Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Negara Hukum Hancur Tak Bersisa, Fakultas Hukum Turut Berdosa
29 Oktober 2024 8:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Daniel Winarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah refleksi 100 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tepat 28 Oktober 2024, Pendidikan Tinggi Hukum menginjak usianya yang seabad, seratus tahun. Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dimulai sejak pendirian Sekolah Tinggi Hukum (Rechthogeschool) pada 28 Oktober 1924, 4 tahun sebelum Kongres Pemuda II dan 100 tahun yang lalu. Sekolah Tinggi Hukum ini lah yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dengan berusia 100 tahun, harusnya pendidikan tinggi hukum kita sudah cukup mapan.
Sayangnya, di awal tahun ini, kita melihat dengan jelas bagaimana hukum dipermainkan penguasa guna melancarkan kekuasaan serta bagaimana para ahli hukum dijadikan stempel untuk melegitimasi kekuasaan. Episode-episode sengketa Pemilu dan bagaimana hukum digunakan oleh para ahlinya untuk menjauhi keadilan menjadi catatan penting dalam memori kita.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan penangkapan seorang advokat dan tiga orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya akibat kasus suap. Ketiga hakim tersebut adalah hakim yang memberikan putusan bebas kepada Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan yang merupakan anak dari mantan anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa, Edward Tannur. Ketiga hakim diduga kuat mendapatkan suap sebanyak Rp 20 miliar.
Yang jelas, negara hukum kita hancur tak tersisa.
Bila hukum yang ada (proses atau pun produknya) sering kali terbukti gagal menghadirkan keadilan dan berbagai peristiwa di atas semakin menunjukkan runtuhnya negara hukum kita, sebaiknya kita berfleksi: Mengapa pendidikan tinggi hukum kita yang berusia 100 tahun masih gagal berkontribusi baik dalam mewujudkan cita negara hukum?
ADVERTISEMENT
Menurut Wignjosoebroto dalam tulisannya “Perkembangan hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia pada Era Pascakolonial, Pendidikan hukum seharusnya dimaksud untuk melatih dan menyiapkan ahli hukum yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem hukum yang ada sebagaimana mestinya di tengah konteks sosiokultural.
Melihat kesejarahannya, pendidikan hukum memang tidak pernah terlepas dari konteks politik. Sebagai negara kolonial, tidak terpenuhinya kebutuhan Pemerintah Belanda terhadap pejabat peradilan melalui Opleidingsschhool voor Inlandsche Rechtskundingen (OSVIR) atau sekolah menengah kejuruan bagi ahli hukum menyebabkan didirikannya Rechtshoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum. Jadi, dibutuhkan ahli hukum “pribumi” untuk mengisi kebutuhan sumber daya manusia untuk pengadilan di Hindia Belanda. Maka tak heran sebetulnya bila kita menganggap para ahli hukum di zaman kolonial dapat saja menjadi suatu batu sandungan bagi perjuangan politik rakyat merebut kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman dahulu, ahli hukum sering kali berubah menjadi momok yang menindas. Hal ini diucapkan oleh Soekarno dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Soekarno pernah mengutip seorang aktivis buruh asal Jerman, “met juristen kan men geen revolutie maken!”, artinya “kita tidak bisa revolusi dengan para ahli hukum”. Hal ini merujuk pada banyaknya ahli hukum yang pada masa itu sering kali terlalu positivis dan menganggap hukum seolah-olah berada dalam ruang hampa sehingga tidak peka terhadap ketidakadilan yang dilembagakan oleh hukum. Para ahli hukum semacam ini hanya terpaku pada hukum positif. Hukum positif berasal dari kata “positus” alias ditempatkan/diletakkan. Hal ini merujuk pada Argumen Hobbes bahwa hukum adalah apa yang ditempatkan/diletakkan oleh penguasa yang berdaulat (sovereign). Hal ini identik dengan aliran Legisme, yang berpendapat tegas bahwa hukum itu identik dengan produk penguasa, alias undang-undang. Hal ini juga didukung oleh aliran Legal-Formalism, yang menyatakan bahwa hukum sebagai suatu perangkat aturan dapat secara merdeka secara prinsip, bebas, dan tidak terpengaruh dari pengaruh aspek-aspek dan struktur nonhukum (sosial, budaya, politik, dan lainnya).
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ciri ini terbawa dalam tradisi sekolah tinggi hukum hingga saat ini. Fakultas hukum masa kini tanpa disadari menciptakan sarjana hukum-sarjana hukum “robot” yang positivis dan tidak peduli terhadap keadilan. Sebagaimana terjadi pada kebanyakan Fakultas Hukum masa kini, kegiatan utama yang dilakukan adalah mengkaji peraturan perundang-undangan. Buku-buku Kitab Undang-Undang tebal menjadi makanan sehari-hari. Membaca pasal demi pasal pada KUHP, KUHPer, UU Perkawinan, UU Perseroan Terbatas, UU Ketenagakerjaan, dan berbagai UU lainnya yang menjadi kajian utama pada Fakultas Hukum. Tentunya kegiatan tersebut bukan hal yang salah. Namun, ketika sarjana hukum hanya menjadi penghafal undang-undang dan menganggap kebenaran hanya ditentukan melalui tulisan-tulisan pada suatu undang-undang dan tidak melihat realitas yang ada, maka lebih baik berganti nama menjadi Fakultas Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Padahal, hal yang perlu disadari adalah bahwa hukum yang ditetapkan oleh penguasa, alias peraturan perundang-undangan, adalah produk yang tidak terbebas dari bias. Proses politik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dianggap berada pada ruang hampa. Artinya, peraturan perundang-undangan itu tidak terbebas dari sesat-pikir, budaya, sejarah, aspek politik praktis, serta kepentingan dari pembuatan undang-undang. Hukum itu tidak bebas nilai. Apa lagi, bila berbicara soal penafsiran hukum, tidak bisa dilepaskan dari unsur otoritas (kekuasaan).
