"Lebensraum" (Ruang untuk Hidup)

Danish Rahsa
Siswi SMP Trenmatika
Konten dari Pengguna
22 Mei 2024 16:57 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Danish Rahsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 1939, Warsawa, Polandia.
Sunyi, semuanya sunyi. Meskipun aku bisa melihat rusuhnya suasana perang di sekitarku, tetapi aku seakan-akan tak bisa mendengar keriuhan yang sedang terjadi. Aku seakan-akan tuli. Usiaku empat belas tahun saat negaraku dijajah oleh Nazi Jerman, usiaku empat belas tahun saat aku pertama kali menyaksikan perang dunia, usiaku empat belas tahun saat aku kehilangan kedua orang tuaku di salah satu tragedi besar yang pernah tercatat dalam sejarah dunia.
ADVERTISEMENT
Usiaku sekarang sudah menginjak tujuh belas tahun. Tiga tahun telah berlalu semenjak peristiwa yang menimpa kedua orang tuaku. Paman dan bibiku membawaku untuk tinggal bersama mereka di kota yang masih tidak terjangkau oleh jajahan tentara Nazi Jerman, jauh dari kota asalku, kota Warsawa. Meskipun aku mendapatkan kasih sayang yang sama rata dengan saudara sepupuku, tetapi mereka bukanlah orang tua kandungku, rasanya berbeda.
Pamanku bilang, kota yang kami tempati memiliki posisi yang strategis karena berdekatan dengan negara tetangga, sehingga memungkinkan kami untuk kabur jika semisal tentara musuh mulai bergerak ke arah kota ini. Namun, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk kabur dan mencari perlindugan ke negara lain. Aku telah bertekad untuk melawan balik. Aku ingin membebaskan negaraku dari jeratan Nazi Jerman, tapi… Ah… Apa yang kubicarakan? Aku hanya seorang remaja lelaki yang berusia tujuh belas tahun. Orang-orang pasti akan menganggapku bocah ingusan yang hanya ingin ikut campur urusan orang dewasa. Mereka pasti akan memberitahuku untuk duduk diam dan menunggu, tetapi menunggu sampai kapan? Tidak akan ada kemajuan kalau kita tidak melakukan pergerakan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, aku bergabung ke militer di negara tetangga. Aku telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat paman dan bibiku tinggal. Sekarang, usiaku menginjak delapan belas tahun dan aku berada di tempat yang sangat asing bagiku. Aku tidak pernah berangan-angan bagaimana rasanya berada di pangkalan militer. Kini, aku merasakannya sendiri, tinggal bersama orang-orang yang tidak aku kenal.
(Sumber: Freepik.com)
“Jadi, asalmu dari Polandia?” tanya salah satu prajurit kepadaku sembari mengembuskan asap rokoknya. Aksennya tidak terdengar seperti orang Inggris. Kalau kuterka-terka, negara asalnya pasti tak jauh dari negara asalku.
“Ya… Kau tidak terdengar seperti orang Inggris,” ujarku
“Aku dari Rumania, tapi aku sempat tinggal di Austria,” balasnya. Ia sempat menawarkanku sebatang rokok, tetapi aku menolaknya dengan sopan.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kau bisa bahasa Jerman?”
“Ya, lumayan…,” jawabnya sambil mengedikkan bahunya yang bidang.
“Bisa ajari aku?” cetusku dengan polos. Prajurit itu membalas dengan tawa kecil.
“Tentu, mungkin aku bisa mengajarkan sedikit bahasa Rumania juga,” tawarnya dengan seringai ramah. Ia lalu menjulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Namaku Roman, Roman Burcea, kau?”
“Nathaniel Jean Regula,” ujarku sambil balas menjabat tangannya.
Sejak saat itu, aku dan Roman berteman baik. Ia menepati janjinya dengan mengajariku bahasa Jerman dan Rumania. Aku juga sudah mulai bisa menggunakan kedua bahasa asing tersebut, meskipun tidak terlalu fasih. Sayangnya, pertemanan kami tidak berlangsung lama, Roman tiba-tiba saja hilang tanpa jejak dan tidak pernah kembali lagi ke pangkalan tentara kami. Beberapa kolega kami berasumsi bahwa Roman tertangkap oleh perwira Nazi dan dibawa ke kamp konsentrasi.
