Habibie sebagai Pelopor Diaspora Indonesia di Jerman

Daniel Chrisendo
European Contributor at Kumparan. Content Writer for Lampu Edison.
Konten dari Pengguna
13 September 2019 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelukan hangat Habibie. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
zoom-in-whitePerbesar
Pelukan hangat Habibie. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
ADVERTISEMENT
Habibie meninggal. Indonesia berduka. Saya sebenarnya tidak terlalu kenal dengan beliau. Maksudnya, bukan kenal secara langsung. Namun saya tidak pernah benar-benar mencari tahu tentang hidupnya atau karier politiknya.
ADVERTISEMENT
Waktu ia menjabat sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia, umur saya baru 9 tahun. Ia pun hanya menjabat kurang dari 1,5 tahun dan tidak dipilih secara demokratis.
Saya tidak pernah benar-benar merasakan keberadaannya saat itu. Meskipun saya tahu bahwa ia berkontribusi dalam membuat Indonesia menjadi seperti sekarang, lebih liberal dan demokratis.
Saya juga bukan orang yang terinspirasi dengan kisah cintanya kepada Ainun. Tidak pernah tersentuh dengan kata-katanya. Saya juga tidak pernah berfoto bersamanya yang bisa saya tunjukan via Facebook bahwa saya pernah bertemu dia seperti kebanyakan teman-teman saya di media sosial.
Tapi mungkin ada satu hal yang tidak kita sadari tentang dampak dari Habibie kepada orang-orang Indonesia. Habibie telah menginspirasi banyak orang untuk dapat bermimpi tinggi.
ADVERTISEMENT
Di umur 9 tahun, saya tidak tahu apa itu profesor. Tetapi Habibie adalah profesor pertama yang saya tahu dalam hidup saya. Menjabat sebagai presiden dan sebelumnya sebagai wakil presiden, foto Habibie tergantung di setiap ruang kelas di SD saya di Bekasi. Di bawah gambarnya tertulis Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie.
Kalau ditanya mau jadi apa? Jawabannya mau jadi profesor seperti Pak Habibie. Tanpa tahu kerjaan profesor itu seperti apa.
Habibie membukakan mata banyak orang bahwa ada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari sekadar sekolah dasar. Pendidikan sampai jenjang tertinggi dan berkualitas tidak eksklusif hanya bisa dinikmati masyarakat negara barat. Bangsa Indonesia juga mampu berkarya pada level internasional.
Habibie merupakan salah satu masyarakat Indonesia pertama yang datang dan bersekolah di Jerman. Pada 1952, orang Indonesia pertama datang untuk menempuh studi di bawah skema beasiswa. Sementara Habibie datang ke Jerman tiga tahun kemudian, pada 1955. Saat Indonesia sedang muda-mudanya, baru 10 tahun merdeka.
ADVERTISEMENT
Habibie kemudian menetap hingga 1973. Ia datang ke Jerman untuk menempuh pendidikan sampai jenjang doktor, kemudian dilanjutkan dengan berkarier pada perusahaan penerbangan.
Pergi ke Eropa saat itu tidaklah mudah. Mencari informasi tentang Jerman tidak sepraktis membuka Google apalagi menjadi pionir di negara tersebut. Perekonomian Habibie juga tidak bisa dibilang mudah pada saat itu. Ia harus membiayai studinya sendiri tanpa beasiswa.
Tapi contoh positif dan kesuksesan karier Habibie dan pionir-pionir lainnya telah membangkitan percaya diri masyarakat Indonesia yang sekarang menjadi diaspora di Jerman, termasuk saya sendiri. Juga bagi mereka yang sudah pulang untuk membangun bangsa.
Pada tahun 1970-an, mahasiswa Indonesia merupakan mahasiswa terbanyak nomor dua di Jerman setelah Turki. Terinspirasi oleh Habibie, orang-orang pergi ke Jerman untuk menjadi insinyur. Tak sedikit pula yang belajar matematika, hukum, ekonomi, ilmu-ilmu sosial, kedokteran, pertanian, dan literatur.
ADVERTISEMENT
Kerja sama Indonesia-Jerman pun semakin terbuka luas. Pada 1973, ribuan orang Indonesia bermigrasi ke Jerman untuk bekerja sebagai perawat. Perdagangan tembakau antara Eropa dan Indonesia juga berpusat di Jerman.
Pada 1959, German-Indonesia Tobacco Society dibuka, didirikan di Hamburg. Para profesional Indonesia dalam industri ini masih terus berdatangan sampai sekarang ke Jerman untuk tinggal sampai beberapa bulan.
Pada 1998, sejumlah profesional Indonesia di bidang penerbangan datang untuk bekerja pada Airbus di Bayern. Kebanyakan dari mereka datang dari Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Organisasi-organisasi profesional lain untuk warga Indonesia di Jerman juga dibentuk. Ada German-Indonesian Specialist and Academician Association (IASI) yang berbasis di Hamburg dan didirkan pada 1972.
IASI bertujuan untuk meningkatkan perekonomian antara kedua negara dan sumber daya manusia bagi pembanguan Indonesia. Kelompok lainnya bernama Association of Indonesian Professionals for Science, Technology and Enterprise (AIPSE) yang memiliki tujuan yang sama.
ADVERTISEMENT
Sementara Bildung und Gesundheit für Indonesien e.V (BUGI) bertujuan untuk meningkatkan sektor pendidikan dan kesehatan di Indonesia. Begitu juga Indonesian Doctors Community in Germany yang beranggotakan para dokter yang ingin membangun Indonesia dalam bidang kesehatan. Dan masih banyak kelompok-kelompok profesional Indonesia lainnya di Jerman.
Saat ini ada sekitar 20.000 warga Indonesia yang sedang berjuang di Jerman. Dan mungkin kebanyakan dari mereka ingin jadi seperti Habibie.
Bagi kami yang tinggal di Jerman, Habibie adalah pengingat bahwa kita bisa menjadi bangsa yang maju, menjadi bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa lain. Ia menjadi motivasi untuk terus berjuang hidup di negara yang menantang ini, mulai dari perbedaan budaya, disiplin kerja, makanan, jauh dari keluarga, faktor keuangan, sampai cuaca.
ADVERTISEMENT
Terima kasih, Habibie.