Konten dari Pengguna

Bigaku: Saat Kecantikan Menemukan Maknanya dalam Ketidaksempurnaan

Muhammad Risqy Madani
Mahasiswa Universitas Airlangga Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Studi kejepangan
8 Oktober 2024 12:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Risqy Madani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : Pexels.com
ADVERTISEMENT
Estetika Jepang memiliki ciri khas tersendiri yang telah bertahan selama berabad-abad, bahkan ketika dunia dilanda oleh gelombang modernisasi dan globalisasi. Dalam dunia yang semakin terhubung dan dipengaruhi oleh globalisasi, cara pandang terhadap keindahan mengalami perubahan yang signifikan. Di Jepang, konsep estetika yang dikenal sebagai Bigaku berakar pada penghargaan terhadap keindahan dalam bentuk yang sederhana dan tidak sempurna, namun tetap hidup dan dihargai. Bigaku seringkali diterjemahkan sebagai penghargaan terhadap keindahan. Keindahan ini tidak hanya berupa kemewahan atau kesempurnaan yang biasanya dikejar dalam estetika Barat, melainkan cenderung pada kesederhanaan, ketidaksempurnaan, dan kefanaan. Salah satu inti dari Bigaku adalah filosofi wabi-sabi yang merupakan filosofi sentral dari Bigaku. Wabi-sabi merangkum konsep ini dengan menekankan nilai-nilai dalam hal-hal yang tidak sempurna, sementara, dan tidak teratur.
ADVERTISEMENT
Perubahan besar yang dibawa oleh globalisasi telah mempengaruhi cara orang Jepang memandang estetika dan keindahan. Gaya Barat yang seringkali lebih mendominasi dengan penekanan pada kemewahan dan kesempurnaan, telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan modern Jepang. Namun demikian, Bigaku dan wabi-sabi tetap hidup dan dihargai dalam seni, budaya, serta kehidupan sehari-hari di Jepang. Konsep keindahan yang tidak sempurna ini menjadi semakin menarik untuk dibahas dalam masyarakat modern yang sering terobsesi dengan kesempurnaan fisik dan material. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep Bigaku dan wabi-sabi dalam berbagai aspek, termasuk seni, sastra, arsitektur, serta penerapannya dalam kehidupan modern, sambil mempertimbangkan tantangan yang muncul dari globalisasi dan modernisasi.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan dipengaruhi oleh globalisasi, cara pandang terhadap keindahan mengalami perubahan yang signifikan. Di Jepang, konsep estetika yang dikenal sebagai Bigaku, yang berakar pada penghargaan terhadap keindahan dalam bentuk yang sederhana dan tidak sempurna, tetap hidup dan dihargai. Salah satu inti dari Bigaku adalah filosofi wabi-sabi, yang menekankan keindahan dalam ketidaksempurnaan, kesementaraan, dan ketidakteraturan. Meskipun gaya Barat semakin mendominasi, nilai-nilai yang terkandung dalam Bigaku dan wabi-sabi tetap relevan, terutama dalam masyarakat modern yang sering terobsesi dengan kesempurnaan. Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi konsep Bigaku dan wabi-sabi, serta relevansinya dalam seni, budaya, dan kehidupan sehari-hari di Jepang.
sumber foto : pexels.com
A. Wabi-Sabi sebagai Inti dari Bigaku
ADVERTISEMENT
Wabi-sabi adalah konsep yang berasal dari tradisi Jepang yang mengajarkan bahwa keindahan dapat ditemukan dalam hal-hal yang sederhana, tua, rusak, atau tidak sempurna. Konsep ini mencerminkan pandangan bahwa segala sesuatu bersifat sementara dan bahwa keindahan sejati terletak pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan. Misalnya, dalam upacara minum teh, mangkuk teh yang retak masih digunakan, bukan hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai simbol penerimaan terhadap sejarah dan perjalanan hidupnya.
Seni keramik kintsugi adalah contoh nyata dari penerapan wabi-sabi. Dalam kintsugi, benda yang rusak diperbaiki dengan emas, menonjolkan keretakan dan memberikan nilai estetika baru pada objek tersebut. Proses ini tidak hanya memperbaiki benda, tetapi juga merayakan sejarah dan keunikan setiap kerusakan. Dengan demikian, wabi-sabi mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam hal-hal yang tidak sempurna dan menghargai perjalanan hidup yang telah dilalui.
ADVERTISEMENT
Wabi-sabi bukan sekadar konsep estetika, tetapi juga menyentuh filosofi hidup yang lebih dalam, yaitu menghargai kesederhanaan dan ketidakabadian. Bagi masyarakat Jepang, wabi-sabi mengandung nilai spiritual yang mengajarkan bahwa segala sesuatu tidak akan bertahan selamanya. Hal ini seringkali tercermin dalam cara mereka melihat dunia dan memahami keindahan alam serta kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam menghadapi tekanan modernitas dan kehidupan urban yang serba cepat, wabi-sabi dapat menjadi pelipur lara yang mengingatkan kita untuk memperlambat ritme hidup dan menerima kehidupan sebagaimana adanya, termasuk segala ketidaksempurnaan dan ketidakpastiannya.