ADVERTISEMENT
Aku awalnya tidak percaya, hingga aku melihat sendiri isi kamp konsentrasi tersebut. Perlahan tapi pasti, aku mulai mendapatkan kesadaranku kembali. Hal yang terakhir kali kuingat adalah pukulan keras dikepalaku. Ah, sial! Kepalaku sakit sekali, tetapi tentara yang menggiringku terus saja berjalan entah kemana. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas karena belum mengadaptasikan penglihatanku. Tiba-tiba saja, aku didorong ke suatu ruangan. Aku bisa mendengar beberapa orang berbisik ketika aku jatuh tersungkur. Lalu, pintu tertutup dengan keras.
“Kelihatannya kau sedang sial, Kawan,” ujar seseorang sambil berjongkok disebelahku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan pengelihatanku. Tampak ada beberapa orang sedang mengarahkan pandangan mereka kepadaku, beberapa yang lain tampak tak acuh. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan menangkap satu sosok yang familiar. Sosok itu terduduk di atas salah satu ranjang dengan pandangan tertunduk lesu.
ADVERTISEMENT
“Roman!” Aku spontan menyerukan namanya sembari bangkit dan menghampirinya.
“Roman, kau baik-baik saja?” Aku menghujaninya dengan beberapa pertanyaan sambil menggenggam dan menggoncangkan bahunya. Roman hanya menjawab seadanya.
“Mereka mempekerjakan tahanan-tahanan secara paksa. Tahanan yang menolak akan ditembak mati,” ujar Roman dengan lesu. “Kau sebaiknya tidur. Kau tentu akan mulai bekerja esok harinya. Carilah ranjang yang masih muat untukmu. Kita semua berbagi ranjang disini.” Aku hanya membalas dengan anggukan singkat, lalu beranjak dan mencari tempat tidur yang masih memungkinkan untuk kutempati.
“Satu hal lagi, Nathan. Jangan coba-coba kabur jika kau tidak ingin digantung,” tambahnya dengan lirih. Bulu kudukku spontan saja langsung berdiri ketika mendengar Roman mengucapkan kata ‘digantung’.
Esoknya, aku sudah mulai bekerja. Badanku terasa pegal karena tidur dengan posisi yang tidak nyaman semalaman. Tak terduga, aku melihat Roman dibawa pergi oleh dua perwira Jerman sambil memberontak dan meraung-raung dengan panik.
ADVERTISEMENT
“Roman! Roman! Hey! Kemana kalian membawanya!?” aku berseru-seru dalam bahasa Jerman dan berusaha mengejarnya. Tiba-tiba saja ada yang mencengkeram lengan bajuku dan menyeretku ke belakang salah satu bangunan di kamp.
“Hey, lepaskan aku!” protesku. Perwira Jerman yang menyeretku kemudian menampar wajahku dengan cukup keras dan memojokkanku agar aku tidak bisa kabur.
“Apa-apaan tadi?? Kau gila ya? Mau cari mati?!” ia membentak dengan tegas seraya mencengkeram kedua lengan bajuku dan sedikit menggoncangkan tubuhku. Aku tidak menjawab apa-apa, hanya bisa memandangnya dengan heran. Wajah tentara itu tidak tampak terlalu jelas karena tertutup oleh bayangan topi perwiranya, hanya mata biru terangnya dan bekas luka bakar di dekat pipinya saja yang terlihat jelas olehku.
ADVERTISEMENT
“Apa??”
“Kau bisa saja ditembak oleh perwira yang sedang berjaga di menara pengawas, atau bahkan ikut dibawa pergi seperti tahanan tadi,” ujarnya. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dengan heran mendegar penuturan perwira Nazi yang baru saja menyeretku.
“Kau… Menyelamatkanku?” tanyaku dengan heran.
“Ya. Bukankah itu jelas?”
“Tapi…,” tukasku yang kemudian dipotong oleh perwira itu.
“Tidak ada waktu untuk pertanyaan. Kalau kau mau tau lebih banyak, temui aku di akhir pekan. Akan kejelaskan semuanya. Sekarang, berpura-puralah aku telah memukulimu,” jelasnya yang hanya ku balas dengan anggukan. Aku kemudian kembali ke tempatku bekerja sambil berpura-pura terpincang. Perwira tadi ikut berjalan tidak jauh di belakangku sembari beberapa kali mendorong dan membentakku untuk berjalan lebih cepat. Aku sempat melihat tanda pengenal yang tersungkur di bagian dada seragam perwiranya yang berwarna hitam, ‘Lt. G. Hertz’. Heydrich, kuingat-ingat marga perwira tersebut untuk berjaga-jaga jika semisal aku akan mebutuhkannya nanti.
