Intelektualisme Digital dan Ancaman Matinya Kepakaran

Musyafa Danish Alfitra
Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Ilmu Komunikasi. Public Speaker - Articles Writter
Konten dari Pengguna
31 Januari 2023 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Musyafa Danish Alfitra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Source : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Media semakin canggih seiring berkembangnya zaman. Hal tersebut ditandai dengan adanya teknologi-teknologi yang melampaui kecerdasan manusia dalam implementasinya, Sehingga para intelektual semakin hilang dari kebutuhan seseorang akan pengetahuan dan mulai mengandalkan Artificial Intellegence (AI) atau teknologi kecerdasan buatan sebagai mata pencaharian pengetahuanya.
ADVERTISEMENT
Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intellegence) AI bukanlah semata-mata terwujud dengan sendirinya melainkan melalui proses yang dikembangkan para intelektual, seperti namanya “buatan” maka teknologi ini pun merupakan alhasil dari kecerdasan manusia. H.A Simon mengutarakan bahwa kecerdasan buatan (AI) adalah bidang yang memungkinkan komputer melakukan tugas-tugas yang lebih unggul dari manusia.
Kemudian lahirlah produk-produk sebagai pengembangan kecerdasan buatan seperti terciptanya smartphone dan media sosial. Lalu kita sebagai masyarakat yang secara otomatis mengikuti perkembangan zaman perlahan mulai mengutamakan internet sebagai segalanya dalam kehidupan, dari internet manusia sekarang juga bebas mendapatkan segala sumber informasi dari manapun.
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan di bidang teknologi, hal ini akan berdampak baik apabila diimplementasikan dengan baik pula. Namun apa jadinya bila segala teknologi ini tidak dimanfaatkan dengan benar? kita bisa melihat contoh dari smartphone, yaitu teknologi yang paling sering digunakan masyarakat saat ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Newzoo, Indonesia berada di peringkat keempat dengan pemakaian smartphone terbanyak. Tercatat sebanyak 192,15 juta di dalam negeri sepanjang tahun 2022. Tak hanya itu, Menurut laporan "State of Mobile 2023" yang dipublikasi oleh firma riset pasar aplikasi data.ai (dulu App Annie), orang Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 5,7 jam per harinya menggunakan ponsel dan masuk sebagai pemakai smartphone terlama di dunia.
Segala bentuk informasi yang disebar di dunia maya saat ini sangat mudah diakses dengan adanya smartphone. Informasi-informasi tersebut juga sangat mudah dikonsumsi masyarakat mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, melalui platform digital seperti Instagram, TikTok, Facebook dll.
Namun sayangnya, tidak semua informasi di media dapat menjamin keaslian berita tersebut. Selain itu, banyak pula orang-orang yang asal mencerna berita-berita yang beredar tanpa difilter terlebih dahulu. Sehingga, informasi yang tidak matang tersebut disebarkan secara asal tanpa adanya filterisasi terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Mungkin tak akan bermasalah apabila seseorang merasa paling tahu sesuatu lalu menyerbarkannya. Namun, akan jadi permasalahan yang besar apabila kepakaran menjadi disfungsional, informasi kebenaran dianggap lelucon, lantas kebodohan dijunjung tinggi.
Lebih Percaya Konspirasi Ketimbang Para Ahli
Dilansir dari laman wikipedia.id, konspirasi adalah penjelasan untuk suatu peristiwa atau situasi yang memicu persekongkolan. Istilah ini memiliki konotasi negatif, menyiratkan bahwa banding ke konspirasi didasarkan pada prasangka atau bukti yang tidak cukup. Contohnya, masih ada orang yang punya pandangan primitif Bumi datar atau vaksin berbahaya bagi kesehatan.
Kita ambil contoh dari masalah kesehatan, berbagai argumentasi banyak diutarakan oleh sebagian pihak yang menolak vaksinasi (anti-vaccine movement) tidak hanya penolak dari negeri (Indonesia), tetapi juga diluar negeri. Kondisi ini pun sama, baik di negara muslim maupun non-muslim, sebagian dari mereka percaya adanya konspirasi ini.
