Konten dari Pengguna

Apakah Perempuan Tidak Boleh Cantik untuk Ada di Posisi Teratas?

Daniel Chrisendo
European Contributor at Kumparan. Content Writer for Lampu Edison.
1 Maret 2020 16:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya suka mengikuti akun Instagram beberapa politikus muda Indonesia seperti Rian Ernest dan Tsamara Amany. Saya gemar menyaksikan mereka ketika mengomentari isu-isu yang sedang panas di Indonesia, mulai dari banjir Jakarta sampai RUU Ketahanan Keluarga. Cara berpikir dan cara mereka menyampaikan pendapat sangat seru untuk diikuti. Dalam hati saya berpikir, akhirnya sampai juga kita ke titik di mana menyaksikan politikus Indonesia berbicara tidak lagi seperti menyaksikan dagelan.
Tsamara Amany. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
Sambil menyaksikan IGTV mereka, kadang terbaca juga komentar-komentar dari para penggemar. Hampir semuanya mendukung. Rata-rata komentarnya adalah “keren”, “mantap”, dan lain sebagainya. Hanya saja ada satu komentar yang bikin saya gerah, namun sayangnya salah satu yang paling sering muncul, yaitu “cantik”.
ADVERTISEMENT
“Wah Tsamara ini, sudah cantik, pintar lagi”
Komentar “keren” dan “mantap” memang masih relevan dalam konteks ini. Tsamara menyampaikan pendapatnya dan para pemirsa menyetujui dengan kata-kata “keren” atau “mantap”. Tapi kalau “cantik”? Apa hubungannnya?
Apakah suatu hal yang tidak wajar kalau seseorang yang cantik itu menyampaikan pendapatnya? Sehingga kalau ada seseorang yang cantik dan pintar sekaligus, maka komentar “cantik” harus keluar? Apa kita harus jadi jelek untuk bisa jadi pintar?
Saya bayangkan kalau Tsamara ternyata jelek, pasti komentar tentang fisiknya tidak keluar, melainkan langsung ke argumennya.
Saya melakukan sedikit riset membandingkan antara politikus laki-laki dan perempuan. Ketika seorang politikus laki-laki yang tampan seperti Rian Ernest berpendapat, lebih sedikit yang mengomentari fisik Rian Ernest. Tidak banyak yang berkomentar “ganteng” di akun Rian Ernest.
ADVERTISEMENT
Tapi mengapa ketika perempuan yang berbicara, kita harus mengobjektifikasi mereka?
Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia profesional. Perempuan yang cantik dan feminin lebih sering diobjektifikasi dan diberikan "pujian" cantik, tapi sayangnya mereka juga kurang dianggap serius.
Lois Frankel seorang psikolog dari AS menulis buku Nice Girls Don’t Get the Corner Office (saya rekomendasikan buku ini). Dalam bukunya ia menuliskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan perempuan sehingga karir mereka tersabotase.
Apakah kesalahan-kesalahan tersebut?
Jika dirangkum, "kesalahan" yang mereka perbuat adalah sikap mereka yang “girly” atau seperti perempuan. Miris bukan? Perempuan yang seperti perempuan akan susah menanjaki karir. Perempuan yang ada di posisi tinggi banyak yang berambut pendek, memakai celana, bersikap “garang”, dan memiliki sifat-sifat maskulin lainnya. Ini adalah strategi perempuan untuk bisa dianggap serius. Bukankah seperti itu sosok Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani sehingga mereka lebih menonjol dari menteri-menteri perempuan lainnya pada kabinet Jokowi 2014-2019?
Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
Kalau mereka tidak berpenampilan seperti "laki-laki”, maka sulit untuk mereka dipandang secara profesional. Kecantikan tersebut menyamarkan kemampuan mereka yang sebenarnya bahwa mereka bisa juga menjadi pintar, tegas, berani, dan karakter-karakter yang dimiliki pemimpin lainnya.
ADVERTISEMENT
Mari kita nilai Tsamara Amany, atau politikus-politikus lainnya dari kemampuannya berpolitik, bukan dari parasnya. Di tempat kerja, saya juga berhenti mengomentari rekan kerja kalau mereka itu cantik atau tampan. Sederhana saja, karena itu tidak profesional dan tidak relevan.