Jangan Baper ke Makanan!

Dapurfit
Di Kumparan, kami berkomitmen untuk membuat konten yang 100% informasi, 0% marketing. Semua konten kami 100% evidence-based, dan akan disertai referensi jurnal ilmiah (studi/ penelitian).
Konten dari Pengguna
25 September 2021 21:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dapurfit tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti hubungan dengan sesama manusia, untuk mendapatkan hasil yang baik, kita perlu memiliki hubungan yang sehat dengan makanan. Lalu bagaimana hubungan yang seharusnya kita miliki dengan makanan untuk berhasil menjalankan diet? Caranya mudah, yaitu dengan tidak baper (bawa perasaan) terhadap makanan!
Hubungan yang baik dengan makanan (sumber: instagram Dapurfit)

Perasaan ke makanan

ADVERTISEMENT
Mungkin pembaca bingung, apa yang dimaksud dengan baper ke makanan? Memangnya bisa, ya? Nyatanya, setiap orang dapat memiliki “perasaan” terhadap makanan. Perasaan ini berbeda-beda, misalnya ada orang yang terlalu ‘cinta’ terhadap makanan, bahkan sampai terobsesi pada makanan tersebut. Ada juga yang memandang makanan sebagai ‘reward’, dan ada yang bahkan takut terhadap makanan tertentu. Orang yang menjalankan diet ekstrim bahkan dapat melihat makanan sebagai hukuman dan memiliki rasa takut/ benci terhadap makanan tertentu.
Sedikit berbeda dengan hubungan antar manusia, hubungan yang baik dengan makanan adalah hubungan yang tanpa perasaan. Kita perlu memandang makanan dengan biasa saja; tidak anti, tidak benci, tidak takut, juga tidak cinta, tidak ngidam, dan tidak terobsesi terhadap makanan apapun.
ADVERTISEMENT

‘Food’ is just a ‘tool’

Makanan apapun dapat dianalogikan sebagai pisau: jika digunakan dengan bijak, pisau akan sangat bermanfaat bagi manusia. Seperti untuk mengolah bahan makanan, untuk operasi medis yang menyelamatkan jiwa, dan masih banyak lagi. Namun, jika disalahgunakan, pisau dapat melukai dan bahkan mematikan. Meski begitu, ‘pisau’ sendiri sebenarnya tidak baik ataupun jahat. Karena pisau hanya alat, baik atau tidaknya bergantung pada penggunanya. Apakah si pengguna menggunakan pisau tersebut untuk hal yang baik atau hal yang jahat. Begitu pula dengan makanan. Tidak ada ‘makanan yang baik’ atau ‘makanan yang jahat’. Makanan hanya alat untuk kita mendapatkan energi dan nutrisi.
Jika digunakan dengan benar, makanan dapat memberikan kita energi dan nutrisi yang kita butuhkan untuk hidup, bertumbuh, berpikir, beraktivitas, berkreasi, dan lain-lain. Namun ketika makanan “disalahgunakan” sebagai hal yang ditakuti atau menjadi reward, makanan dapat merugikan tubuh. Makan berlebih (overnutrition) dapat mengakibatkan obesitas dan berbagai penyakit kronis. Sedangkan kurang makan (undernutrition) dapat mengakibatkan kurang gizi, penuaan dini, gangguan pertumbuhan, dan berbagai jenis penyakit bahkan kematian. Kelebihan energi dan kekurangan gizi juga dapat terjadi sekaligus, disebut double-burden of malnutrition. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang mengkonsumsi terlalu banyak makanan yang tinggi kalori namun rendah nutrisi (seperti junk food) (1).
ADVERTISEMENT

“Menggunakan” makanan dengan benar

Sama seperti pisau, ‘baik’ atau ‘jahat’nya makanan bergantung pada penggunaannya. Jadi bagaimana cara ‘menggunakan’ makanan dengan benar?
Pertama, kita perlu mindset yang objektif ketika mengambil keputusan saat mau makan. Ketika kita mau makan, berapa banyak makanan yang dimakan, apa yang akan kita makan, semua harus kita pikirkan dengan mindset yang objektif dan berdasarkan logika serta fakta. Bukan berdasarkan perasaan. Karena itu, langkah pertama dalam hal ini adalah jangan memakai perasaan terhadap makanan.
Jangan sampai kita memandang makanan sebagai hadiah atau reward karena hal ini akan berpotensi menyebabkan kebiasaan yang mendukung emotional eating dan stress-eating (2-4). Kedua hal ini dapat menyebabkan overeating. Contoh dari menjadikan makanan sebagai hadiah adalah perasaan perlu untuk merayakan setiap keberhasilan dengan makan; merasa perlu menghibur diri dengan makanan setiap sedang stress atau sedih, atau merasa ingin makan ketika senang/ marah/ emosi lainnya.
Berbagai perasaan terhadap perasaan (sumber: instagram Dapurfit)
Tidak hanya sebagai hadiah, jangan sampai juga kita melihat makanan sehat atau diet sehat sebagai ‘hukuman’, dan tentu saja jangan sampai kita memilih diet yang ‘menyiksa’. Hal ini dikarenakan mindset yang melihat makanan sebagai hukuman dan diet yang menyiksa perlahan-lahan dapat merusak hubungan dengan makanan. Eating disorder dan negative body image umum terjadi akibat kedua hal tersebut dan berujung pada kegagalan diet, weight gain, weight regain, dan BMI tinggi (5-9).
ADVERTISEMENT
Selain melihat makanan sebagai hadiah atau hukuman, jangan juga memandang makanan tertentu sebagai ‘makanan jahat’. Kita tidak perlu takut atau bahkan anti terhadap makanan apapun termasuk junk food. Hal ini dikarenakan kecenderungan manusia untuk tertarik terhadap hal yang dipantang/ dilarang (disebut juga forbidden fruit effect) (10-12). Ketika seseorang ‘anti’ terhadap suatu makanan, orang tersebut secara tidak sadar memberikan ‘power’ terhadap ‘makanan terlarang’ itu. Kecenderungan ini merupakan sifat natural bagi manusia untuk lebih menginginkan hal yang ‘dilarang’. Bahkan hal ini sudah terlihat sejak jaman “Adam, Hawa, dan Buah Terlarang.” Maka dari itu, diet yang menyiksa/ terlalu ketat akan selalu berujung pada binge eating karena terlalu banyak makanan yang dilarang ketika diet.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, memiliki perasaan terhadap makanan dapat menjadi hal yang berbahaya. Oleh karena itu, janganlah kita takut/ benci/ anti terhadap makanan apapun. Semua makanan boleh dimakan dan tidak ada makanan yang harus dipantangi untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan ideal (kecuali pada penyakit langka seperti celiac disease). Makanan hanyalah makanan; sebuah alat yang tidak kurang dan tidak lebih. Jangan sampai kita menjadikan makanan sebagai reward atau treat dengan menaruh perasaan pada makanan tertentu. Bentuk hubungan yang benar terhadap makanan yaitu tanpa perasaan dan biasa saja.
Jurnal Referensi