ADVERTISEMENT
Website-website anti vaksin di luar negeri menjadikan berbagai konspirasi sebagai bahan utama untuk menyuarakan pemikiran mereka. Menurut pandangan mereka, tentang informasi vaksin beserta kandungan-kandunganya adalah hoax dan dianggap disembunyikan oleh pihak-pihak berwenang. Bahkan mereka tidak percaya lagi dengan badan-badan kesehatan resmi dunia yang sudah teruji keilmuanya seperti WHO,CDC,FDA, atau kalau di dalam negeri seperti Kemenkes dan Badan POM, (Hakim, 2020).
Apa bahaya percaya terhadap konspirasi?
Kepercayaan orang-orang terhadap berita-berita yang beredar di media, menjadikan mereka terpengaruh dan cenderung sok tahu. Akibatnya, mereka tidak tahu menahu persoalan apakah itu benar atau tidak. Hal tersebut tidak hanya terjadi di zaman sekarang, tapi dari zaman sebelum media elektronik berkembang pun sudah ada.
ADVERTISEMENT
Contoh akibat percaya terhadap konspirasi, dulu teori konspirasi sempat melanda negara bagian Afrika yaitu Nigeria. Pemerintah di sana percaya dari berita yang beredar bahwa vaksin polio sengaja disusupi oleh virus HIV dan hormon penyebab kemandulan, sehingga mereka memutuskan untuk menghentikan program vaksinasi pada akhir tahun 2003. Akibatnya, ketika negara-negara lain sudah terbebas dari penderita polio, justru Nigeria malah menjadi salah satu dari tiga negara dengan penderita polio terbanyak.
Tak hanya itu, pemerintah Afrika Selatan, Thabo Mbeki, juga pernah mempercayai hal yang tidak jelas kebenarannya, ia tidak menyediakan obat-obat HIV standar secara medis kepada rakyatnya. Ia justru percaya bahwa vitamin, jus lemon dan bawang putih sebagai alternatif untuk HIV, bahkan ia juga menolak bantuan internasional untuk mengatasi HIV di negaranya. Akibatnya, selama tahun 2000-2005 diperkirakan lebih dari 330.000 warga Afrika Selatan meninggal akibat virus HIV/AIDS dan lebih dari 35.000 bayi baru lahir terinveksi HIV, (Hakim, 2020).
ADVERTISEMENT
Apakah media di internet patut disalahkan?
Perkembangan media memberikan manfaat yang sangat besar bagi seluruh masyarakat dunia, memudahkan mereka dalam mendapatkan berbagai informasi, namun dibalik itu media juga membuka jalan bagi manusia untuk berbuat kesalahan. Media justru malah menjadi ajang publikasi kebohongan dan menyiakan kemajuan teknologinya.
Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran mengatakan :
Kesalahan utama sebenarnya bukanlah semata-mata karena media, namun kita sebagai manusia di zaman sekarang memiliki kecenderungan alami yaitu dengan mudahnya menerima bukti yang sudah kita percayai
ADVERTISEMENT
Apakah di era modern ini pakar masih dibutuhkan?
Kita secara realita pasti membutuhkan adanya pakar, karena sejatinya kita tidak bisa memahami seluruhnya yang ada di dunia ini. Nichols mengatakan orang awam tetap butuh dokter bila sakit, mencari pengacara bila punya masalah hukum, atau mengandalkan pilot untuk mengemudikan pesawat yang kita tumpangi.
Namun dengan kemajuan teknologi, dengan berlimpahnya berbagai informasi saat ini, menjadikan manusia seakan-akan dapat menjadi dokter yang dapat menyembuhkan diri sendiri, bahkan murid yang dapat belajar tanpa harus adanya guru.
Semoga dengan ini masyarakat dapat lebih bijak dalam menerima segala informasi di media sosial, tidak asal menerima informasi yang tak teruji kredibilitasnya. Pakar masih sangat dibutuhkan, tanpa pakar demokrasi di negara ini akan dengan mudahnya hancur, karena pakar tempatnya rakyat mengambil keputusan. Seorang pemimpin pun membutuhkan pakar untuk diberikan nasihat dan arahan. Tanpa adanya kepakaran mungkin negeri ini sudah tidak tahu mau dibawa kemana.
ADVERTISEMENT