ADVERTISEMENT
Tak terasa, hari minggu pun tiba. Aku bangun kesiangan, tapi itu tidak masalah, tidak ada pekerjaan di hari minggu. Aku beranjak dari ranjang dan melakukan peregangan ringan, lalu pergi keluar untuk mencari Hertz. Tidak lama setelah menunggu di dekat bangunan tempat aku tidur, mataku menangkap sosok perwira Jerman itu di balik sebuah bangunan sambil samar-samar melambaikan tangannya kepadaku. Aku mengawasi keadaan sekitarku sebelum menghampirinya dengan ragu-ragu. Hertz kemudian mengajakku pergi ke tempat yang lebih aman. Kami berdua duduk di satu sudut kamp konsentrasi yang jauh dari pandangan perwira di sekitar kamp, jauh dari pandangan menara pengawas, dan jauh dari tahanan lain.
“Sekarang, bisa jelaskan padaku?”
“Apa yang ingin kuperjelas?”
“Mengapa kau menyelamatkanku? Bukan kah kau…”
ADVERTISEMENT
“Musuh? Penjajah? Bagian dari Nazi?”
“Aku tidak bermaksud lancang, tapi ya… Semacam itu,"
“Aku mengerti…” ujarnya sambil mengangguk pelan,
“Apakah kau akan percaya jika kukatakan bahwa aku sebenarnya terpaksa berperang atas nama Nazi?” ia menambahkan dengan suara yang lebih rendah. Aku hanya bisa menatapnya dengan heran dan menunggunya untuk meneruskan.
“Orang tuaku sudah memberikan doktrin mengenai ajaran Nazi semenjak aku masih anak-anak. Namun, aku tidak pernah setuju dengan ajaran-ajaran tersebut, sehingga aku menentangnya,” jelasnya dengan lirih.
“Jadi… Aku bukan orang pertama yang kau bantu?” tanyaku sembari menggaruk rambut pirangku yang lumayan lusuh.
“Benar, aku sudah lama membantu tahanan-tahanan lain di kamp ini. Namun, sejauh ini, membatu kaulah yang paling nekat,” ucapnya sambil menyeringai kecil yang membuatnya terlihat lebih ramah dari bayanganku.
ADVERTISEMENT
“Jadi, aku memutuskan untuk mengajakmu bicara. Oh ya, siapa namamu?”
“Nathan, Nathaniel Regula.”
“Gunther Hertz,” ia tersenyum kecil, yang kubalas dengan senyuman yang lebih kecil.
“Ada lagi yang ingin kau tanyakan?”
“Tentang kejadian tempo hari… Tahukah kau kemana mereka membawa Roman pergi?” tanyaku dengan ragu-ragu.
“Ah, jadi, tahanan itu temanmu?”
Aku mengangguk.
“Aku turut bersedih, kawan. Namun, kau pasti tidak akan suka jawabannya,” wajahku spontan langsung berubah cemas, rahangku ikut mengeras.
“Kemana mereka membawa Roman pergi, Gunther!?”
“Tahanan yang dibawa pergi biasanya hanya memiliki dua tujuan, kamp konsentrasi yang lebih padat, atau maut,” jelasnya.
Sekujur tubuhku langsung lemas mendengar kalimat terakhir Gunther, aku mengutuki diriku sendiri dalam hati.
“Maaf, Nathan… Sudah kubilang, kau takkan suka dengan jawabannya.”
ADVERTISEMENT
“Ada lagi yang harus aku ketahui, Gunther?” kucoba untuk mengalihkan topik pembicaraan dengan melontarkan pertanyaan basa-basi. Gunther hanya membalas dengan gelengan kepala. Setelah beberapa kalimat, kami berdua pun berpisah dan kembali menjalankan urusan masing-masing.
