5 Alasan Youtuber "Gitasav" Layak Jadi Panutan Millenials

Konten dari Pengguna
19 Maret 2018 17:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dara Nanda Vitera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gita Savitri Devi atau Gitasav bukanlah nama yang asing di jagat per-Youtube-an, khususnya Youtube Indonesia. Ia merupakan satu dari sekian banyak kawula muda asal Indonesia yang cukup produktif menelurkan konten-konten video yang bisa ditonton warga dunia. Popularitasnya makin menanjak dari hari ke hari, dapat dilihat dari jumlah pengikut di akun Instagram-nya yang telah mencapai lebih dari setengah juta serta subcriber akun Youtube-nya yang telah mencapai lebih dari tiga ratus ribu. Sebagai apa yang jamak disebut influencer, dalam tulisan ini akan dipaparkan sekelumit kehidupan seorang Gita Savitri Devi yang kemudian membawa penulis pada afirmasi bahwa influencer ini layak menjadi panutan kawula muda, khususnya millenials yang segera akan menjadi mayoritas populasi dalam waktu dekat. Berikut ulasannya!
ADVERTISEMENT
1. Berani Keluar dari Zona Nyaman
Gita Savitri Devi memutuskan berkuliah di Jerman setelah sebelumnya tidak pernah punya pengalaman tinggal jauh dari kedua orangtua. Saat di Jerman, ia juga terus men-challenge dirinya untuk keluar dari zona nyamannya, seperti untuk tinggal di apartemen sendiri, mengatur keuangan sendiri, memperoleh penghasilan di luar yang telah diberikan orangtuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan yang lainnya. Upayanya untuk keluar dari zona nyaman pula lah yang membawanya kemudian berkiprah menjadi Youtuber sekaligus influencer. Biaya hidup di Jerman yang menurut pengakuannya tidak murah, membuatnya harus mencari uang tambahan. Sebagai seorang yang suka mempelajari hal-hal baru, ia tidak begitu pilah-pilih soal pekerjaan. Namun karena ia juga seorang yang sangat ketat akan skala prioritas, maka pekerjaan yang dikehendakinya adalah yang tidak mengganggu perkuliahan, yang dianggapnya menempati prioritas tertinggi hidupnya di Jerman kala itu. Akhirnya pekerjaan yang bisa dijalani secara on-line lah yang menjadi pilihannya.
ADVERTISEMENT
2. Menjadikan Sosial Media Sebagai Platform Untuk Berkarya
Orangtua Gita sangat ketat soal pengawasan pemanfaatan sosial media anak-anaknya. Hingga di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan ibunya masih menyimpan, mengetahui serta dapat mengakses akun sosial medianya. Hal yang demikian itu Gita anggap wajar, mengingat pemanfaatan sosial media baru-baru ini menunjukkan tren negatif yang tinggi, merujuk salah satu penelitian. Ia kemudian berikrar pada diri sendiri untuk hanya mengunggah serta mengakses hal-hal positif yang bisa dicerna secara general dan wajar, dan lebih jauh mengedukasi. Ia menjelaskan, "...yang bertanggung jawab untuk mengedukasi generasi muda dan juga mengajak mereka untuk melakukan hal-hal positif itu kita-kita juga. Daripada saya kebanyakan komplain, toh saya juga nggak bisa mengubah kelakuan vlogger-vlogger ini, lebih baik saya buat video juga, tapi yang lebih berkualitas.". Ia berbicara pada diri sendiri sekaligus banyak orang, bahwa tujuan menggunakan sosial media adalah untuk berkarya, selain daripada itu hendaknya ditaruh pada urutan di bawahnya.
ADVERTISEMENT
3. Membuka Jaringan Pertemanan Seluas-luasnya
Sejak kecil, ia dibiasakan di lingkungan keluarga untuk membuka jaringan pertemanan seluas-luasnya. Oleh sebab itu, di manapun ia berada, ia hampir tidak mungkin tidak memperoleh kawan baru. Sebagai orang Asia yang tahu sejarah, ia paham bahwa di alam bawah sadar kita terbentuk pikiran dan perasaan rendah diri karena pengalaman dijajah, pikiran dan perasaan tersebut lazim disebut inferiority complex. Untuk itu ia tidak mau lagi terjerembab dalam pikiran dan perasaan itu karena dinilainya tidak akan membawanya kepada keadaan lebih baik. Mengenai pergaulan ia berujar, "Tipsnya adalah tidak usah menarik diri. Tipikal orang Asia banget yang selalu malu-malu dan cuma berdiri di pojokan sambil jadi penonton. Santai aja nggak perlu malu-malu. Mereka juga nggak peduli-peduli amat kalau bahasa Jerman kita amburadul. Selama mereka mengerti apa yang kita maksud, komunikasi akan terus berjalan.". Terbukti dengan dirinya yang membuka diri, ia memiliki teman di hampir seluruh dunia, serta berasal dari berbagai suku, agama dan ras. Baru-baru ini misalnya, dalam kunjungannya ke New York, ia banyak mengobrol dengan black americans yang dinilainya sangat progresif dan pintar-pintar.
