan, pendidikan selalu menjadi elemen vital bagi kemajuan peradaban manusia. Pendidikan, dalam konteks sejarah, adalah sarana pembebasan, baik dari kebodohan maupun penindasan struktural.
Namun, sejarah panjang pendidikan juga menunjukkan bagaimana posisi guru seringkali menjadi anasir termarginal oleh hal-hal yang sifatnya sistemik. Pada zaman feodal, misalnya, pendidikan terbatas dan dibatasi hanya bagi kaum bangsawan, sementara guru di kalangan masyarakat bawah seringkali tidak mendapatkan penghargaan layak. Bahkan di era modern, ketika pendidikan diakui sebagai hak universal, posisi guru masih menghadapi tantangan-tantangan besar, khususnya dalam hal kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Guru dan Peradaban Dunia
Guru adalah penjaga peradaban. Mereka tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter generasi penerus. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan adalah proses dialogis yang membebaskan manusia dari struktur yang menindas. Guru adalah aktor utama dalam rangkaian peristiwa ini.
Dalam peradaban Islam, peran guru sangat diagungkan. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebut dirinya sebagai seorang mu'allim (pengajar). Hal ini menunjukkan bahwa profesi guru adalah inti dari penyebaran ilmu dan moralitas. Begitu pula yang terjadi di peradaban Barat, tokoh pelopor pendidikan dasar modern dari Swiss, seperti Johann Heinrich Pestalozzi menekankan pentingnya guru dalam menciptakan masyarakat yang humanis dan berkeadilan.
Namun, meski peran mereka sangat vital, penghargaan terhadap guru seringkali tidak setara dengan tanggung jawab yang mereka emban. Sebagaimana disampaikan oleh seorang konseptor pendidikan progresif asal Amerika Serikat, John Dewey, yang memiliki pandangan bahwa pendidikan yang bermutu hanya dapat dicapai melalui penghargaan terhadap pendidiknya, baik secara moral maupun material.
ADVERTISEMENT
Refleksi konkret penghargaan terhadap guru salah satunya terjadi di Jepang pasca-Perang Dunia II. Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, Jepang menghadapi kehancuran total, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis. Namun, di tengah puing-puing itu, pemerintah Jepang memilih untuk memprioritaskan pendidikan sebagai kunci kebangkitan nasional. Guru menjadi sosok yang paling pertama dicari oleh Kaisar Hirohito setelah tragedi tersebut.
Guru menjadi pusat dari kebijakan pendidikan Jepang. Pemerintah memberi perhatian khusus terhadap kesejahteraan mereka, dengan menyediakan gaji yang kompetitif, pelatihan berkala, dan penghormatan sosial yang tinggi. Keberhasilan Jepang bangkit sebagai negara maju dalam waktu yang relatif singkat tidak terlepas dari peran guru sebagai agen perubahan.
Hal ini mengingatkan kita pada pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pembentukan nilai-nilai kemanusiaan berkecambah melalui pendidikan. Jepang, dengan memahami pentingnya peran guru, membuktikan bahwa investasi pada kesejahteraan pendidik adalah langkah strategis untuk menciptakan peradaban yang tangguh.
ADVERTISEMENT
Realitas Kesejahteraan Guru di Indonesia
Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jepang, Indonesia menghadapi ironi besar dalam hal kesejahteraan guru. Guru seringkali disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", tetapi sebutan ini lebih sering menjadi pembenaran atas minimnya penghargaan yang mereka terima.
Temuan statistik dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menyatakan bahwa sebanyak 74 persen guru honorer di Indonesia masih digaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota. Bahkan, di banyak wilayah kabupaten/kota masih terdapat beberapa di antaranya yang hanya mendapatkan gaji Rp300.000–Rp500.000 per bulan.
Realitas ini kontradiktif dengan apa yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengatur bahwa guru berhak atas penghasilan yang layak.
Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan sosial tetapi juga berdampak langsung pada kualitas pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Pierre Bourdieu, seorang antropolog berkebangsaan Perancis yang terkenal dengan pengembangan kajian metasosiologinya, yang berpandangan bahwa ketidakadilan struktural dalam institusi pendidikan hanya akan melanggengkan reproduksi ketimpangan sosial. Guru yang tidak sejahtera tidak dapat memberikan kualitas pendidikan yang optimal, sehingga siklus ketidakadilan ini akan terus menemukan rantai kontinuitasnya.
