Campur Aduk Melihat Karier Sebastian Vettel

Daniel Setiawan
Views are my own.
Konten dari Pengguna
31 Juli 2022 18:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebastian Vettel (Foto: F1 Chronicle)
zoom-in-whitePerbesar
Sebastian Vettel (Foto: F1 Chronicle)
ADVERTISEMENT
Campur aduk, mungkin adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan opini dan perasaan saya ketika menyaksikan Vettel di sepanjang kariernya mentas di Formula 1, pun ketika ia memutuskan untuk pensiun.
ADVERTISEMENT
Pertama kali saya menyaksikan sosok Vettel mengaspal di lintasan F1 yakni pada 2008. Saat itu Vettel baru menjalani musim debut full race perdananya bersama Toro Rosso-Ferrari.
Sebenarnya secara keseluruhan musim 2008 bukan musim yang sangat impresif untuk seorang Vettel. Ia mengawali empat balapan perdana dengan gagal finis, dan total pada musim tersebut ia mencatatkan enam kali DNF.
Namun, balapan di Monza, Italia, pada 14 September 2008 menurut saya adalah awal dari segalanya untuk pembalap asal Jerman tersebut. Saya sendiri saat itu menyaksikan race-nya dari layar kaca, dan membatin “Wow, ini pembalap bakal sering menang race mungkin ke depannya”.
Sebastian Vettel di Monza 2008 (Foto: Getty/Red Bull)
Saat itu Monza sepanjang weekend diselimuti cuaca hujan. Vettel jelas bukan yang diperhitungkan untuk berbicara banyak saat itu, mengingat masih ada sosok-sosok seperti Jarno Trulli dan Jenson Button yang terkenal lihai menari-nari di atas trek basah.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang merasuki Vettel saat itu, ia melesat dan berhasil merebut pole position di sesi kualifikasi. Pada sesi balapan, Seb - sapaan akrabnya - tak terkalahkan dan sukses menjadi juara. Kemenangan pertamanya di ajang Formula 1.
Ketika ada pembalap dari tim non-unggulan berhasil menjadi juara, biasanya ada tendensi untuk dirayakan oleh semua fans, tak peduli tim mana yang didukung. Pun dengan saya saat itu yang merupakan tifosi Ferrari, merasa senang bisa melihat pembalap berusia 21 tahun itu jingkrak-jingkrak di atas podium sembari menyemprotkan sampanye.
Setelah itu seperti yang sudah diduga, Vettel bergabung ke Red Bull Racing. Sejujurnya saja, sebagai fans Kuda Jingkrak, menyaksikan Vettel menapaki kejayaan selama empat tahun beruntun (2010-2013) begitu menjengkelkan.
Sebastian Vettel bersama Red Bull Racing (Foto: Getty Images)
Menjengkelkan bukan karena sosok Vettel dan sifatnya, tetapi lebih karena kemampuannya sebagai pembalap yang begitu luar biasa saat itu. Ditambah, Ferrari yang saat itu gacoannya Fernando Alonso, selalu mendapati sial dan ujung-ujungnya dijegal oleh Vettel.
ADVERTISEMENT
Lihat saja musim 2010 dan 2012, di mana Vettel dan Alonso gontok-gontokan sepanjang musim demi mendapatkan juara dunia. 2010 mungkin yang paling menyakitkan untuk para fans Ferrari.
Selepas melewati masa jayanya bersama Red Bull, Vettel akhirnya berlabuh ke Ferrari pada 2015. Saat itu saya begitu semringah ketika Vettel akhirnya memilih Ferrari. Membayangkannya saja saat itu bikin merinding, Ferrari + Vettel: juara dunia.
Ekspektasi tinggi? Jelas. Dia datang pada saat Ferrari masih punya daya saing. Meski pada akhirnya terus menurun dari tahun ke tahun. Kemenangannya di Malaysia, di race kedua bersama Ferrari, semakin meyakinkan semua bahwa ini dia the missing piece from the puzzle untuk Ferrari mengakhiri puasa gelar juara dunia yang terakhir diraih Kimi Raikkonen pada 2007.
ADVERTISEMENT
Namun, mungkin ada satu hal yang saya dan para fans Ferrari luput: saat itu Vettel punya kondisi yang sama dengan Ferrari yakni bisa bersaing di papan atas, tapi tak punya cukup kekuatan untuk jadi juara dunia.
Ferrari punya mesin yang reliable, dan bisa bersaing dengan Mercedes. Vettel, punya segudang pengalaman, dan mampu head-to-head dengan Lewis Hamilton di lintasan. Namun, Ferrari punya strategi yang acap kali blunder dan merugikan tim, sementara Vettel melakukan banyak kesalahan akibat ketidak tenangannya di trek, terutama saat berada di situasi sengit. Insiden Hockenheim 2018, dan Kanada 2019 jadi dua bukti paling gamblang.
Insiden di Hockenheim 2018 (Foto: Sky Sports)
Mengutip Sky Sports, juara dunia F1 Nico Rosberg, bahkan menilai blunder Vettel di Hockenheim merupakan momen terburuk sepanjang karier Vettel.
ADVERTISEMENT
"Dia tampil di depan pendukung sendiri, punya kans untuk melebarkan jarak poin dengan Hamilton, dan dia membuang peluang itu begitu saja," kata Rosberg.
Bisa jadi periode Vettel bersama Ferrari selama enam musim merupakan yang paling mengacak-acak emosi. Lebih dari itu, buat saya kegagalannya mendapatkan juara dunia ketika ia berada di Ferrari merupakan sebuah hal yang sangat disayangkan.
Jelang akhir kariernya bersama Ferrari, sejujurnya saya jadi salah satu yang banyak mencemooh performanya yang semakin anjlok. Di saat bersamaan saat itu memang Ferrari pun semakin bapuk, in terms of strategi dan juga kemampuan mobil untuk bersaing. Dua-duanya problematik, dan memang tidak ada yang harus dilanjutkan. Vettel move on ke Aston Martin dan itu pilihan tepat. Ia butuh melakukan itu untuk “cooling down” dari segala beban yang ia pikul nyaris sendirian selama di Ferrari.
Sebastian Vettel bersama Aston Martin (Foto: IMAGO / ZUMA Wire)
Sampai ketika pada akhirnya ia memutuskan pensiun beberapa hari lalu. Segala ingatan tentang Vettel dari mulai Monza hingga masa-masa dirinya berseragam Ferrari bergulir di benak saya. Vettel memang tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti, menyelesaikan semuanya, meninggalkan segalanya di belakang.
ADVERTISEMENT
Empat gelar juara dunia memang menempatkannya sejajar dengan nama besar lain di F1, namun empat gelar tidak cukup untuk menggambarkan seorang Vettel, mengingat banyaknya momen "nyaris menang" yang ia dapati, khususnya ketika ia berada di Ferrari.
He deserves more laps, but it’s already a checkered flag.
Grazie Seb.