ADVERTISEMENT
4. Punya Pandangan yang "Matang" Terkait Masa Depan
Dalam Youtube-nya, ia punya rubrik khusus yang dinamai Beropini. Dalam rubrik tersebut, ia mencoba membahas segala sesuatu khususnya isu-isu aktual yang sedang melingkupi dunia saat ini dari perspektifnya yang didasari dengan analisis semapan mungkin. Baru-baru ini ia baru mengeluarkan video dalam rubrik Beropini yang diberi judul "On Marriage". Di sana ia membicarakan banyak hal terkait pernikahan, salah satunya mengenai rasionalisasi diadakannya pernikahan yang tidak bisa lagi disempitkan hanya sebagai jalan keluar dari perbuatan tercela, melainkan perlu rasionalisasi-rasionalisasi tambahan seperti keadaan finansial yang mendukung serta kesiapan mental dan fisik. Ia kemudian menyinggung data mengenai angka kematian tertinggi di mana pernikahan yang dilakukan anak di bawah umur menjadi penyumbang signifikannya. Menurutnya, ia tipe orang yang lebih mendengarkan otak daripada hati. "Dari hasil berpikir, saya jadi makin mengenal diri, jadi makin tahu tujuan dan kemaua saya, jadi makin tau apa sebenarnya tanggung jawab saya terhadap diri saya sendiri, keluarga, umat, negara, dan agama. Terlebih sekarang saya lagi senang-senangnya untuk bertemu orang baru dari kultur yang berbeda. Saya jadi makin dapat banyak referensi untuk memikirkan hidup saya, dan yang ada di sekeliling.", jelasnya.
ADVERTISEMENT
5. Mengenyam Pendidikan Sesuai Passion
Mengenai pendidikan, ia sebisa mungkin tidak terpengaruh orang lain dan hal-hal yang tidak esensial. Misalnya, saat orangtua menyarankannya untuk ambil Teknik, ia menolak meski saran tersebut datang dari orangtuanya sendiri, karena ia merasa passion-nya tidak di sana. Berdasarkan hasil tes minat dan bakat yang sempat ia ikuti di SMA dulu, rekomendasi keilmuan yang ditawarkan untuknya adalah seni atau ilmu murni. Akhirnya ia menetapkan pilihan pada Kimia. Ia mengaku bukan tipe orang yang memilih sesuatu karena possibility untuk mendapatkan pekerjaan atau uang yang banyak. Jadi ketika ia memilih jurusan pun saya tidak muluk-muluk harus yang prospeknya cerah. Karena menurutnya, dunia ini selalu berubah-ubah. Ketika ia memilih kampus dan jurusan, ia mengaku memilih yang paling banyak berkahnya buat dirinya dan yang kiranya paling bisa membuatnya tumbuh ke arah yang lebih baik sebagai individu.
ADVERTISEMENT
Terkait pendidikan, Gita terbilang perempuan yang beruntung. Karena meski dari waktu ke waktu peluang bagi perempuan untuk mengambil posisi di ranah akademis. Namun, bukan berarti jalannya mulus dan tanpa rintangan. Malala Yousafzai, misalnya. Untuk menikmati manisnya buah ilmu, ia harus mempertaruhkan nyawa dari kelompok radikal Taliban yang berkuasa di wilayah tempatnya tinggal. Bagi Taliban, perempuan berpendidikan adalah momok dan tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Di Indonesia, alasan ekonomi kerap menjadi hambatan bagi perempuan untuk melanjutkan studi. Di tengah himpitan ekonomi suatu keluarga, masih banyak mereka yang meyakini dapat berlepas diri dengan pernikahan alih-alih pendidikan. Padahal kebergantungan pada orang lain lewat pernikahan memungkinkan perempuan atau keluarga justru mengalami kemiskinan yang lebih buruk lagi.
ADVERTISEMENT
Menyikapi hal tersebut, DANAdidik mencoba hadir sebagai solusi. Terkait persoalan biaya pendidikan yang masih menjadi tantangan di Indonesia, DANAdidik memungkinkan pemuda-pemudi harapan bangsa khususnya perempuan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi, dengan memberikan pinjaman pendanaan yang manusiawi dan tidak ‘membunuh’ di kemudian hari. Dari kerja-kerja ini, DANAdidik berharap dapat menjadi penyokong lahirnya perempuan-perempuan cerdas, mandiri dan berdaya saing tinggi dari dan bagi Indonesia.