Dengan mempelajari undang-undang, Fakultas Hukum membuai orang dengan menyatakan diri seolah-olah selalu dilekatkan dengan keteraturan, kepastian, dan keadilan. Padahal, “keteraturan”, “kepastian”, dan “keadilan” tersebut adalah interpretasi dari Penguasa. Maka, undang-undang tidak merefleksikan keadaan yang senyatanya, melainkan apa yang “seharusnya” menurut penguasa. Oleh karena itu, Fakultas Hukum seharusnya punya pekerjaan besar untuk melakukan dekonstruksi terhadap hukum, terutama argumen mengenai objektivitas dan netralitas hukum. Hukum yang selama ini dipandang sebagai suatu hal yang netral, perlu kita lihat sebagai tidak netral. Hukum tidak pernah netral bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Contoh konkritnya adalah bagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengkonstruksikan suami sebagai kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Selain itu, konstruksi pasal 34 UU Perkawinan menyatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Bentuk-bentuk pengaturan seperti ini disebut bias gender. Pembuat undang-undang gagal melihat sejarah di mana terjadi penindasan terhadap perempuan melalui berbagai hal, contohnya domestifikasi. UU Perkawinan melegalisasi bahwa perempuan memang wajib mengatur urusan rumah tangga. Penggunaan istilah bahwa kewajiban suami harus dilakukan “sesuai dengan kemampuannya” dan isteri yang harus melakukan kewaibannya “sebaik-baiknya” juga menjadi standar ganda yang mana menempatkan peran perempuan lebih berat dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena pembuat undang-undang pada masa itu tidak terbebas dari budaya patriarki yang masih melekat. Selain itu, proses pembuatan undang-undang dibuat dengan minimnya partisipasi dari perempuan. Inilah bagaimana contoh bias dalam produk hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam gagasan ini, Fakultas Hukum harus membuat pembelajar hukum curiga terhadap hukum. Hukum harus dipandang sebagai upaya bagi penguasa untuk melancarkan agendanya, artinya hukum adalah alat hegemoni penguasa.
Fakultas Hukum punya pekerjaan rumah besar untuk bisa menciptakan sarjana hukum yang bukan hanya mengerti pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, namun juga melangkah lebih jauh turut mengkritisi hal tersebut. Inilah yang disebut sebagai Gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies), yaitu kesadaran bahwa hukum harus digunakan untuk merombak struktur sosial yang hierarkis dan didominasi oleh kelompok tertentu. Kekuatan ini dapat secara nyata diwujudkan dengan mengkritisi tata hukum positif yang selama ini disebut netral dan objektif. Apa yang tidak pernah diajarkan adalah nilai-nilai di balik norma perundang-undangan yang ada. Pekerjaan rumah Fakultas Hukum adalah bagaimana menciptakan pemikiran kritis bahwa peraturan perundang-undangan tidak bisa menjadi satu-satunya sumber yang digunakan untuk mencapai keadilan karena relevansinya semakin berkurang terhadap masalah-masalah hukum dan keadilan faktual.
ADVERTISEMENT
Dalam pohon ilmu hukum, sering kali terdapat pemisahan antara ilmu hukum dogmatis dan ilmu tentang kenyataan (empiris). Ilmu hukum dogmatis seringkali bercirikan preskriptif, artinya sering kali tidak logis namun lebih menekankan pada “apa yang seharusnya”. Prof. Sidharta, Guru Besar Filsafat Hukum Universitas Bina Nusantara mencontohkan mengenai ketidaklogisan hukum dalam asas fiksi hukum, yaitu bagaimana ketika peraturan perundang-undangan diundangkan, maka setiap orang dianggap tahu. Melalui ketentuan itu, setiap orang dianggap dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap hukum yang berlaku, bahkan ketika ia tidak mengetahuinya. Padahal, sangat tidak faktual bila semua orang tanpa terkecuali mengetahui seluruh peraturan perundang-undangan.
Karena itu, penting pula untuk melakukan upaya penyadaran dan penggalian terhadap hukum sebagai ilmu tentang kenyataan. Hal ini berfungsi sebagai modal utama untuk menantang penganut positivisme yang mendambakan suatu kesamaan metode dalam berpikir.
ADVERTISEMENT
Mungkin pula, kebiasaan positivisme hukum ini membawa para ahli hukum menjadi formalis. Jadi, para ahli hukum bisa saja sudah cukup puas dalam memastikan hukum sudah sudah sesuai dengan apa yang tertulis. Namun mengenai kejujuran, integritas, dan konsistensinya, maka itu lebih banyak dilakukan pada para penstudi sosiologi hukum atau filsafat hukum.
Maka dari itu, bagi saya, kalau kita melihat pelanggaran etika, atau bagaimana negara hukum hancur karena para penegaknya, maka fakultas hukum yang sudah ada selama 100 tahun sudah selayaknya turut bertanggung jawab. Negara hukum kita hancur tak bersisa, dan fakultas hukum turut berdosa.