B. Bigaku dalam Seni, Sastra, dan Arsitektur
Pengaruh Bigaku dapat dilihat dalam berbagai aspek seni tradisional Jepang, termasuk lukisan, ikebana (seni merangkai bunga), dan arsitektur. Dalam seni lukis, elemen ma, atau ruang kosong, dianggap sebagai bagian penting dari kecantikan. Ruang kosong ini memberikan kesempatan bagi penonton untuk merenung dan merasakan kehadiran elemen yang tidak terlihat, menciptakan pengalaman estetika yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Dalam sastra klasik Jepang, seperti haiku, sering kali terdapat penggabungan elemen-elemen alam yang sementara dan tidak sempurna. Haiku yang menggambarkan daun yang gugur atau hujan yang ringan mencerminkan keindahan dalam momen-momen sederhana dan transisi alami. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merasakan keindahan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan.
Arsitektur Jepang juga mencerminkan prinsip-prinsip Bigaku. Desain rumah tradisional Jepang, dengan penggunaan bahan alami dan perhatian terhadap detail, menciptakan ruang yang harmonis dengan alam. Elemen seperti tatami (karpet jerami) dan fusuma (pintu geser) menciptakan suasana yang tenang dan sederhana, memungkinkan penghuni untuk merasakan keindahan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Bigaku dan Kehidupan Modern
Meskipun ada pengaruh besar dari budaya Barat, konsep Bigaku masih relevan dalam kehidupan Jepang modern. Dalam desain modern, baik dalam fashion, interior, maupun produk-produk teknologi, prinsip minimalisme dan fungsi sederhana sering kali diadopsi. Desainer Jepang, seperti Issey Miyake dan Muji, mengintegrasikan elemen Bigaku dalam karya mereka, menciptakan produk yang tidak hanya estetis tetapi juga fungsional.
ADVERTISEMENT
Budaya populer Jepang, termasuk film dan anime, juga sering mengangkat tema keindahan yang tak sempurna dan perasaan nostalgia. Karya-karya ini mencerminkan nilai-nilai Bigaku, mengajak penonton untuk merenungkan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan perjalanan hidup. Misalnya, film "Spirited Away" karya Hayao Miyazaki menampilkan elemen-elemen yang mencerminkan wabi-sabi, seperti keindahan dalam perubahan dan transisi.
D. Kontradiksi dan Kritik terhadap Bigaku
Namun, perkembangan modernisasi dan urbanisasi juga membawa tantangan bagi nilai-nilai estetika tradisional. Banyak kalangan muda Jepang menganggap wabi-sabi kurang relevan di tengah kehidupan urban yang serba cepat dan canggih. Dalam masyarakat yang semakin terfokus pada kesuksesan dan pencapaian, nilai-nilai ketidaksempurnaan dan kesederhanaan sering kali terabaikan.
Perubahan ekonomi dan teknologi juga mempengaruhi hilangnya beberapa aspek estetika tradisional Jepang. Dengan meningkatnya produksi massal dan konsumsi cepat, banyak orang kehilangan koneksi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Bigaku. Namun, meskipun ada tantangan ini, masih ada upaya untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali nilaiNamun, perkembangan modernisasi dan urbanisasi juga membawa tantangan bagi nilai-nilai estetika tradisional. Banyak kalangan muda Jepang menganggap wabi-sabi kurang relevan di tengah kehidupan urban yang serba cepat dan canggih. Dalam masyarakat yang semakin terfokus pada kesuksesan dan pencapaian, nilai-nilai ketidaksempurnaan dan kesederhanaan sering kali terabaikan.
ADVERTISEMENT
Perubahan ekonomi dan teknologi juga mempengaruhi hilangnya beberapa aspek estetika tradisional Jepang. Dengan meningkatnya produksi massal dan konsumsi cepat, banyak orang kehilangan koneksi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Bigaku. Namun, meskipun ada tantangan ini, masih ada upaya untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut dalam konteks modern.
Kesimpulan
Bigaku tetap menjadi landasan penting dalam cara orang Jepang memandang dan menghargai keindahan, meskipun budaya dan gaya hidup modern terus berkembang. Konsep keindahan dalam ketidaksempurnaan, seperti yang terwujud dalam wabi-sabi, mengajarkan tentang penerimaan terhadap perubahan, kerusakan, dan transisi alami, yang justru memperkaya nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada tantangan dari budaya modern dan globalisasi, Bigaku masih relevan dan dapat berkontribusi pada cara orang di seluruh dunia melihat keindahan secara lebih mendalam dan bermakna.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami dan menghargai konsep Bigaku dan wabi-sabi, kita dapat belajar untuk menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan menghargai perjalanan hidup yang telah dilalui. Dalam dunia yang sering terobsesi dengan kesempurnaan, nilai-nilai ini menawarkan perspektif yang berharga dan mengingatkan kita akan pentingnya menerima dan merayakan keindahan dalam segala bentuknya.
Daftar Pustaka
Gibney, F. (Ed.). (1996). The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle Publishing.