3 Masalah Mengkhawatirkan dalam Dunia Pendidikan Tinggi 2018

Konten dari Pengguna
10 April 2018 8:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dara Nanda Vitera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan dinilai sebagai pondasi penting bagi perkembangan suatu negara. Namun nasib pendidikan di sejumlah tempat hingga saat ini masih menghadapi sejumlah masalah serius. Di Indonesia misalnya, masalah kurikulum, ujian, kekerasan dan pelecehan di lingkup sekolah dan institusi hingga skema pelaksanaan tes masuk pendidikan tinggi yang baru-baru ini mengalami perubahan mendadak yang menimbulkan sejumlah reaksi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada Januari lalu mengatakan, kemajuan teknologi suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan tinggi yang membantu suatu negara mencapai kemajuan teknologi melalui adaptasi dan inovasi. Oleh karena itu, peranan pendidikan tinggi di Indonesia adalah kunci dan sangat vital dalam menentukan kemampuan bangsa Indonesia untuk terus mencapai kemajuan dan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun begitu, sampai saat ini kita masih dapat menjumpai permasalahan dan kendala terkait keberlangsungan pendidikan tinggi di berbagai belahan dunia, khususnya Indonesia. Berikut akan diulas tiga permasalahan serius terkait pendidikan tinggi yang menjadi momok dan harus segera menemui solusi kongkretnya:
ADVERTISEMENT
1) Biaya Pendidikan yang Terus Meningkat
Menurut salah satu laporan, kenaikan biaya pendidikan terus berlangsung bahkan lebih cepat dari tingkat inflasi. Kesuksesan di ranah pekerjaan kerapkali ditandai dengan partisipasi seseorang dalam tingkat pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan tinggi menurut data U.S. Bureau of Labor Statistics memperlihatkan bahwa mereka yang menempuh pendidikan tinggi memperoleh angka kecil dalam potensinya menjadi pengangguran.
Realitas mengganjal mengiringi partisipasi pendidikan tinggi masyarakat, bahwasannya kemampuan untuk mengakses pendidikan tinggi secara finansial masih sulit dipenuhi oleh banyak orang. Lantas jika biaya pendidikan tinggi terus-menerus mengalami kenaikan melebihi kemampuan keluarga kelas menengah dan pekerja untuk membayar, maka permasalahan akan merembet ke hal-hal lainnya. Sukar bagi bangsa Indonesia kemudian untuk mencapai kemajuan serta kemakmuran, yang dikatakan Menkeu RI.
ADVERTISEMENT
Pemerintah serta institusi pendidikan tinggi sebenarnya sudah cukup memperhatikan permasalahan ini dan melakukan sejumlah upaya untuk menghadirkan solusi kreatif. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) misalnya, pada Maret lalu menelurkan ide kredit pendidikan. Namun hingga saat ini pembicaraan terkait hal tersebut belum gamblang diutarakan.
2) Putus Studi
Secara umum, mahasiswa dapat dikatakan putus studi apabila tidak berkuliah selama dua semester berturut-turut, tidak memenuhi standar penilaian minimal yang harus dicapai, melakukan pelanggaran akademik berat dan/atau tidak melaksanakan kewajiban administrasi; salah satunya pembayaran biaya pendidikan. Yang terakhir merupakan yang paling sering menjadi penyebab mahasiswa putus studi dan kebanyakan institusi pendidikan tinggi berbesar hati atas lepasnya mahasiswa tersebut dalam ikatan pendidikan.
Sementara pendidikan tinggi dianggap sebagai basis bagi terciptanya individu berintegritas (well-educated), sayang sekali apabila mahasiswa karena keterbatasan dan persoalan finansial harus memupus semangatnya menempuh pendidikan. Putus studi kemudian mengambil tempat sebagai masalah serius kedua dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Menurut salah satu laporan, setidaknya satu dari tiga pelajar setiap harinya harus keluar (drop-out) dari institusi pendidikan tinggi dan tidak menamatkan studinya.
3) Privatisasi Universitas dan Institusi Negeri
ADVERTISEMENT
Pembentukan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) memungkinkan berkurangnya tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan tinggi. PTN BH kemudian dituntut untuk mandiri dalam keuangan. Dalam memenuhi kebutuhan operasional kemudian institusi dan universitas dapat dan/atau perlu mencari dana dari sumber-sumber privat. Sumber-sumber tersebut antara lain berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan mahasiswa dan usaha (ventura).
Institusi dan universitas yang kemudian mengandalkan pemasukan dari Biaya Pendidikan Mahasiswa sebagai pemasukan utamanya seringkali mendapat protes bahkan kecaman karena dianggap memicu komersialisasi pendidikan. Biaya pendidikan bisa naik dan naik terus seturut kepentingan dan kebutuhan institusi dan universitas, serta mengenyampingkan kapasitas dan kemampuan mahasiswa serta wali untuk memenuhinya. Ketidakmampuan mahasiswa dalam memenuhi biaya pendidikan yang ditetapkan kemudian dapat mendorong mahasiswa tersebut untuk tersisih secara alami dari dunia pendidikan.
Menurut salah satu penelitian tahun 2017, partisipasi masyarakat usia 19-24 tahun dalam pendidikan tinggi masih didominasi oleh kelas menengah atas dan 2,6% sisanya baru diisi oleh kelas menengah bawah. Hal ini menunjukkan ketidakmerataan akses yang nyata dalam pendidikan serta ketimpangan sosial.
ADVERTISEMENT
Ide Jokowi soal kredit pendidikan sebagai solusi mengatasi ketidakmerataan akses dan ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia terkait partisipasi pendidikan tinggi direspon berbagai kalangan secara positif dan negatif, misalnya saja di dunia penulisan digital. Salah satu respon negatif yang datang misalnya, mengatakan bahwa ide kredit pendidikan Jokowi makin suramkan nasib mahasiswa. Penulis kemudian menyertakan serentetan data dan temuan pendukung responnya tersebut dalam tulisannya.
Baru-baru ini ada pula respon positif yang ditelurkan oleh dua peneliti dari suatu lembaga riset. Dalam tulisannya, mereka memaparkan banyak data dan temuan pendukung, bahkan rumusan implementasi kredit pendidikan yang memang hingga saat ini belum secara gamblang diutarakan oleh Jokowi. Mereka menekankan bahwa pemerintah dalam pelaksanaan kredit pendidikan perlu menerapkan orientasi khusus yang tidak menyengsarakan pada kelas menengah bawah terutama perempuan.
ADVERTISEMENT
Dua peneliti yang disebutkan di atas telah memodelkan penerapan student loan dengan menggunakan proyeksi data pendapatan 11.300 orang di Indonesia. Hasilnya, sistem kredit mahasiswa berbasis pendapatan sangat mungkin dilaksanakan di Indonesia karena beban pembayaran utang dapat diatur untuk mengurangi risiko menunggak. Sistem kredit tersebut kurang-lebih telah tiga tahun diimplementasikan sebuah perusahaan teknologi yang berfokus di ranah fintech (financial technology) bernama DANAdidik.
Keberadaan kredit pendidikan yang manusiawi kemudian dapat menjadi jawaban bagi terkikisnya ketiga permasalahan seputar pendidikan tinggi yang coba disinggung di atas. Sudah saatnya Jokowi, dalam hal ini pemerintah, memperhatikan secara serius kerja-kerja kreatif perusahaan teknologi non-arus utama sebagai wadah bagi terciptanya perubahan sosial untuk kemudian bersinergi menciptakan perubahan yang lebih besar lagi, khususnya dalam dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT