Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Monumen Soekarno-Hatta di PIK 2: Bung Hatta Seharusnya Menangis
12 Agustus 2024 16:48 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Daniel Winarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika melewati jalan-jalan beraspal di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), saya melewati sebuah bundaran dengan patung yang menggambarkan dua orang sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ternyata mereka adalah Soekarno dan Hatta, dua proklamator kemerdekaan Indonesia. Patung ini bernama Monumen Soekarno-Hatta, patung yang didirikan setinggi 17 meter berwujud Soekarno dan Hatta tengah tersenyum. Bagi saya, Hatta seharusnya tidak digambarkan tersenyum, Bung Hatta seharusnya menangis. Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Dua hari setelah pengumuman pemenang Pemilihan Umum Presiden oleh Mahkamah Konstitusi, PIK 2 diumumkan menjadi salah satu dari 14 Proyek Strategis Nasional disetujui Presiden Jokowi. PSN sebetulnya dimaksudkan untuk proyek yang sifatnya strategis yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berkelit bahwa dimasukkannya PIK 2 menjadi PSN bukan merupakan balas budi politik, melainkan karena bertujuan mendukung sektor pariwisata hijau di pesisir kawasan wisata mangrove dan fasilitas hiburan. Dengan status sebagai PSN, pembangunan di PIK 2 akan mendapat keuntungan berupa berbagai fasilitas kemudahan.
PIK 2 adalah program penggusuran rakyat yang terbesar di Indonesia, bahkan bisa jadi terbesar di dunia. Setidaknya itu yang disampaikan Said Didu ketika menyampaikan kritiknya terhadap hal tersebut. Lokasi pembangunan PIK 2 ini begitu luas, meliputi sembilan kecamatan, Kosambi, Teluknaga, Pakuhaji, Sukajadi, Mauk, Sukadiri, Kemiri, Kronjo, Mekarjaya, Tanara. Menurut perkiraan Said Didu, pengembang PIK 2 berpotensi mengusir lebih dari satu juta nyawa.
ADVERTISEMENT
Di balik megahnya bangunan yang ada di PIK 2, ada ekses negatif yang meliputi warga sekitarnya. Layaknya pembangunan yang dilakukan di rezim Jokowi, pembangunan infrastruktur fisik sering kali mengabaikan hak-hak warga sekitar. Dari Kecamatan Kosambi sampai Kronjo, ekses pembangunan terasa nyata bagi masyarakat. Tembok-tembok tinggi yang berdiri kokoh memperlihatkan segregasi sosial. Beton-beton memilar kokoh membelah pemukiman warga demi berdirinya jalan tol. Truk-truk melintasi jalanan kampung membuat jalan-jalan berdebu dan berlubang.
Bagi Hatta, kemerdekaan bagi rakyat Indonesia itu bertujuan agar rakyat menjadi tuan di negeri sendiri, agar rakyat menikmati kemerdekaan. Hal itu dapat terlaksana bila pemerintah bisa mengelola dan mengatur kekayaan untuk bisa dinikmati bagi rakyat. Hal ini dikenal dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi rakyat bertumpu pada rakyat, bukan pemodal. Artinya, rakyat turut berperan dalam pembangunan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya Demokrasi Kita, Hatta juga menggagas mengenai koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi. Gagasan koperasi miliki Hatta sebetulnya berinti pada rasa gotong-royong antar sesama anggota. Dalam gagasan ini, no one left behind. Tidak ada yang ditinggalkan. Jadi, yang lemah itulah justru yang harus dibantu dan dibimbing supaya menjadi lebih berdaya. Bukan hanya demokrasi dalam konteks politik, tapi koperasi berarti demokrasi ekonomi. Jadi pembangunan ekonomi sebetulnya harus berdasarkan kedaulatan rakyat dalam rangka memenuhi seluruh hak-hak sosial rakyat.
Tidak dipenuhinya hak-hak sosial warga masyarakat di sekitaran pembangunan PIK 2 adalah tanda dari gagalnya negara melaksanakan demokrasi ekonomi. Mereka yang lemah dan miskin justru digusur dan disingkirkan serta tidak dilibatkan sama sekali dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap tempat tinggal mereka.
ADVERTISEMENT
Demokrasi bagi Hatta, bukan hanya bertumpu pada persamaan politik, melainkan harus ada pula persamaan dalam perekonomian. Jadi, demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan nilai kesetaraan dan persaudaraan. Kedaulatan rakyat tidak boleh sebatas apa yang dikemukakan di Barat, yaitu kedaulatan yang bersifat individualisme, melainkan kedaulatan yang bercorak kolektivisme, sebagaimana roh gotong-royong dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Corak kolektivisme ini yang tidak hadir dalam pembangunan PIK 2.
