Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Peringatan Darurat, Kedatangan Paus, dan Teologi Pembebasan
2 September 2024 11:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Daniel Winarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak tanggal 21 Agustus 2024, kemarahan terakumulasi dan begitu terlihat jelas melalui tagar #PeringatanDarurat dan #KawalPutusanMK. Kemarahan ini akibat sikap DPR RI yang terlihat ingin mengakali Putusan MK terkait dengan ambang batas pencalonan calon kepala daerah. Sebelumnya, putusan ini mendapat respons positif dari masyarakat. Dengan fenomena adanya koalisi obesitas dan calon tunggal dalam Pilkada, putusan ini adalah angin segar. Putusan ini dianggap dapat menimbulkan lebih banyaknya pilihan bagi rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Spirit demokrasi utamanya adalah kesetaraan kesempatan dan kedaulatan rakyat. Artinya, semakin banyak pilihan bagi rakyat, adalah semakin baik dalam spirit demokrasi. Selain itu, banyak juga kesempatan bagi kader internal dari parpol untuk bisa maju. Kemarahan ini juga diiringi oleh aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, buruh, dan berbagai elemen masyarakat sejak tanggal 22, 23, hingga tanggal 27 Agustus 2024. Rakyat Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum. Hukum tidak dibuat untuk menyejahterakan yang tertindas dan miskin, namun malah menjadi alat bagi penguasa.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, persiapan Pemerintah Indonesia terhadap kedatangan Paus Fransiskus juga tengah bergulir. Kedatangan Paus sebagai Pimpinan Umat Katolik dunia dan Kepala Negara Vatikan dijadwalkan pada 2 September 2024 hingga 6 September 2024. Kunjungan Paus Fransiskus dikabarkan karena melihat latar belakang keberagaman Indonesia. Dalam artikel Kompas pada 13 Agustus 2024, kunjungan Paus ke Indonesia dinilai akan banyak berkontribusi terhadap pengembangan gagasan teologi del pueblo atau teologi rakyat. Hal ini tidak lepas dari latar belakang Paus Fransiskus yang berasal dari Argentina, negara yang ramai gerakan revolusionernya, dan terkenal dengan teologi pembebasan.
Paus Fransiskus dinilai telah menunjukkan keberpihakannya terhadap mereka yang terpinggirkan dan tertindas. Misalnya, Paus menggaungkan soal Hari Orang Miskin Sedunia, hingga turut menyerukan solidaritas terhadap yang miskin dan tertindas.
ADVERTISEMENT
Teologi pembebasan percaya bahwa Tuhan hadir secara nyata bagi orang-orang miskin dan tertindas. Gereja, sebagai kesatuan orang beriman harus membawa pembebasan bagi masyarakat yang tertindas. Teologi pembebasan awalnya hadir melalui refleksi iman terhadap kondisi masyarakat di Amerika Latin. Sikap Gereja yang pada saat itu cenderung berpihak pada kaum kapitalis justru sangat merugikan orang-orang yang tertindas. Gustavo Gutierrez, seorang imam Dominikan, yang melihat kondisi ini mengajak Gereja Katolik Amerika Latin untuk turut berjuang bersama mereka yang miskin dan tertindas, memperjuangkan mereka yang menjadi korban kemiskinan struktural.
Dalam konteks yang sama, Yesus sendiri bukan hanya diartikan sebagai juruslamat jiwa, namun juga aktor politik yang membebaskan. Misalnya, dalam masa hidupnya, Yesus menentang keberlakuan hukum yang tidak adil, hari Sabat misalnya. Yesus menentang aturan mengenai Hari Sabat. Ia menyembuhkan orang pada Hari Sabat.
ADVERTISEMENT
Melihat hal ini, kondisi politik dan hukum di negara Indonesia memang sedang dalam situasi krisis. Bivitri Susanti dalam tulisan opininya di Kompas (29/8) menyerukan bahwa adalah suatu kewajiban moral untuk tidak tunduk pada hukum yang tidak adil.
Bagi saya, hal ini secara tepat dapat menjadi momen pengingat bagi kita terhadap kondisi negara hukum yang hancur akibat banyaknya peraturan yang menyengsarakan rakyat. Ini menjadi menarik untuk dilihat dari sudut pandang teologi pembebasan. Kondisi masyarakat yang termiskinkan secara struktural akibat kesewenang-wenangan penguasa perlu diperjuangkan oleh kita semua sebagai umat beragama. Jemaat gereja, bagi Gutierrez, harus merefleksikan iman dalam wujud nyata. Tindak pemerintahan dan penguasa yang terus-menerus menghasilkan keterpurukan bagi rakyat, dan menambah kapital dari oligarki, secara sistemik harus bisa diubah. Perubahan sosial itu harus membuat kelas sosial yang tertindas untuk membebaskan diri dari penindasan.
ADVERTISEMENT
Maka, momen ini adalah pengingat bagi seluruh umat kristiani, bahkan seluruh umat beragama di Indonesia untuk bersikap. Menentang segala bentuk kesewenang-wenangan yang menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat sebagai bentuk perwujudan dari iman.