ADVERTISEMENT
Hari Guru sebagai Peringatan Semu
Tepat pada tanggal 25 November beberapa hari lalu, Indonesia telah memperingati Hari Guru, dan hal tersebut selalu diulang setiap tanggal yang sama setiap tahunnya. Namun, peringatan ini seringkali hanya menjadi seremoni kosong tanpa upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Berbagai pidato dan penghargaan diberikan, tetapi substansi dari persoalan yang dihadapi guru sering diabaikan.
Dalam analisis kritisnya, Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan seringkali menggunakan simbolisme untuk menutupi realitas disekuilibrium. Hari Guru, dalam konteks ini, menjadi alat simbolik yang digunakan untuk menutupi fakta bahwa kesejahteraan guru masih jauh dari definisi ideal.
Semestinya, Hari Guru bukan sekadar peringatan, tetapi juga menjadi momentum refleksi bagi pemerintah dan masyarakat untuk benar-benar memperhatikan kondisi guru. Tanpa perubahan nyata, peringatan ini hanya akan menjadi "pseudo-komitmen kesejahteraan," sebagaimana disinggung dalam judul tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Kesejahteraan Guru sebagai Fondasi Etis dalam Pendidikan
Dalam perspektif filsafat moral, kesejahteraan guru bukan hanya persoalan material, melainkan juga isu etika yang mendalam. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menegaskan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan tertinggi manusia. Kebahagiaan ini dicapai melalui pemenuhan fungsi yang sesuai dengan sifat manusia, yaitu berpikir dan bertindak secara bajik. Dalam konteks pendidikan, guru yang tidak sejahtera menghadapi hambatan serius untuk mencapai "eudaimonia", karena kondisi material yang buruk seringkali menghalangi mereka untuk menjalankan fungsi pendidikannya secara optimal.
Lebih jauh lagi, John Rawls dalam A Theory of Justice menawarkan gagasan tentang keadilan distributif. Rawls menyatakan bahwa ketimpangan sosial hanya dapat diterima jika ketimpangan tersebut menguntungkan mereka yang paling lemah. Dalam sistem pendidikan Indonesia, di mana guru honorer seringkali berada di lapisan paling rentan, ketimpangan kesejahteraan guru menjadi pelanggaran terhadap prinsip keadilan Rawlsian.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Immanuel Kant dalam imperatif kategorisnya mengingatkan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Ketika guru dipaksa bekerja dalam kondisi tidak layak demi memenuhi kebutuhan pendidikan nasional, mereka direduksi menjadi alat bagi sistem, bukan individu yang dihormati. Dengan demikian, penghormatan terhadap kesejahteraan guru adalah langkah etis yang wajib dilakukan untuk memperbaiki struktur pendidikan di Indonesia.
Kesejahteraan Guru sebagai Prelude Revolusi Pendidikan
Revolusi pendidikan tidak dapat dimulai tanpa memperhatikan kesejahteraan guru. Sebagaimana dinyatakan oleh Amartya Kumar Sen dalam Theory of Capability miliknya, kesejahteraan seseorang menentukan kemampuan mereka untuk berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat. Guru yang sejahtera tidak hanya akan lebih produktif tetapi juga mampu menciptakan generasi penerus yang kompeten dan berdaya saing global.
Indonesia membutuhkan kebijakan strategis yang menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas. Hal ini mencakup peningkatan gaji, jaminan sosial, dan pelatihan profesional yang berkala. Selain itu, masyarakat juga perlu mengubah paradigma mereka terhadap profesi guru. Menghargai guru bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diungkapkan oleh Nelson Mandela, "pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia". Namun, senjata ini hanya akan efektif jika guru—sebagai ujung tombaknya—mendapatkan penghargaan yang layak.
Konklusi Sederhana
Hari Guru seharusnya menjadi momen untuk merayakan dan menghormati jasa para pendidik. Namun, tanpa adanya langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan mereka, peringatan ini hanya akan menjadi simbolisme kosong. Jika Indonesia ingin membangun peradaban yang maju dan berkeadilan, maka kesejahteraan guru harus masuk ke dalam skala prioritas utama. Sebab, revolusi pendidikan dimulai dari penghormatan terhadap guru.
Besar harapan, dalam beberapa waktu ke depan, peringatan ini bukan hanya menjadi peringatan seremonial belaka.
Selamat Hari Guru, untuk semua guru di Indonesia.