Sejak saat itu, Gunther mulai banyak mengobrol denganku, tentunya secara rahasia. Ia juga tidak jarang memberikan jatah makanan lebih padaku selama setahun, yang tentunya kubagikan dengan tahanan-tahanan yang sekamar denganku agar tidak menimbulkan rasa iri. Namun, pada akhirnya, aku ketahuan oleh perwira Nazi yang lain. Namun, untungnya mereka tidak tahu-menahu bahwa Gunther lah yang memberikan aku jatah tambahan tersebut. Mereka membawaku pergi, sama seperti saat mereka menbawa Roman pergi waktu itu. Aku sempat melihat wajah penuh sesal Gunther ketika aku diseret oleh dua perwira Jerman menjauh dari blok tempatku tinggal selama di kamp konsentrasi. Mereka membawaku ke bangunan lain. Di tempat itu, aku dianiaya habis-habisan dan dipaksa untuk mengakui siapa perwira yang membantuku selama ini. Mereka bahkan cukup kejam untuk mencungkil mata kananku keluar. Ya, aku kini buta di satu mata. Ketika mereka ingin memindahkanku ke kamp pemusnahan dengan menggunakan kereta lokomotif, terdengar suara ledakan yang sangat nyaring dan membuat telingaku berdengung. Para perwira di kamp tersebut juga berhamburan dan berseru-seru dengan panik dalam bahasa Jerman. Kedua tentara yang tadinya sedang menggiringku juga ikut kabur dengan panik dan meninggalkanku sendirian.
(Sumber: Freepik.com)
Aku menoleh ke arah ledakan tersebut terjadi dan berjalan menjauhi asal ledakan tersebut dengan langkah tertatih. Lalu, kurasakan ada tangan yang membopongku dan membantuku berjalan menjauh dari daerah kamp konsentrasi tempatku dan tahanan lain di tahan dan dipekerjakan.
ADVERTISEMENT
“Bergegas, Nathan! Kita harus pergi!” seru Gunther sembari terus menuntunku pergi. Terlihat ia telah melepaskan seragam dan topi perwira yang biasa ia pakai dan hanya mengenakan kemeja putih yang tampak sedikit lusuh karena debu dan tanah yang menempel.
“Tunggu, pergi kemana!?” tanyaku dengan nada yang sama tingginya dengan Gunther agar ia dapat mendengar pertanyaanku.
“Kemana saja, asalkan jauh dari kamp,” jawabnya.
Kurasakan jantungku berdegub dengan kencang di dalam dadaku. Aku tak percaya aku masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara kebebasan! Aku sempat putus asa dan mengira aku akan mati terjebak di kamp sialan yang baunya itu membuat hidungku gatal. Kuamati pemandangan di sekitarku dengan seksama selama melarikan diri dengan Gunther. Aku melihat pesawat-pesawat perang mondar-mandir di atas kepalaku, beberapa tentara Jerman berseru-seru, tahanan lain melarikan diri, bau bubuk mesiu yang menyengat hingga ke ubun-ubun kepala, serta suara ledakan dan senjata api. Inikah akhirnya? Kemanakah aku akan pergi sekarang? Tanggal berapa ini? Aku bertanya-tanya dalam hati karena memang banyak hal yang masih tidak bisa kupahami. Mungkin semua ini hanya ada dalam imajinasiku saja. Mungkin juga, ini hanya sekedar angan-anganku.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika ini benar-benar hanya bayanganku. Mungkin aku sebenarnya hanya anak kecil yang sedang menunggu di tengah-tengah pertempuran, sama seperti saat usiaku masih empat belas tahun. Mungkin aku seorang pemuda yang sedang mendengarkan berita tentang perang di negara luar dan membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi rakyat negara tersebut. Atau mungkin… Aku adalah salah satu perwira Jerman yang berangan-angan tentang sudut pandang para tahanan.
Sumber: freepik.com
“Komandan Schmidtz?” aku mengangkat kepalaku untuk menatap prajurit yang baru saja memasuki ruanganku. Kuletakkan penaku di atas kertas yang sudah mulai penuh dengan tulisanku.
“Ya, Sersan Mayor Mitscher,” jawabku sembari bangkit dari kursiku. Tangan kananku itu berjalan mendekati meja kerjaku dan memberikan hormat singkat, yang kubalas dengan hormat yang sama singkatnya juga.
ADVERTISEMENT
“Anda sudah ditunggu di ruang rapat, Sir,” tuturnya dengan wajah datar. Aku membalas dengan anggukan pelan.
“Beri tahu yang lain, saya akan ke sana lima menit lagi,” ujarku.
“Ya, Sir,” sersan mayor itu kemudian mengangguk singkat dan memberi hormat sebelum pergi meninggalkan ruanganku. Kualihkan kembali pandanganku ke meja kerjaku. Lalu, kuambil secarik kertas penuh tulisan yang terdapat di atasnya dan membuat pena yang tadinya kuletakkan diatasnya menggelinding ke meja. Di kertas itu, tertulis kisah hidup ‘Nathaniel Jean Regula’, prajurit kelahiran Polandia yang mendambakan kemerdekaan negara kelahirannya di bawah jajahan Nazi Jerman.