Tak hanya itu, dugaan praktik intimidasi dalam pembelian lahan di PIK 2 juga mencuat. Ada beberapa warga yang tidak ingin menjual lahannya kepada PIK 2. Lalu, tiba-tiba warga tersebut dibuat seolah-olah memiliki “masalah hukum” terhadap tanahnya tersebut. Aparat penegak hukum pun terlibat, warga tersebut dibawa ke kantor polisi dan “dipaksa” untuk menjual tanahnya. Hal-hal semacam ini sebetulnya menjadi praktik negatif yang biasa dilakukan oleh oknum-oknum pengusaha dalam banyak kasus penggusuran paksa yang terjadi di Proyek Strategis Nasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengembang juga diduga mengerahkan preman dan ormas (organisasi kemasyarakatan) untuk “menekan” warga agar segera menjual tanahnya, bahkan mengancam dengan alasan bahwa akan segera dibangun pagar sehingga warga yang tidak menjual tanahnya tidak akan bisa bergerak. Lahan-lahan yang sebagian adalah sawah yang subur, ditawarkan seharga Rp 50 ribu per meter. Sangat jauh dari harga pasar yang dapat mencapai sepuluh kali lipat.
Indikasi yang lebih aneh, harga NJOP tiba-tiba turun saat tanah hendak ditawar oleh pengembang. NJOP di Kronjo misalnya, sempat naik menjadi Rp 103 ribu per meter di 2023, namun tiba-tiba turun menjadi Rp 48 ribu per meter atas permintaan Asosiasi Pemerintah Desa kepada Pemkab Tangerang karena dinilai berdampak pada kenaikan PBB. Meski harga NJOP bukan menjadi penentu harga tanah, namun penurunan harga NJOP ini disinyalir merupakan “akal-akal” dari pengembang yang bekerja sama dengan organisasi tertentu untuk menurunkan daya tawar warga terhadap tanahnya.
ADVERTISEMENT
Pembangunan beton-beton pembatas juga menyebabkan kerugian yang amat besar pada warga. Desa Tanjung Burung misalnya, ketika hujan deras pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Cisadane menyebabkan ribuan warga terkena banjir. Pembangunan kawasan PIK 2 menyebabkan daerah aliran sungai rusak, apa lagi hutan mangrove sebagai perisai alami juga terkikis. Seluruh kawasan Desa Tanjung Burung terkena banjir dengan paling tinggi satu meter. Hal ini tidak berlaku untuk kawasan PIK 2 karena sekat beton setinggi empat meter membatasi perumahan mewah ini dengan pemukiman warga.
Bagi Hatta, tanah adalah faktor penting bagi terselenggaranya demokrasi ekonomi, yang membuat demokrasi tidak bisa dilenyapkan oleh feodalisme. Pemikiran Hatta ini begitu dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai bagaimana jalannya demokrasi di desa-desa sebelum kemerdekaan Indonesia. Demokrasi telah dilaksanakan di desa-desa. Meskipun dalam sistem yang feodal yang mana berbagai hal dikuasai oleh raja, kehidupan demokrasi dalam desa-desa tetap berlangsung dan tumbuh. Bagi Hatta, salah satu faktor penting yang menyebabkan demokrasi tetap berlangsung adalah kepemilikan masyarakat terhadap tanah sebagai faktor produksi yang paling penting. Tanah adalah milik rakyat, bukan raja, bukan penguasa. Hatta bahkan dengan keras mengatakan: “Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya.” Kebersamaan kepemilikan tanah dalam masyarakat ini lah yang menyebabkan demokrasi desa tidak dapat dilenyapkan oleh kekuasaan yang sifatnya feodal.
ADVERTISEMENT
Pembangunan PIK 2 adalah bukti nyata tidak adanya demokrasi ekonomi di Indonesia
Ketika tanah, yang bagi Hatta adalah faktor produksi yang dapat melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa, dirampas begitu saja dengan cara-cara yang tidak adil. Bila Hatta masih hidup, ia pasti meringis. Apa lagi, bagaimana pembangunan tersebut merusak alam dan menyebabkan bencana bagi masyarakat sekitarnya. Negara kita semakin jauh dari demokrasi ekonomi.
Pembangunan PIK 2 adalah bentuk nyata ketiadaan demokrasi ekonomi. Ketidaksetaraan akses terhadap ekonomi menyebabkan ruang-ruang dialog yang setara dan adil antara pengembang dengan warga tidak mungkin terjadi. Maka, harusnya Pemerintah bisa hadir dan menjadi penengah. Tapi, pemerintah kemana?
Masyarakat nyatanya tidak bisa apa-apa selain menerima. Seharusnya, sudah menjadi tugas pemerintah untuk bisa melakukan penjaminan terhadap terpenuhinya hak-hak sosial masyarakat. Apa lagi bila bicara soal distribusi penguasaan lahan yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Namun, pemerintah bisa apa?
ADVERTISEMENT