Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
New UU BUMN : Melemahkan Kinerja BUMN dan Melanggengkan Budaya Korupsi
12 Mei 2025 13:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Daniel NP Tampubolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Peristiwa pengesahan revisi Undang-undang BUMN menjadi undang-undang yang sah menarik perhatian publik. Pada tanggal 4 Februari 2025, lagi dan lagi DPR RI mempertontonkan ketidakberpihakan rakyat dengan mengesahkan perubahan ketiga Undang-undang BUMN. DPR RI juga memperlihatkan pengkhianatan terhadap semangat anti-korupsi yang secara terus menurus dikumandangkan rakyat.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang yang Inkonstitusional
Proses pengesahan Undang-Undang BUMN Nomor 1 tahun 2025 mengalami cacat formil secara prosedural. Hampir di setiap prosedural nihilnya partisipasi publik yang menimbulkan tidak adanya transparansi. Faktanya bahwa RUU BUMN tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahunan dan tidak masuk dalam carry over dari pembahasan sebelumnya, hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan justifikasi penyusunannya. Penyusunan RUU yang di luar Prolegnas seharusnya memenuhi kriteria tertentu, seperti keadaan darurat atau kebijakan strategis nasional, yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh pembentuk UU.
Sebagaimana pada pasal 88 ayat 1 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatakan bahwa “Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga pengundangan Undang-Undang” dan diperjelas di ayat 2 yang mengatakan “Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.” Artinya bahwa kewajiban ini melekat pada setiap tahapan untuk memastikan partisipasi publik itu nyata adanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada pasal 96 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa masyarakat berhak secara sah memberikan masukan melalui tulisan dan/atau lisan dalam setiap proses pembentukan undang-undang. Pada ayat 4 dari pasal tersebut juga mewajibkan untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses naskah akademik atau draft rancangan undang-undangnya. Namun, nyatanya transparansi pembahasan RUU BUMN tidak dipublikasikan kepada publik terkait naskah akademik dan draft RUU, sehingga menghambat akses publik dalam memberikan masukan. Jika RUU BUMN diproses dalam waktu yang singkat tanpa adanya diskusi, bakalan ada risiko legislasi yang bersifat reaktif dan tidak berbasis pada kebutuhan jangka panjang. Proses Legislasi yang terburu-buru kerap kali menghasilkan regulasi yang berpotensi menimbulkan api permasalahan di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Pembuka Jalan bagi Koruptor
Hal selanjutnya yang menjadi inti tulisan ini ialah terdapat klausa-klausa di dalam undang-undang baru yang memungkin koruptor menggerut keuntungan sebesar-besarnya. Menurut catatan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 212 kasus korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara yang sudah ditindak aparat penegak hukum dan negara telah rugi setidaknya sekitar Rp 64 trilliun. Namun, lagi dan lagi DPR tidak menunjukkan adanya semangat anti-korupsi dengan mengesahkan undang-undang baru ini.
Terdapat beberapa hal yang krusial dalam tubuh Undang-Undang nomor 1 tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU BUMN. Pertama, pada pasal 9G Undang-Undang nomor 1 tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU BUMN menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Hal ini memantik keresahan masyarakat terkait berkurangnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memproses kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat BUMN. Hal ini didasarkan dalam pasal 11 ayat 1 Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019 yang mengatakan bahwa KPK hanya dapat menangani perkara korupsi yang menyangkut aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Kedua, pada pasal 71 ayat 2 Undang-Undang nomor 19 tahun 200, Undang-Undang BUMN yang lama, mengatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, pasca revisi UU BUMN yang baru, BPK sekarang hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) itupun ada permintaan alat kelengkapan DPR yang membidangi BUMN. Hal ini sangat jelas membuka potensi peluang untuk mempolitisasi terhadap fungsi pengawasan keuangan. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang selama ini dilakukan untuk keperluan demi membantu mengungkap adanya indikasi kerugian negara atau adanya dugaan korupsi, namun sekarang terlebih dahulu harus meminta izin dari oknum kekuasan politik yang secara tidak langsung demi kepintangan politik dan menghalangi fungsi pengawasan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pada pasal 4B yang menyatakan bahwa “Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN”. Artinya bahwa kerugian yang terjadi bukan merupakan kerugian negara dan hal ini tentu akan melemahkan fungsi BPK untuk mengaudit keuangan BUMN. Merujuk pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) kerugian negara/daerah merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan jumlahnya pasti yang disebabkan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan sengaja maupun atas dasar kelalaian. Dalam UU BUMN 2003 (UU Nomor 19 Tahun 2003), seluruh atau sebagian modal pada BUMN dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan hal tersebut, kekayaan BUMN yang meliputi keuangan negara di dalamnya dan setiap kerugian BUMN sering dikaitkan dengan kerugian keuangan negara. Selain itu, jajaran direksi dan komisaris BUMN termasuk sebagai penyelenggara negara sebagaimana diatur Pasal 2 angka 7 Undang-Undang 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU No. 28/1999). Hal inilah yang dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan tindak pidana korupsi bagi pengurus pada BUMN atas perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini kerugian pada BUMN melalui penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disebutkan diatas, penuntutan terhadap kerugian negara pada BUMN menggunakan Pasal 2 ataupun Pasal 3 UU PTPK karena dalam dua ketentuan pidana tersebut terdapat unsur “merugikan keuangan negara”. Cepat atau lambat, kehadiran Pasal 4B UU BUMN akan menjadi perdebatan antara aparat penegak hukum serta pengurus BUMN dalam hal terdapat temuan atau laporan pengaduan terkait kerugian yang dialami BUMN.
Kesimpulan
Berdasarkan analisa-analisa di atas, tampak jelas bahwa munculnya undang-undang baru ini bukan untuk memantapkan kepastian hukum bagi masyarakat, bukan untuk mempatenkan partisipasi masyarakat dalam membentuk undang-undang di negaranya sendiri. Oleh karena itu, seharusnya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan transparansi ke publik itu harus dilakukan. Dengan tujuan, untuk menjamin kepastian hukum dan membangun kepercayaan masyarakat akan kedaulatan rakyat sebagaimana yang di amanatkan dalam konstitusi negara Indonesia. Bagi masyarakat juga harus dapat memiliki rasa jiwa ingin tahu, memaknai meaningful participation, dan kritis terhadap apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Hal ini didasarkan pada Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393), MK mengartikan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Oleh karena itu, masyarakat sudah diberikan hak yang sah dalam memberikan partisipasi membentuk peraturan perundang-undangan dan hak untuk mengetahui apa yang dimuat dalam perancangan perundang-undangan tersebut.
ADVERTISEMENT