Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Siapkah Indonesia Mengakui Gender Ketiga?
20 Maret 2021 18:28 WIB
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aprilia Manganang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Indonesia. Keseruan cerita Manganang memang berlapis-lapis. Mulai dari sosoknya yang sekarang menjadi tampan dan maskulin, keanggotaannya di TNI yang dikenal sebagai profesi macho, pergantian namanya, dan keterlibatannya sebagai atlet voli putri dalam berbagai perlombaan. Namun yang paling seru tentu saja perubahan jenis kelaminnya dari perempuan menjadi laki-laki.
Hebat ya Manganang ini. Mungkin kalau saya jadi dia tidak akan tahan. Tidak kuat rasanya jenis kelamin saya diperbincangkan dan jadi berita viral.
ADVERTISEMENT
Manganang disebut-sebut menderita hipospadia pada saat lahir yaitu variasi perkembangan penis di mana uretra (saluran yang membawa urin) tidak membuka di tempat yang biasanya, yaitu di ujung kepala penis. Kasus hipospadia tidak begitu jarang. Rata-rata kejadiannya kira-kira satu dari 250 bayi laki-laki.
Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 10 persen kasus hipospadia berhubungan dengan interseks, di mana seseorang lahir dengan variasi kromosom, kelenjar kelamin, hormon, dan alat kelamin yang tidak sesuai dengan definisi tipikal tubuh perempuan atau laki-laki. Meskipun ada kemungkinan hipospadia adalah tanda-tanda interseks, tidak semua hipospadia adalah interseks. Begitu juga sebaliknya, tidak semua interseks adalah hipospadia. Jadi saya harus tekankan kalau saya tidak bilang bahwa Manganang adalah interseks. Saya bukan dokter dan saya tidak pernah bertemu langsung dengan orangnya.
ADVERTISEMENT
Umumnya interseks dapat diketahui sejak lahir karena alat kelamin bayi yang ambigu. Lalu apa yang terjadi jika seseorang mengalami interseks? Biasanya satu jenis kelamin akan dipilihkan untuk sang bayi. Pilihannya jelas cuma dua, laki-laki dan perempuan. Dan yang lebih sering, bayi akan dijadikan perempuan karena “membuat” alat kelamin perempuan lebih mudah (melibatkan mutilasi alat kelamin) daripada “membuat” alat kelamin laki-laki. Kira-kira mirip dengan kasusnya Manganang ini. Saya tidak tahu Manganang dimutilasi atau tidak. Tapi pihak-pihak yang menangani Manganang saat ia lahir memilihkan jenis kelamin perempuan untuk Manganang.
Tapi bagaimana jika bayi tersebut bukan perempuan atau laki-laki, melainkan memang interseks? Seseorang menjadi interseks bukan karena keinginannya atau pengaruh sosial, tapi memang ada sains di baliknya yang melibatkan kromosom, hormon, kelenjar, dan alat kelamin. Tidak tanggung-tanggung, dilaporkan ada 1,7 persen bayi yang lahir sebagai interseks di dunia ini . Jika diproyeksikan ke Indonesia, artinya ada 4,6 juta penduduk Indonesia yang merupakan interseks. Angka yang besar bukan? Bagaimana kita memfasilitasi orang-orang tersebut? Apakah kita akan terus-terusan memaksa mereka untuk menjadi perempuan atau laki-laki dan menyalahi karakter biologis mereka?
ADVERTISEMENT
Beberapa negara sudah ada yang mengakui gender ketiga ini. Bukan hanya secara de facto, tapi juga secara hukum. Di Australia, Selandia Baru, Jerman, Denmark, Kanada, India, Portugal, dan beberapa negara bagian di AS, gender ketiga merupakan opsi ketika mengisi kolom pertanyaan tentang jenis kelamin. Artinya seseorang dapat memilih laki-laki, perempuan, atau gender yang lain untuk mengidentifikasi dirinya. Hak-hak orang yang interseks tersebutpun juga sama dan dilindungi secara hukum. Diskriminasi terhadap mereka dalam kehidupan bermasyarakat merupakan pelanggaran hukum.
Rasanya isu interseks masih jauh ya untuk bisa dibahas secara terbuka di Indonesia? PR untuk memberantas diskriminasi berdasarkan ras, agama, dan antara laki-laki dan perempuan saja masih belum selesai.